ahabat Bilal melamar seorang
wanita Quraisy (suku terhormat) untuk dinikahkan dengan saudaranya. Ia berkata
kepada keluarga wanita Quraisy, “Kalian telah mengetahui keberadaan kami.
Dahulu kami adalah para hamba sahaya, lalu kami dimerdekakan Allah l. Kami
dahulu adalah orang-orang tersesat, lalu kami diberikan hidayah oleh Allah l.
Kami dulunya fakir, lalu kami dijadikan kaya oleh-Nya. Kini, kami akan melamar
wanita Fulanah ini untuk dijodohkan dengan saudaraku. Jika kalian menerimanya,
maka alhamdulillah (segala puji bagi Allah). Dan, bila kalian menolak, maka
Allahu akbar (Allah Maha Besar).”
Anggota keluarga wanita itu
tampak saling memandang satu dengan yang lainnya. Mereka lalu berkata, “Bilal
termasuk orang yang kita kenal kepeloporan, kepahlawanan, dan kedudukannya di
sisi Rasulullah Maka, nikahkanlah
saudaranya dengan putri kita.” Mereka lalu menikahkan saudara Bilal dengan
wanita Quraisy tersebut. Usai itu, saudara Bilal berkata kepada Bilal,
“Mudah-mudahan Allah mengampuni. Apakah engkau menuturkan kepeloporan dan
kepahlawanan kami bersama dengan Rasulullah, sedang engkau tidak menuturkan
hal-hal selain itu?”
Bilal menjawab, “Diamlah
saudaraku, kamu jujur, dan kejujuran itulah yang menjadikan kamu menikah
dengannnya.” (Al Mustathraf, I : 356).
Tidak mudah memang mengambil
langkah besar melamar seorang wanita. Di manapun lelaki biasanya merasa deg-degan
untuk memulainya. Ada perasaan takut ditolak serta harapan untuk diterima
membuat langkah jadi maju-mundur. Tapi, memang harus ada keberanian untuk
mencoba agar jelas dan tak mati penasaran dibuatnya. Mungkin, perasaan ini
mewakili mayoritas perasaan kaum laki-laki.
Maklum, dalam proses mewujudkan
harapan berumah tangga banyak rintangan dan tantangan yang menghadang
seseorang. Salah satunya adalah masalah khitbah (melamar calon istri). Banyak
pernik-pernik yang menghiasi perjalanan seseorang dalam proses lamarannya.
Namun, tidak selamanya pinangan
berujung pada pernikahan. Kadang kala, pinangan harus berhenti sebelum
dilangsungkannya ijab qabul, dalam arti tidak selamanya pinangan harus diterima
oleh yang pihak yang meminang, atau orang yang meminang mengurunkan niatannya
untuk melangkah lebih jauh, yakni pernikahan. Berikut ini akan dibahas seputar
perjalanan sebuah pinangan yang kandas di tengah jalan. Bagaimana kita
menyikapinya dan apa yang musti kita lakukan ketika kita membatalkan pinangan?
Hukum meminang
Khitbah atau meminang bukanlah
syarat sahnya sebuah pernikahan. Seandainya sebuah pernikahan dilaksanakan
tanpa khitbah sekalipun, pernikahan tersebut tetap sah. Pada umumnya, khitbah
merupakan jalan menuju pernikahan. Menurut jumhur ulama, khitbah itu
diperbolehkan, sesuai dengan firman Allah swt, “Dan tidak ada dosa bagi kamu
meminang wanita-wanita itu…” (Al-Baqarah [2] : 235)
Pendapat yang dipercaya oleh para
pengikut mazhab Syafi‘i adalah khitbah hukumnya sunnah, sesuai dengan perbuatan
Rasulullah n, di mana beliau meminang Aisyah binti Abu Bakar dan Hafshah binti
Umar c. Hal ini boleh dilakukan jika pada diri wanita tersebut tidak ada
penghalang yang membuatnya tidak boleh dinikahi. Jika ada penghalang, maka
khitbah tidak boleh dilakukan.
Dalam kitab Hasyiyah ‘alal
Muhalla, Syaikh Syihabuddin Al-Qalyubi berkata, “Sesungguhnya khitbah itu
memiliki hukum yang sama dengan hukum pernikahan, yaitu; wajib, sunnah, makruh,
haram, ataupun mubah. Sunnah jika pria yang akan meminang termasuk orang yang
disunnahkan untuk menikah. Contohnya, orang yang telah memiliki kemampuan untuk
menikah, dan ia tidak merasa khawatir dirinya akan terjerumus dalam perzinaan.
Makruh, jika pria yang akan meminang termasuk orang yang dimakruhkan baginya
untuk menikah. Sebab, hukum sarana itu mengikuti hukum tujuan.
Khitbah yang hukumnya diharamkan
menurut ijma‘ adalah mengkhitbah wanita yang sudah menikah, mengkhitbah wanita
yang ditalak dengan talak raj‘i sebelum selesai masa iddahnya, sebab statusnya
masih sebagai wanita yang telah menikah.
