Reposisi Pemahaman Zakat (Telaah Kritis Tehadap Faham Kontemporer Dalam Upaya Mengembalikan Faham Salaf Saleh)

Abstrak Umum

Zakat adalah salah satu bentuk ibadah kepada Allah, ia memiliki aspek sosial yang sangat besar. Syari’at secara lengkap telah menetapkan ketentuan-ketentuannya; dari harta benda apa yang wajib dizakatkan hingga sasaran penyalurannya (Masharif). Ketetapan ”baku”-nya telah dinyatakan dalam al-Qur’an, hadits, dan konsensus (ijma’) para ulama. Beberapa faham kontemporer masalah zakat yang "menyimpang”,  yang bahkan semata-mata hanya didasarkan kepada kebutuhan situasi dan kondisi; adalah bukti bahwa zaman sekarang ini banyak orang yang memahami ajaran agama Islam ini dengan dasar ”semau gua”. Sehingga jargon ”memahami Islam secara kaffah” hanyalah narasi belaka, dan seakan inilah kesimpulan akhirnya: ”Ajaran Islam diwarnai oleh kepentingan zaman, bukan zaman itu sendiri yang harus diwarnai ajaran Islam”.

I.        Pendahuluan
A. Zakat Menurut Islam 
            Zakat dalam bahasa berarti ath-Tath-hir wal Ishlah; mensucikan, serta memperbaiki. Dalam istilah syara’, zakat berarti sesuatu yang dikeluarkan atau dibayarkan untuk harta tertentu atau jiwa dengan cara tertentu. Keengganan atau ketidaksediaan untuk membayar zakat adalah termasuk dosa besar, demikian pula mengakhirkan membayar zakat setelah tiba masa wajib membayar zakat tanpa ada udzur. Rasulullah bersabda:

لَعَنَ اللهُ ءََاكِلَ الرّبَا وَمُوْكِِلَهُ وَمَانِعَ الزَّكَاة (رواه ابن حبان)
 “Allah melaknat pemakan harta riba,pemasok riba dan orang yang tidak membayar zakat”. (HR. Ibnu Hibban). 
Zakat diwajibkan pada tahun II hijriyah.

B. Jenis Harta Yang Wajib Dikeluarkan zakatnya 
                Zakat adalah hak dalam harta seseorang untuk mereka yang berhak menerimanya (Mustahiqqun) atau sesuatu yang diwajibkan atas jiwa setiap muslim dengan ketentuan-ketentuan tertentu. Yang pertama dikenal dengan istilah Zakat Maal (harta benda) dan yang kedua adalah Zakat al Fithr.
            Zakat Maal hanya wajib dikeluarkan dari harta-harta berikut:
1.  Unta
2.  Sapi
3.  Kambing
4.  Kurma
5.  Zabib (anggur kering)
6.  Tanaman pertanian yang dijadikan makanan pokok  dalam  keadaan normal (tidak terpaksa).
7.  Emas
8.  Perak
9.  Barang tambang
10. Rikaz dar ikeduanya (emas dan perak)
            Dengan demikian tidak semua binatang ternak yang dimiliki oleh seseorang wajib dikeluarkan zakat, tetapi yang wajib dikeluarkan zakatnya hanya pada unta, sapi dan kambing. Demikian pula tanaman buah-buahan yang wajib dikeluarkan zakatnya hanya pada kurma dan anggur kering.Lalu tanaman makanan yang wajib dikeluarkan zakatnya hanya tanaman makanan pokok. Atsman-pun yang wajib dikeluarkan zakatnya hanya pada emas dan perak. Dan barang tambang yang wajib dikeluarkan zakatnya hanya barang tambang emas dan perak, serta barang temuan yang berupa emas dan perak[1].
            Dari sini diketahui bahwa dari sisi 'ayn (Benda), harta yang wajib dikeluarkan zakatnya hanyalah harta yang sudah disebutkan di atas. Mengenai harta yang lain yang jika dilihat dari benda-nya tidak wajib dikeluarkan zakatnya seperti pakaian, gula, garam, kuda, keledai, ayam dan lain sebagainya baru wajib dikeluarkan zakatnya jika diperdagangkan, dijadikan sebagai komoditas yang diperdagangkan (Amwaal at-Tijarah).

II.      Pembahasan 
A. Zakat Tijarah

Definisi Tijarah 
Tijarah definisinya adalah:

تَقْلِيْبُ الْمَالِ لِغَرضِ الاسْتربَاح بأنْ يَشتَريَ ويَبيعَ ثُـمَّ يَشْتَري وَيَبيْع لغَرض الرّبْح

"Memutar harta dengan tujuan mengambil keuntungan dari hasilnya, dengan membeli sesuatu lalu menjualnya, kemudian membeli lagi lalu menjualnya dengan tujuan mengambil keuntungan dari (selisih) proses membeli dan menjual yang berulang tersebut".

Kaedah 
Para ulama mengatakan sebuah kaedah fiqhdalam bab zakat ini:

مَا لاَ زَكَاةَ فِي عَيْنهِ تَجِبُ الزّكَاةُ فيْهِ إذَااتُّجِرَ بهِ

"Sesuatu yang tidak ada zakatnya pada bendanya,baru wajib dikeluarkan zakatnya jika diperdagangkan".
Dengan demikian harta seperti ternak unggas, tanaman tebu, palawija, tanaman buah-buahan seperti semangka, melon dan lain-lain, tanah, rumah, logam mulia dan batu-batu permata selain emas dan perak tidak wajib dikeluarkan zakatnya, kecuali jikadi perdagangkan. Padahal jika dilihat dari nilai dan besar penghasilan, orang yang beternak unggas bisa memiliki penghasilan yang lebih besar dari peternak unta, sapi atau kambing. Petani tebu atau palawija bisa berpenghasilan lebih besar dari petani makanan pokok seperti padi, bahkan ini fakta yang terjadi. Demikian juga ada jenis-jenis logam mulia dan batu permata yang nilai jualnya lebih mahal dari emas dan perak, namun demikian Allah tidak mewajibkan zakat kecuali pada emas dan perak. Allah berfirman:

وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلاَيُنفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللهِ فَبَشِّرْهُم بِعَذَابٍ أَلِيمٍ    (سورة التوبة : 34)

Danorang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalanAllah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksayang pedih”  (QS. at-Taubah:34)

            Dengan demikian status zakat harus dipahami sebagai ibadah, yang tidak semua sisinya bisa diketahui makna dan hikmahnya (Ma'qul al Ma'na). Tidak bisa hanya dengan dalih nilai dan besar penghasilan, orang mewajibkan zakat padaharta-harta yang tidak diwajibkan zakatnya oleh Allah (tidak ada nash yang mewajibkannya). Yang paling bisa dilakukan adalah menganjurkan para pemilikharta tersebut untuk berinfak sunnah atau bersedekah. Sehingga dengan dana yang terkumpul dari infak dan sedekah ini bisa ditasarrufkan untuk kemaslahatan umum seperti membiayai pendidikan atau kemaslahatan-kemaslahatan yang lain. Bukankah Allah telah berfirman:

لَن تّنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ   (سورة ءال عمران :92)

Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebaktian yang sempurna, sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai” (QS. Aal 'Imran: 92) 
Allah juga berfirman:

وَالَّذِينَ فِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ مَّعْلُومٌ لِّلسَّآئِلِ وَالْمَحْرُومِ (سورة المعارج :24-25)

Danorang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang (miskin)yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta)” (QS. al Ma'aarij: 24-25)

Ijarah bukan tijarah 
            Dari definisi yang telah dikemukakan diketahui bahwa ijarah (akad sewa) bukanlahtijarah (jual beli), karena tidak ada aktifitas menjual dan membeli di sana. Karenanya orang yang menyewakan tanah, mobil, rumah, hoteltidaklah berkewajiban untuk mengeluarkan zakat dari akad sewa tersebut. Klaim sebagian orang bahwa dalam akad sewa terdapat makna tijarah tidaklah tepat karena jelas tidak sesuai dengan definisi tijarah dan aktifitas tijarah yang meniscayakan adanya modal, proses menjual dan membeli serta berpeluang adanya untung dan rugi, berbeda dengan akad sewa.

            Disamping yang telah disebutkan, masih banyak ketentuan-ketentuan yang berkait dengan zakat tijarah ini seperti bisa dilihat lebih lanjut dalam referensi-referensi ilmu fiqh Islam.

B. Zakat Perhiasan
Jenis-jenis perhiasan 
            Perhiasan emas dan perak (al Huliyy) dari sisi pemakaian dan pemakainya bisa dikelompokkan ke dalam tiga jenis hukum:

1. Perhiasan yang haram
Yaitu perhiasan yang dipakai oleh laki-laki (selain cincin perak), atau perhiasan yang dipakaioleh perempuan yang masuk dalam kategori israf (berlebih-lebihan)sehingga tidak lagi menjadi perhiasan dan status hukumnya berubah dari hukum mubah ke haram seperti jika perempuan memakai gelang kaki seberat 200 mitsqaal (sekitar 850 gram).

2. Perhiasan yang Makruh
Yaitu misalnya seseorang memiliki beberapa bejana yang dilapisi lempengan-lempengan perak yang besar karena dibutuhkan untuk menambal bagian yang pecah atau rusak, jika tambalan-tambalan tersebut telah mencapai nisab.

3. Perhiasan yang Mubah
Yaitu perhiasan emas dan perak yang dipakai oleh perempuan dan tidak mencapai batasisraf (berlebih-lebihan), sehingga hukumnya tetap mubah.

Hukum Zakat Perhiasan dalam Berbagai Madzhab 
            Dalam Madzhab Hanafi, baik perhiasan yang mubah, makruh ataupun haram semuanya wajib dikeluarkan zakatnya.

            Dalam Madzhab Syafi'i, perhiasan yang haram dan makruh wajib dikeluarkan zakatnya.Sedangkan mengenai perhiasan yang mubah, al Imam asy-Syafi'i memiliki dua pendapat. Suatu kali beliau mengatakan wajib dikeluarkan zakatnya dan pada kali lain beliau menyatakan tidak wajib dikeluarkan zakatnya. Pendapat imam Syafi'i yang lebih kuat dalilnya adalah pendapat yang mewajibkan untuk dikeluarkan zakatnya sesuai dengan hadits Asma' binti Yazid (hadits hasan riwayatat-Turmudzi dan al Bayhaqi) dan keumuman ayat serta hadits-hadits yang mengancam orang yang tidak mengeluarkan zakat emas dan perak. Jadi seandainya seorang perempuan memiliki baju yang ditenun dengan emas dan mencapai nisab,berlaku padanya dua pendapat imam Syafi'i tersebut dan pendapat yang lebih berhati-hati hendaklah dikeluarkan zakatnya.

Dalam Madzhab Maliki dan Hanbali, tidak ada kewajiban zakat dalam perhiasan emas dan perak yang mubah. Demikian juga pendapat 'Aisyah dan Ibnu 'Umar. Abdullah ibnu 'Umar mengenakan perhiasan emas terhadap anak-anak perempuan-nya dan tidak mengeluarkan zakatnya. Pendapat ini juga diriwayatkan dari beberapa sahabat Nabi yang lain.

C. Zakat Atsmaan
Definisi Atsman  
Di kalangan para ahli fiqh terdapat beberapa istilah yang penting untuk diketahui.

Pertama: 'Ardl dan jamak (bentukplural)-nya 'Uruudl. 'Ardl artinya adalah sesuatu yang bukan emas dan perak. 'Urudl at-Tijarah artinya adalah benda selain emas dan perak yang diperdagangkan.

Kedua: an-Naqd. Dalam 'urf para fuqaha' Naqd adalah emas dan perak, baik yang telah dicetak menjad imata uang ataupun berbentuk batangan, atau dalam bentuk aslinya (at-Tibr);bahan mentah emas yang berupa butiran-butiran kecil.
            Atsmaan adalah jamak (bentuk plural) dari Tsaman; yang berarti mata uang yang berfungsi sebagai alat tukar ketika membeli barang. Alat tukar atau mata uang yang terbuat dari emas dan perak memiliki istilah khusus yaitu naqd. Sedangkan mata uang yang terbuat dari tembaga memiliki nama lain yaitu fals, jamak (bentuk plural)-nya fuluus, dan ini sudah dikenal sejak zaman para sahabat Nabi. Abdullah ibnu 'Umar mengatakan tentang seseorang yang bakhil dan kikir:

يُحِبّ الْخَمْرَ مِنْ مَالِ النّدامى          وَيَكْرهُ أن تُفارِقَه الْفُلوْس

"Dia menyukai khamer yang dibeli dengan harta teman-temannya sesama peminum, dan membenci jika uangnya sendiri yang dipakai untuk itu ".