Sedangkan, khitbah juga
diharamkan bagi orang yang memiliki empat istri, termasuk khitbah terhadap
wanita yang antara dirinya dan istri si peminang diharamkan untuk disatukan
sebagai istri, mengkhitbah wanita yang sudah dikhitbah oleh orang lain dan
lain-lain yang akan dijelaskan nanti.
Khitbah hukumnya wajib bagi orang
yang merasa khawatir akan terjerumus dalam perzinaan jika tidak segera meminang
dan menikah. Sedangkan, khitbah hukumnya mubah dan halal jika wanita tersebut
dalam kondisi kosong dari pernikahan, serta tidak ada suatu halangan hukum yang
menghalangi untuk dilamar.
Membatalkan Pinangan
Perlu dipahami sebelumnya bahwa
pinangan itu bukanlah ikatan. Ia hanyalah janji untuk mengikat suatu. Sedangkan
janji untuk mengikat suatu itu tidak selalu harus terlaksana, menurut jumhur
ulama. Sehingga, sang wali tidak salah bila menarik kembali jawabannya bila ia
melihat adanya suatu maslahat bagi wanita yang dipinang.
Wanita yang dipinang itu sendiri
tidak ada salahnya bila ia menarik kembali janjinya bila tidak menyukai si
peminang. Sebab, nikah merupakan ikatan seumur hidup, di mana kekhawatiran akan
terus-menerus ada di dalamnya. Karena itu, wanita yang hendak menikah harus
berhati-hati dengan dirinya sendiri dan memperhatikan keberuntungannya.
Akan tetapi, apabila wali atau
tunangan menarik kembali janji tersebut tanpa tujuan apa pun, hal itu tidak
dibenarkan. Karena itu termasuk pengingkaran janji dan menjilat ludah sendiri.
Namun, hukumnya tidak sampai haram, karena sebenarnya itu belum wajib baginya.
Ini seperti seseorang yang menawar suatu barang kemudian muncul niat pada
dirinya untuk tidak jadi membelinya.
Seorang peminang juga makruh
meninggalkan wanita yang telah dilamarnya, bila sang wanita telah cenderung
kepadanya, sementara para peminang yang lain telah tertutup jalannya untuk
meminangnya, karena ia hanya tertarik kepada si peminang itu.
Atas dasar inilah, hukum
membatalkan lamaran sesudah adanya
kecenderungan masing-masing pihak itu berbeda-beda, menurut perbedaan
penyebabnya :
1. Bila pembatalan tersebut karena tujuan yang
benar, maka hal itu tidak makruh.
2. Bila pembatalan tersebut tidak ada
sebabnya, maka hal itu makruh, karena itu dapat membuat hati orang lain hancur.
Bahkan, pembatalan tersebut bisa sampai ke tingkatan haram, yaitu apabila si
wanita telah menaruh kecenderungan kepada si peminang, sementara para peminang
yang lain telah tertutup jalannya untuk meminang dirinya, kemudian si peminang
itu membatalkan pinangannya. Allah l berfirman, “Amat besar kebencian di sisi
Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (Ash-Shaff [61]
: 3).
Bukhari dan Muslim meriwayatkan
dari hadits Abu Hurairah, bahwa Nabi n bersabda:
آيَةُ اْلمُنَافِقِ ثَلاَثٌ، إِذَا حَدَثَ كَذَبَ، وَإِذَا
أؤْتُمِنَ خَانَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ
”Tanda-tanda orang munafik itu
ada tiga; bila berbicara ia berdusta, bila dipercaya ia khianat, dan bila
berjanji ia menyelisihi.”
3. Bila pembatalan tersebut disebabkan adanya
peminang lain yang datang kepadanya, maka hal ini adalah haram, berdasarkan apa
yang telah kita bahas sebelumnya.
Etika Menolak Pinangan
Sebagai agama yang menekankan
kasih sayang di tengah-tengah umatnya, Islam memerintahkan agar kita menghargai
perasaan orang lain. Tak ketinggalan, dalam masalah pinangan, Islam memberikan
suri tauladan yang baik bagaimana kode etik dalam menolak sebuah pinangan,
bilamana jalan tersebut adalah pilihan terbaik bagi seseorang.
Dalam Islam, seorang wanita juga
boleh menawarkan dirinya sendiri kepada seorang laki-laki shalih agar
menikahinya, jika aman dari fitnah. Hal ini pernah terjadi dalam kisah seorang
wanita yang menawarkan dirinya kepada Nabi n. Hadits tersebut diriwayatkan oleh
Bukhari dan Muslim, bab ‘Ardhil Mar‘ati Nafsaha ‘alar Rajulish Shalih, dari
hadits Sahl bin Sa‘ad, bahwa ada seorang wanita yang menawarkan dirinya kepada
Nabi n. Kemudian ada seseorang yang berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah,
nikahkanlah saya dengannya.” “Apa yang kamu miliki (sebagai maharnya)?” tanya
beliau. “Saya tidak memiliki apa-apa.” “Pergi dan carilah walaupun hanya cincin
yang terbuat dari besi.”