            'Uruudlat-Tijarah jika diperdagangkan jelas wajib dikeluarkan zakatnya. Demikian juga an-Naqd; yaitu emas dan perak wajib dikeluarkan zakatnya. Sedangkan mata uang selain emas dan perak hukum mengenai apakah wajib dikeluarkan zakatnya atau tidak diperselisihkan oleh para ulama.

Zakat Uang Menurut Para Ulama' Mujtahid
            Mata uang selain emas dan perak, seperti mata uang logam atau kertas tidak wajib dikeluarkan zakatnya menurut imam Malik[2],Syafi'i[3] dan Ahmad ibn Hanbal[4]. Mereka melihat bahwa Allah  dalam al Qur'an (Q.S. at-Taubah: 34) hanya mengancam orang yang tidak mengeluarkan zakat emas dan perak saja di antara atsmaan yang ada. Padahal Allah maha mengetahui pada azal bahwa nanti akan ada atsmaan selain emas dan perak namun demikian Ia hanya mengancam orang yang tidak mengeluarkan zakat atsmaan dari emas dan perak saja. Demikian juga Rasulullah tidak menyebutkan zakat atsmaan selain emas dan perak. Menurut mereka tidak diperhitungkan bahwa mata uang tersebut berfungsi seperti mata uang emas dan perak pada transaksi-transaksi yang berlaku sekarang. Ketentuan ini berlaku jika memang mata uang tersebut tidak diperdagangkan, sedangkan jika diperdagangkan seperti dalam akad sharf (pertukaran dengan mata uang asing) atauBay' maal bi maal (pertukaran mata uang sejenis seperti rupiah dengan rupiah atau berbeda jenis) misalnya maka berlaku padanya zakat tijarah.

            Klaim sebagian orang bahwa jika zakat uang ditiadakan akan hilang ighatsatul fuqara' (menyantuni para fakir miskin) ini adalah klaim yang keliru. Karena jika memang zakat tidak mencukupi kebutuhan para fuqara', bisa dicukupi daripintu-pintu selain zakat seperti telah dijelaskan oleh syara’.

            Sedangkan menurut imam Abu Hanifah (lihat asy-Syaranbulaaliyyah[5]) mata uang selain emas dan perak, baik diperdagangkan artinya menjadi komoditas yang diperjualbelikan (sila' lit-tijarah) atau berlaku sebagai alat tukar (Atsmaan Raa-ijah) saja wajib dikeluarkan zakatnya, karena berlaku seperti mata uang emas dan perak. 

Ketentuan Zakat Uang dalam Madzhab AbuHanifah
            Mata uang yangberfungsi sebagai alat tukar yang wajib dikeluarkan zakatnya menurut imam AbuHanifah tersebut yang dimaksud adalah uang yang ada (diam) dan dilewati satuhaul; bukan uang yang diperoleh lalu digunakan untuk membiayai kebutuhan hidupseseorang dan habis atau uang yang telah habis sebelum satu haul berlalu. Jadidalam hal ini tetap diberlakukan ketentuan nisab seperti nisab emas dan telahberlalunya satu haul atas kepemilikan mata uang tersebut. Rasulullahbersabda:

لاَ زَكَاةَ فِي مَالٍ حَتّى يَحُول علَيه الْحَوْلُ  (أخرجه أبو داود والبيهقي في سننهما)

Maknanya: "Tidak ada (kewajiban) zakat pada hartaapapun sehingga dilalui oleh satu haul"  (H.R. Abu Dawud dan al Bayhaqi)
            Dengandemikian zakat mata uang ini seperti zakat emas dan perak, bukan seperti zakattanaman makanan pokok yang wajib dikeluarkan setiap kali panen jika memangtelah mencapai satu nisab atau jika tidak mencapai nishab, maka semua hasilpanen dihitung secara total seluruhnya selama satu tahun; kemudian zakatdikeluarkan jika hitungan totalnya sudah cukup nishab.

D. ZakatPenghasilan Tidak Ada Dalam Syari'at Islam
Deskripsi Masalah 
            Sebagianorang mewajibkan zakat pada penghasilan masing-masing individu orang. Merekamewajibkan zakat pada setiap penghasilan; yaitu setiap pendapatan seperti gaji,honorarium, upah, jasa dan lain-lain yang diperoleh dengan cara halal, baikbersifat rutin seperti penghasilan pejabat Negara, pegawai atau karyawan,maupun yang bersifat tidak rutin seperti penghasilan dokter, pengacara,konsultan, penceramah dan sejenisnya, serta penghasilan yang diperoleh daripekerjaan bebas lainnya. Mereka memutuskan suatu hukum bahwa semua bentukpenghasilan halal wajib dikeluarkan zakatnya dengan syarat telah mencapainishab dalam satu tahun, yakni senilai emas 85 gram. Kemudian mereka menegaskanbahwa waktu pengeluaran zakat terbagi menjadi dua kelompok:

1. Zakat penghasilan dapat dikeluarkan pada saat menerima jika sudah cukupnishab.
2. Jika tidak mencapai nishab, maka semua penghasilan dikumpulkan selamasatu tahun; kemudian zakat dikeluarkan jika penghasilan bersihnya sudah cukupnishab.
Kadar zakat penghasilan menurut mereka adalah 2,5 %.

            Dalam halini dalil yang mereka ajukan adalah firman Allah:

يَاأَيُّهَاالَّذِينَ ءَامَنُوا أَنفِقُوا مِن طَيِّبَاتِ مَاكَسَبْتُمْ وَمِمَّآأَخْرَجْنَا لَكُممِّنَ اْلأَرْضِ (سورة البقرة : 267)

Maknanya: "Hai orang-orang yangberiman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yangbaik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu…"  (Q.S. al Baqarah: 267)

Sanggahan-sanggahan
            Pendapatyang mewajibkan zakat pada semua bentuk penghasilan ini adalah pendapat yangbaru; muhdats dan tidak ada satu dalil-pun yang mendukungnya, sehinggadikategorikan sebagai bid'ah dlalalah. Berikut ini dalil-dalil yangmenolaknya:

1. Pendapat ini tidak pernah dikemukakan oleh seorang mujtahid-punkarenanya tidak perlu diikuti[6].Sebagaimana telah maklum diketahui bahwa profesi-profesi serta jenis-jenispenghasilan yang mereka sebutkan; sebagiannya telah ada di masa-masa terdahulu,namun tidak seorangpun ulama yang menyatakan wajib untuk mengeluarkan zakatnya.Mereka hanya mewajibkan zakat maal pada harta yang telah disebutkan didalam al Qur'an dan hadits bendanya atau harta selainnya jika memangdiperdagangkan.

2.  Firman Allah (surat al Baqarah:267) tidak pernah dipahami oleh para ulama terdahulu seperti yang dipahami olehpenganjur pendapat ini. Para ulama terdahulu memahami dari ayat tersebutkewajiban zakat tijarah dan hasil tanaman makanan pokok, tanamanbuah-buahan tertentu saja, selainnya tidak.

3.   Pendapat ini rancu dan terkesanasal-asalan dalam penentuan nishab, kadar zakat dan waktu pengeluarannya. Dalamsisi nishab mereka menyamakan nishab penghasilan dengan nishab emas dan perak.Demikian pula kadar zakatnya. Namun dalam waktu pengeluarannya merekamenyamakannya dengan zakat makanan pokok seperti padi atau semacamnya. Dalampenegasan awal mereka mensyaratkan haul, namun kemudian ketika menjelaskanwaktu pengeluaran yang pertama yaitu ketika penghasilan yang sekali diterimatelah mencapai nishab, haul tidak lagi mereka berlakukan. Jadi pendapat inirancu dalam sisi persyaratan haul-nya. Ini adalah salah satu bukti bahwapendapat ini rancu dari sisi istinbath dan dalilnya. Bahkan yang sangatmenggelikan, para pengikut pendapat ini mewajibkan zakat penghasilan setiapbulan tanpa melihat nishabnya sama sekali, dengan mengambil 2,5 % daripenghasilan, berapapun jumlah penghasilan tersebut, dan ini berulang secararutin setiap bulannya.

4.  Bukankah sangat mungkin bahwapenghasilan-penghasilan tersebut akan habis untuk keperluan hidup sehari-hariatau untuk keperluan tidak terduga seperti karena sakit parah dan semacamnya.Bukankah Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam telah bersabda:

لَيْسَ عَلَى الْمُسْلِم فِي عَبْدِه وَلا فَرَسهِ صَدَقة  (رواه مسلم)

Tidak ada zakatatas orang muslim terhadap hamba sahaya dan kudanya” (HR. Muslim)
Imam an-Nawawimengomentari hadits ini:

هَذَا الْحَديْثُ أصْلٌ فِي أنّ أمْوَالَ الْقِنْيةِ لاَ زكَاةَفيْهَا

"Hadits iniadalah dalil bahwa harta qinyah (harta yang digunakan untuk keperluanpemakaian, bukan untuk dikembangkan) tidak dikenakan zakat". (lihat:SyarhShahih Muslim, Jilid III, Juz VII, h. 61)

5. Biasanya parapengikut pendapat ini mengatakan: "Jika zakat penghasilan ditiadakan, enaksekali para professional tersebut. Sementara petani yang tidak seberapapenghasilan sawahnya dikenakan kewajiban zakat sedangkan mereka yang berdasidan berjuta-juta penghasilannya tidak dikenai kewajiban zakat ?!!".Jawabannya adalah:

Pertama: Ini adalahlogika yang salah. Dikatakan kepada mereka: Sebagaimana dalamzakat maal,hanya ternak khusus, emas dan perak, tanaman makanan pokok, tanaman buah-buahankurma dan anggur kering saja yang wajib dikeluarkan zakatnya, padahal adaternak yang lain yang lebih menghasilkan, ada logam mulia dan batu permata lainyang lebih mahal, ada tanaman makanan yang lebih besar penghasilannya, adatanaman buah-buahan selain kurma dan zabib yang lebih memiliki hargajual, namun zakat hanya diwajibkan pada jenis-jenis harta tertentu yang sudahdisebutkan, demikian juga halnya, hanya penghasilan dari tijarah yang adazakatnya. Jadi ukurannya bukan besar penghasilannya, tetapi ada sisi ta'abbudi-nya.

Kedua: Dikatakankepada pengikut pendapat ini: Jika ukurannya adalah besarnya pendapatan, apakahmereka juga akan mewajibkan zakat pada hadiah yang diperoleh oleh seseorangatau harta warisan yang diwarisi oleh seseorang karena jumlah atau nominalnyalebih besar dari penghasilan petani atau bahkan dokter atau pejabat sekalipun?!!. Padahal para ulama telah menegaskan bahwa dalam zakat tijarahselain ada niat tijarah, modal atau harta pokok yang dimiliki haruslah yangberasal dari mu'awadlah mahdlah atau ghairu mahdlah, dankarenanya harta  warisan atau hibah jikadijadikan modal tijarah tidak wajib dikeluarkan zakatnya karena modalnyadiperoleh bukan dengan jalurmu'awadlah (lihat Bughyah ath-Thalib,h. 367-368). Ini berkait dengan tijarah yang sudah jelas wajib dikeluarkanzakatnya.

Ketiga: JikaZakat yang mereka sebut sebagai zakat penghasilan ini, sebatas seperti madzhabImam Abu Hanifah maka hal itu adalah hal yang bisa diterima. Yaitu bahwa uangyang dihasilkan dari jalur manapun, jika tetap utuh satu nishab dalam hitungansatu tahun, maka wajib dikeluarkan zakatnya.

6.  Hendaklah disadari bahwa bukanberarti demi kemaslahatan umum maka seseorang bisa mewajibkan apapun demikepentingan tersebut. Syari'at telah menjelaskan pintu-pintu untuk menutupikeperluan untuk kemaslahatan umum ini. Ada pintu infak, sedekah, wakaf dan lainsebagainya. Bahkan dalam keadaan darurat penguasa muslim boleh mengambil paksasebagian harta para konglomerat dan orang-orang kaya untuk menutupi kepentinganatau kemaslahatan umum tersebut. Karenanya tidak perlu mewajibkan sesuatu yangtidak wajib demi kemaslahatan yang bahkan kadang belum tentu kejelasannyadengan langkah seperti mewajibkan zakat penghasilan. Atau karena dalih inginmeringankan beban masyarakat miskin maka dianggap saja pajak yang merekakeluarkan untuk negara sebagai zakat sehingga tidak ada beban untukmengeluarkan harta lagi selain pajak. Padahal sudah jelas zakat memiliki masharifyang khusus. Zakat adalah hal yang diwajibkan oleh Allah sedangkan pajak (alMaks) adalah hal yang diharamkan oleh Allah, bagaimana mungkin hal yangharam mengganti posisi hal yang wajib ?!!!.

7. Hendaklahdiketahui bahwa mewajibkan sesuatu dan mengharamkannya adalah tugas seorangmujtahid seperti Imam Malik, Imam Syafi'i, Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad –semoga Allah meridlai mereka- dan lainnya.Rasulullah shallallahu ’alayhi wasallambersabda dalam sebuah hadits yang mutawatir:   

فَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إلَى مَنْ هُوَ أًفْقَه مِنْه (رواهالترمذي وابن حبّان)

Maknanya: “Seringkali terjadi orang menyampaikan hadits kepada orang yang lebihmemahaminya darinya" (H.R. at-Tirmidzi dan Ibnu Hibban)

Hadits ini menjelaskan bahwa manusia terbagi ke dalam dua tingkatan : Pertama: orang yang tidak mampu beristinbath (menggali hukum dari teks-teksal Qur'an dan hadits) dan berijtihad. Kedua:mereka yang mampu berijtihad. Karenanya kita melihat ummat Islam, ada di antaramereka yang mujtahid (ahli ijtihad)seperti Imam asy-Syafi'i dan yang lain mengikuti (taqlid) salah seorang imam mujtahid. Jadi tidak setiap orang yangtelah menulis sebuah kitab, kecil maupun besar dapat mengambil tugas para Imammujtahid dari kalangan ulama'as-Salafash-Shalih tersebut, sehinggaberfatwa, menghalalkan ini dan mengharamkan itu tanpa merujuk kepada perkataanpara Imam mujtahid dari kalangan salaf dankhalaf yang telah dipercaya oleh umatkarena jasa-jasa baik mereka. Dengan demikian fatwa yang menyatakan adanyazakat penghasilan sama sekali tidak berdasar dan menyalahi fatwa para ulama,karenanya tidak boleh diikuti sebab fatwa ini bukan fatwa seorang mujtahid.Kita hanya akan mengikuti para ulama yang mu'tabar.

Bahkan jika penganjur fatwa ini berdalih mereka hanya melakukan qiyas,kita katakan bahwa melakukan qiyas sekalipun, hal itu adalah tugas khususseorang mujtahid, yaitu mengambil hukum bagi sesuatu yang tidak ada nashnyadengan sesuatu yang memiliki nash karena ada kesamaan dan keserupaan antarakeduanya. Para ulama ushul seperti imam asy-Syafi'i berkata: “Qiyas adalahpekerjaan seorang mujtahid”.

8.   Pendapat seperti ini biasanyamuncul dari orang  yang tidak mempelajariilmu agama dengan baik dan bukan dengan cara bertalaqqi kepada paraulama yang terpercaya. Karenanya disarankan kepada mereka untuk terlebih dahulubelajar ilmu agama dengan baik kepada para ulama sehingga tidak terjatuh padaperbuatan mewajibkan sesuatu, mengharamkan atau menghalalkannya secaragegabah.  Hal ni dikarenakan, para ulamasalaf maupun khalaf sepakat bahwa ilmu agama tidak bisa diperoleh hanya denganmembaca (muthala’ah) kitab-kitab.Tetapi harus dengan belajar secara langsung (talaqqi) kepada seorang guru atau ulama yang terpercaya (tsiqah/kredibel) yang mata rantaikeilmuannya bersambung sampai kepada sahabat dan Rasulullah , demikianlahtuntunan Rasulullah  dalam mendapatkanilmu. Salah seorang ulama ternama dari kalangan tabi’in, Muhammad ibn Sirinmengatakan:

إنّ هذَا الْعِلْمَ دِيْنٌ فَانْظُرُوْا عَمَّنْتَأْخُذُوْنَ دِيْنَكُمْ (رواه مسلم في مقدمة صحيحه)

Ilmu ini adalah(bagian) agama, maka teliti dan berhati-hatilah kepada siapa kalian mengambilajaran agama kalian”
Bahkan Rasulullahsendiri juga bertalaqqi ilmu kepada malaikatJibril.  Hal ini ditegaskan di dalam alQuran, Allah berfirman:

عَلّمَهُ شَدِيْدُ القُوَى (سورة النجم : 5)

Maknanya : “Dia(Nabi Muhammad) diajari oleh Malaikat yang sangat kuat (Malaikat Jibril)”   (Q.S. an-Najm : 5 )
Sedangkan parasahabat mereka belajar ilmu agama dengan bertalaqqisecara langsung kepada Rasulullah Merekayang berhalangan hadir dalam majelis Rasulullah karena jauh tempatnya atau sibuk, selalu menyempatkan diri bertanyakepada ulama dari kalangan sahabat seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali danlain-lain. Dikisahkan bahwa Umar bin Khattab mempunyai seorang teman dari kaumAnshar. Bila beliau tidak bisa hadir dalam majlis Rasulullah  sedangkan temannya itu hadir, Umar selalubertanya kepadanya mengenai hal-hal yang telah diajarkan dan dilakukan olehRasulullah dan begitu pula sebalinya jika temannya itu berhalangan hadir.

      Pengambilan ilmu agama denganbertalaqqi kepada seorang guru dimaksudkan untuk menjaga kemurnian pemahamanterhadap al-Qur’an dan hadits. karena dengan adanyasanad (mata rantai keilmuan) yang jelas dan bersambung sampaikepada Rasulullah . Maka tidak ada satu tanganpun yang dapat mengintervensi,merubah atau menyelewengkan pemahaman yang sebenarnya. Imam Abdullah ibn alMubarak berkata: “Sanad adalah bagian dari agama, kalaulah tidak ada sanadmaka semua orang akan berbicara dengan apa yang mereka kehendaki (danmenisbatkannya kepada Nabi)”.
      Al Hafizh al Khatib al Baghdadiberkata:

لاَ يُؤْخَذُ الْعِلْمُ إلاّ مِنْأفْوَاهِ اْلعُلَمَاءِ 
“Ilmu agama tidak bisa diperoleh kecualidari mulut para ulama”

Sebagian ulamasalaf berkata: “Seseorang yang mempelajari hadits dari kitab disebut shahafy(bukan muhaddits) dan orang yang mempelajari al-Qur’an dari mushaf disebutmushhafy, tidak disebut Qari’”. Sulaiman bin Yasar juga berkata: “Janganlahkalian belajar ilmu agama kepada seorang shahafy dan janganlah kamu belajaral-Qur’an kepada seorang mushhafy”. Betapa banyak sekarang ini para shahafy dan mushhafy. Pernyataan-pernyataan ulama ini berdasarkan haditsRasulullah :

مَنْ يُرِدِ اللهُ بهِ خَيْرًايُفَقِّهْهُ فِي الدّيْن إنّمَا الْعِلْمُ بِالتَّعَلُّمِ وَالفِقْهُبِالتَّفَقُّهِ  (رواه الطبراني)  

Maknanya: “Barangsiapa yang Allah kehendaki baginya suatukebaikan, maka Allah memberikan pemahaman agama kepadanya, sesungguhnya ilmuitu (diperoleh) dengan belajar (ta’allum) dan fiqh itu dengan belajar(tafaqquh)”. (H.R. ath-Thabarani)

Orang-OrangYang Berhak Menerima Zakat 
Orang-orang yang berhak menerima zakat telah disebutkanoleh Allah dalam firman-Nya:

إِنَّمَاالصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِيْنِ وَالْعَامِلِيْنَ عَلَيْهَاوَالْمُؤَلَّفَةُ قُلُوْبُهُمْ وَفِيْ الرِّقَابِ وَالْغَارِمِيْنَ وَفِيْسَبِيْلِ اللهِ وَابْنِ السَّبِيْلِ (التوبة :60)

“Sesungguhnyazakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang:
1.     Faqir : Orangyang tidak bekerja atau bekerja tetapi hasilnya tidak mencapai separuh dari kebutuhanpokoknya. Seperti orang yang sehari membutuhkan Rp.10.000,-, akan tetapi diahanya bisa menghasilkan Rp. 4000,- 
2.     Miskin : Orangyang hanya bisa memenuhi separuh saja dari kebutuhan pokoknya. Seperti orangyang dalam sehari membutuhkan Rp.10.000,- akan tetapi dia hanya bisamenghasilkan Rp. 8000,- atau Rp.7000,-. 
3.     ‘Amil : Orang yang ditunjuk oleh Khalifah atau Sulthandengan tanpa diberi gaji dariBaitul Mal (kas Negara) untuk mengambil(menerima) dan membagikan zakat. Dikarenakan tidak adanya khalifah di masa ini,maka ‘Amil-pun menjadi tidak ada. Sedangkan panitia yang biasanya dibentuk di setiapdaerah, mereka bukanlah ‘Amil dalam pengertian syara’, yang berhak men-dapatkanzakat. Namun jika mereka tergolong fakir atau miskin atau termasuk orang-orangyang berhak menerima zakat (selain ‘Amil), mereka boleh  menerima  zakat atas  nama golongan-golongan tersebut. Jadi, status mereka hanyalahwakil dari orang-orang yang mengeluarkan zakat untuk menyalurkannya ke tanganorang-orang yang berhak menerimanya[7]. 
4.     Al Muallafah Qulubuhum :Seperti orang yang baru masuk Islam dan niatnya masih lemah. Mereka diberibagian zakat supaya niat masuk Islamnya menjadi kuat. Atau mereka adalahorang-orang yang terpandang di antara kaumnya. Dengan diberikannya zakat kepadamereka, diharapkan orang-orang semacam mereka yang masih kafir tertarik untukmasuk Islam. 
5.     Riqab : Budakmukatab, yakni hamba sahaya yang memiliki perjanjian dengan tuannya,jika dia bisa membayar uang dalam jumlah tetentu, maka ia merdeka. keberadaanbudak saat ini sangat jarang dijumpai, kecuali di beberapa tempat seperti diMauritania (kebanyakan para budak di sana tidak lagi diperjualbelikan layaknyabudak-budak zaman dulu). 
6.     Gharim:Orang yang berhutang bukan untuk digunakan dalam kemaksiatan dan tidak mampumelunasinya pada waktu-nya (sudah jatuh tempo). 
7.     FiSabilillah :Akan diuraikan dengan detail Insya Allah.
8.     Ibnas-Sabil :Musafir yang kehabisan bekal untuk bisa sampai ke tujuannya. (Q.S. At-Taubah :60)

Fi Sabilillah, Siapakah Mereka? 
Secara umum, Fi Sabilillahdapat diartikan dengan segala amal kebajikan yang bertujuan untuk menghidupkanruh Islam. Akan tetapi dalamhal zakat, para ulama mendefinisikannya hanya dalam satu pengertian, yaituorang yang berperang di medan pertempuran melawan orang-orang kafir tanpamendapatkan gaji sepeserpun dari khalifah atau penguasa (pejuang sukarelawan).

Adapun penafsiran sebagian orang bahwa pembangunan rumahsakit, masjid atau madrasah dan aktifitas lain yang baik seperti mengajaradalah masuk dalam kategori Fi Sabilillah yang berhak menerima(mengambil) bagian dari zakat, maka hal ini tidak bisa dibenarkan denganbeberapa alasan sebagai berikut :
  • Tidak satupun di antara ulama salaf, Imam mujtahid atau yang setingkatdengan mereka yang mengatakanbahwa Fi Sabilillah dalam halzakat adalah mencakup semua amal kebaikan.
  • Pendapat tersebutmuncul dari orang-orang yang belum memenuhi syarat-syarat ijtihad.
  • Pendapat tersebut menyalahi perkataan Imam Malik: “Jalan menuju Allahsangatlah banyak, tetapi aku tidak menjumpai ikhtilaf (perbedaan pendapat di kalangan para ulama) bahwa yangdimaksud fi sabilillah di sini (dalam hal zakat) adalah berkaitan denganpeperangan” (Ibn al 'Arabi al-Maliki, Ahkam al-Qur'an).
  • Adanya Ijma' (konsensus) para pakar tafsir bahwa yang dimaksud FiSabilillah dalam ayat tersebut adalah para pejuang suka relawan. Hal inidapat ditela'ah dalam kitab-kitab tafsir mu'tabar seperti al Bahr al Muhithatau an-Nahr al Madd karya Abu Hayyan,at-Tafsir al Kabir karyaar-Razi, Zad al Masir karangan al-Hafizh Ibn al-Jawzi, Tafsir alBaidlawi, Tafsir al-Qurthubi, Tafsir Ibn ‘Athiyyah dan masih banyak lagi.
  • Pendefinisian Fi Sabilillah dengan para pejuang suka relawan merupakan ijma' para ulama yang telah dinyatakan oleh para fuqaha' (ahlifiqih), mereka antara lain: Imam Syafi'i dalam al-Umm[8], Imam Malik dalam  al-Muwaththa’[9], Muhammad ibn al Hasan dalam al-Mudawwanah[10], Ibnu Hubairah al-Hanbali dalam al-Ifshah[11], Ibn Qudamah dalam al-Mughni, Ibnal-Mundzir dalam al-Irsyaf dan lain-lain. Hanya saja Imam Ahmad menambahkan bahwa termasuk juga Fi Sabilillah dalam hal ini adalah Haji.

Cukup sebagai dalil, bahwa zakat tidak boleh diberikan kepada selain ashnaf (golongan) yang delapan sesuai dengan penjelasan para ulama bahwa ayat 60 dari surat at-Taubahtersebut menggunakan lafazh innama (termasuk lafazh yang berfungsi Hashr yaitu terbatas pada sesuatu yang disebutkan setelahnya) yang berarti, zakat hanya sah jika diberikan kepada delapan golongan tersebut. Dan seandainya zakat itu diperuntukkan bagi semua amal kebaikan, maka tidak ada artinya al-Hashr (pembatasan) dengan lafazh tersebut.
Juga sabda Rasulullah ketika beliau berbicara tentang zakat :

إِنَّهَا لاَ تَحِلُّ لِغَنِّيٍّ وَلاَلِذِيْ مِرَّةٍ سَوِيٍّ (رواه أبو داود والبيهقي)

Sesungguhnya zakat tidak halal bagi orang kaya dan bagi orang yang mempunyai pekerjaan yang mencu-kupinya (HR.Abu Dawud dan al-Baihaqi)

Jika zakat dibayarkan untuk membangun rumah sakit, masjid atau madrasah, kemudian tempat-tempat itu dimanfaatkan oleh semua orang, baik kaya ataupun miskin maka hal ini jelas bertentangan dengan hadits tersebut.

Kutipan al-Fakhrur Razi dari al-Qaffal asy-Syasyi bahwa sebagian Fuqaha’ mengatakan:“Sabilullah” mencakup semua jalan kebaikan adalah kutipan dari orang-orang yang Majhul(tidak dikenal) dan merupakan pendapat yang rusak (menyimpang dari kebenaran) dari al Majahil (orang-orang yang tidak dikenal) dan ini menyalahi ijma’ yang telah dinyatakanoleh para ulama seperti Imam Malik. Karena itu pendapat ini tidak bisa diterima sebab menyalahi ijma’[12].

Jika ada sebagian orang yang menukil dari Imam Ahmad bahwa ia mengatakan: “Zakat boleh diberikan untuk semua amal kebaikan” maka perlu diketahui bahwa pendapat seperti ini menyalahi nash-nash Fuqaha’ Hanabilah sendiri (para ahli fiqih dari Madzhab Hanbali) seperti yang telah dikemukakan oleh Ibn Hubairah al-Hanbali dalam al-Ifshah, Ibn Qudamah al-Hanbali dalam al-Mughni, dan juga ulama-ulama mujtahid atau yang di bawah derajat mereka dari luar kalangan Fuqaha’ Hanabilah.

Karena semua inilah, maka para ulama seperti Sulthanal-Ulama al-‘Izz ibn Abdissalam berfatwa bahwa tidak boleh mengambil bagian zakat untuk diberikan kepada tentara muslim yang sudah mendapat gaji dari uang kas negara, meskipun para penguasa waktu itu sangat memerlukan biaya untuk berperang melawan pasukanTartar. Beliau tidak mengatakan kepada penguasa waktu itu: Gunakanlah harta zakat untuk setiap yang dinamakan jihad. Peristiwa ini diceritakan oleh imam Tajuddin as-Subki dalam Thabaqatasy-Syafiiyyah dan Ibn Katsir dalam al-Bidayah Wa an-Nihayah.

Bahwa yang di maksud Fi Sabilillah hanyalah para pejuang suka relawan, hal ini juga ditegaskan oleh mantan mufti Mesir yang terkenal; Syekh Muhammad Bakhit al-Muthi’i dan Syekh Muhammad Zahid al-Kautsari yang merupakan wakil Syekh al-Islam terakhir dalam Khilafah Utsmaniyyah.

KesimpulanDan Saran
            Penulis tidak hendakmembuat “sesuatu” yang baru, dengan demikian tidak ada pemahaman “aneh” yanghendak disimpulkan. Penulis hanya ingin menuliskan ini; “Seluruh  penjelasan yang telah dikutip penulis adalahketetapan dalam pelaksanaan zakat yang telah diformulasikan oleh para ulamakita terdahulu. Itu semua diyakini dan dipraktekan oleh para ulama Salaf saleh, lalu turun-temurun di antara ulama Khalaf dari satu generasike generasi yang lain. Itulah yang telah dipraktekan oleh para ulama kitaterdahulu dalam situasi dan kondisi apapun. Merekamengamalkan pedoman tersebut terlepas dari perputaran, perbedaan, dan maupunperkembangan zaman”.
            Di atas penulis mengungkapkan tentang metode yang benardalam mempelajari ilmu agama, ialah dengan belajar langsung (at-Talaqqi)kepada para ahlinya bukan dengan belajar sendiri (otodidak). Kemudian penulishendak menuliskan saran berikut ini; “Kita harus mengetahui tingkatan kedudukanpara ulama (Maratib al-‘Ulama’). Seorang yang pada derajat mujtahidmutlak seperti Imam Syafi’i, Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan Imam Ahmad binHanbal maka pendapatnya wajib didahulukan di atas pendapat siapapun yang secaramartabah al-‘Ilm berada di bawahnya. Tidak patut bagi kita mendahulukanpendapat orang yang secara keilmuan dalam syari’at tidak jelas “kedudukan”-nya,-walaupun dengan gelar formal yang sangat panjang-  di atas para Imam Mujtahid. Pahami bahwa paraulama itu bertingkat; dimulai Mutahid mutlak, Ash-hab al-WujuhAsh-habat-Tarjih, dan Ahl an-Naql. Jika kita memahami benar Maratibal-‘Ulama dan mendudukan setiap pendapat mereka secara proporsional makakita akan dapat menyelesaikan setiap persoalan-persoalan fiqih tanpa harussilang sengketa, tanpa banyak melakukan “debat”, dan tanpa merasa bahwapendapat dirinya lebih kuat dibanding pendapat orang lain”.
            WaAllah A’lam Bi ash-Shawab.


Daftar Pustaka
asy-Syarh al-Kabiir 'ala Mukhtashar Khalil, Ahmad ibn Muhamad ibnAhmad ad-Dardir, Cet. Darul Fikr, t.th. Bairut.

Mawhibah Dzil Fadll, Muhammad Mahfuzh ibnAbdillah at-Tarmasi al-Jawi (w 1338 H), Cet. Darul Minhaj, 2011 M-1413 H,Jiddah, Saudi.  

Syarh Muntaha al Iraadaat, Manshur ibn Yunusal-Buhuti, Cet. Alam al-Kutub, t.th. Bairut.  

Hasyiyah Ibn ‘Abidin (Raddul Muhtaar 'Ala ad-Durr al Mukhtar),Ibn Abidin al-Hanafi, Cet. DarulFikr, Bairut.

Mughni al-Muhtaj Ila Ma’rifah Ma’ani Alfazh al-Minhaj, Mauhammad al-Khathib asy-Sayrbini, Cet. Darul Fikr,Bairut.

Nihayah al-Muhtaj Ila Syarh al-Minhaj, Muhammad ibn Syihabuddin ar-Ramli, Cet. Darul Fikr,1984 M-1404 H, Bairut.

Hasyiyah I’anah ath-Thalibin ‘Ala Hall Alfazh Fathal-Mu’in, Abu Bakr Syatha yangdikenal dengan as-Sayyid al-Bakri, Cet. Darul Fikr, 1997 M-1418 H, Bairut.  

Tawsyih ‘Ala Ibn Qasim (Qut al-Habib al-Gharib), Muhammad Nawawi ibn Umar al-Jawi, cet. Darul Fikr,1996 M-1417 H, Bairut.

Kifayah al-Akhyar Fi Hall Ghayah al-Ikhtishar, Taqiyyuddin Abu Bakr ibn Muhammad al-Husainial-Hushni, cet. Darul Fikr, Bairut Lebanon

Busyra al-Karim Bi Syarh al-Muqaddimah al-Hadlramiyyah, Sa’id ibn Muhammad Ba’asin, Cet. Darul Fikr, t.th.Bairut

Al-Umm, Muhammad ibn Idris asy-Syafi’I (w205 H), Cet. Alam al-Hadits, Mesir.

Al-Muwaththa’, Malik ibn Anas, Cet. Darul Fikr,Bairut.

al-Mudawwanah, Muhammad ibn al-Hasanasy-Syaibani, Cet. Darul Fikr, Bairut

al-Ifshah ‘An Ma’ani ash-Shihah, Yahya ibn Hubairah ibn Muhammadibn Hubairaoh (w 560 H), Cet. Darul Fikr, t.th. Bairut.

Maqalat al-Kautsari, Muhammad Zahid al-Kautsari (Wakil al-Masyikhah Fi Dar al-Khilafahal-‘Ustmaniyyah), cet. Darul Ahnaf, 1414 H-1993 M,Bairut

Catatan Kaki
   [1] Dalam madzhab Imam Malik diwajibkan zakat pada tanaman kacang-kacangan (al Qathani) seperti Fuul, Himmash, Lubiya', turmus, 'Adas dan semacamnya. Biji-bijian yang mengandung minyak seperti zaitun dikeluarkan zakatnya dalam bentuk minyaknya kalau memang biji-bijiannya telah mencapai nishab. Menurut Imam Malik, tidak wajib zakat pada tanaman sayur-sayuran dan buah-buahan seperti delima dan tin. Zakat barang temuan (rikaz) menurut satu qaul dalam madzhab Malik berlaku pada semua barang temuan yang berupa logam mulia, timah, tembaga dan lain sebagainya. Sementara dalam madzhab Hanafi, menurut Abu Hanifah sendiri zakat wajib dalam semua jenis tanaman makanan dan tanaman buah-buahandan tidak disyaratkan nishab. Sedangkan menurut kedua sahabat Abu Hanifah; Abu Yusuf dan Muhammad, berlaku nishab seperti dalam madzhab Syafi'i  dan mereka berdua mensyaratkan tanaman yang wajib dikeluarkan zakatnya adalah yang memiliki hasil yang berdaya tahan satu tahun secara alami, jadi tidak wajib zakat menurut mereka pada tanaman sayur-sayuran dan buah-buahan.

[2] Lihatasy-Syarh al-Kabiir'ala Mukhtashar Khalil -Bagian Pinggir Hasyiyah ad-Dusuqi- (1/418), al-Mudawwanahal Kubra (1/292), Fath al-Malik al-Aliyy (1/164-165).
[3] LihatMawhibah Dzil Fadll (4/29) mengutip dari Syekh Muhammad al-Anbabi,asy-Syafi'i ash-Shaghir, ulama madzhab Syafi'i abad 13 H yang pernah menjabat masyikhahal-AzharMesir dua kali.
[4]  Lihat Syarh Muntaha al Iraadaat(1/401).
[5] Lihat RaddulMuhtaar 'ala ad-Durr al Mukhtar (2/32).
   [6] Muhammad al-Ghazali dan Yusuf al-Qardlawi bukanlah mujtahid, sedangkan istinbathdan bahkan qiyas sekalipun hanya boleh dilakukan oleh orang yang telah mencapai tingkatan mujtahid.
[7] Lebih lengkap lihat Mughnial-Muhtaj, j. 3, h. 149, Fath al-Mu’in (dengan Syarh-nyaI’anahath-Thalibin), j. 2, h. 215, Syarh Ibn Qasim al-Ghazzi ‘Ala Matn AbiSyuja’, j. 1, h. 421,Kifayah al-Akhyar, h. 194, Busyra al-Karim,h. 463, dan lainnya
[8] al Umm, Juz VI, h. 62
[9] al-Muwaththa’, h. 179
[10] al-Mudawwanah, Juz II, h. 59
[11] al-Ifshah, h. 108
[12] Muhammad Zahid al-Kautsari, Maqalat al Kautsari, h. 222.

Komentar