Orang itu pun pergi lalu kembali
lagi seraya berkata, “Demi Allah, saya tidak mendapatkan sesuatu walaupun hanya
sebuah cincin yang terbuat dari besi. Namun, saya memiliki sarung ini, dan
wanita tersebut berhak atas setengah sarung ini.” Sahl menambahkan, “Orang
tersebut tidak memiliki pakaian sama sekali (kecuali sarungnya).” Maka
Rasulullah bersabda, ‘Apa yang dapat engkau perbuat dengan setengah sarungmu
itu, saat engkau memakainya?” Setelah duduk lama, orang itu pun beranjak pergi.
Saat beliau melihatnya, beliau
pun memanggilnya—atau dipanggil untuk menghadap beliau--. Beliau bertanya kepadanya,
“Apakah engkau memiliki hafalan Al-Quran?” “Saya hafal surat ini dan itu—yaitu
beberapa surat--.” Nabi n lalu bersabda, “Aku menjadikan wanita itu sebagai
milik (istri) mu dengan mahar hafalan Al-Quran yang ada padamu.”
Demikian pula, seorang wali boleh
menawarkan wanita yang perwaliannya ada di tangannya kepada orang-orang yang
memiliki kebaikan. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh Umar bin Khaththab
ketika menawarkan putrinya, Hafshah x, kepada Utsman bin Affan, lalu kepada Abu
Bakar Ash-Shiddiq c.
Bukhari telah meriwayatkan dalam
hadits no. 5122, kitab An-Nikah, dari Abdullah bin Umar c bahwa ia berkata,
“Tatkala Hafshah binti Umar menjadi janda setelah bercerai dengan Khunais bin
Hudzafah As-Sahmi—salah seorang sahabat Rasulullah n yang wafat di Madinah--,
maka Umar bin Khaththab berkata, ‘Aku mendatangi Utsman bin Affan dan aku
tawarkan Hafshah kepadanya. Utsman menjawab, ‘Saya akan mempertimbangkannya.’
Aku menunggu selama beberapa malam. Kemudian ia menemuiku seraya berkata, ‘Saya
pikir, pada waktu ini aku belum berminat untuk menikah.’”
Umar melanjutkan, “Aku lalu
menemui Abu Bakar Ash-Shiddiq dan berkata, ‘Jika engkau mau, aku akan
menikahkanmu dengan Hafshah binti Umar.’ Abu Bakar hanya diam dan tidak memberi
jawaban kepadaku. Maka, aku pun tahu bahwa ia akan menjawab sebagaimana jawaban
Utsman. Lantas, aku pun berdiam diri selama beberapa malam. Beberapa malam
kemudian, Rasulullah n meminang Hafshah, maka aku pun menikahkannya untuk
beliau. Setelah itu, Abu Bakar menemuiku seraya berkata, ‘Barangkali engkau
marah kepadaku saat engkau menawarkan Hafshah dan aku tidak memberi jawaban
kepadamu?’ Aku pun menjawab, ‘Benar.’
Abu Bakar berkata, ‘Tidak ada
yang mencegahku untuk memberikan jawaban kepadamu atas sesuatu yang engkau
tawarkan kepadaku, melainkan karena aku telah mendengar bahwa Rasulullah n
telah menyebut-nyebut namanya (Hafshah). Dan, aku tidak mau membuka rahasia
beliau. Seandainya beliau tidak menikahinya, tentu aku akan menerimanya’.”
Dalam Fathul Bari, IX : 178,
Al-Hafizh Ibnu Hajar memberikan ulasan hadits ini dengan pernyataannya, “Dalam
hadits tersebut terdapat dalil mengenai bolehnya seseorang untuk menawarkan
anak perempuannya atau wanita-wanita lain yang menjadi tanggung jawabnya kepada
seseorang yang dipercaya kebaikan dan keshalihannya. Sebab, dalam hal ini ada
manfaat bagi orang yang ditawarkan dan ia tidak merasa malu dalam hal tersebut.
Hadits tersebut juga menunjukkan
bahwa menawarkan seorang wanita kepada orang yang telah beristri tidak ada
salahnya. Sebab, pada saat itu, Abu Bakar pun telah beristri. Bahkan, persoalan
semacam ini juga telah berlaku dalam syari‘at umat sebelum kita. Yaitu, Nabi
Syu‘aib, orang shalih, yang telah berkata kepada Musa q seperti yang disebutkan
dalam al-Quran, “Dia (Syu’aib) berkata, ‘Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan
kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja
denganku delapan tahun.” (Al-Qashash [28] : 178). Riwayat-riwayat di atas juga
menunjukkan dibolehkannya menolak tawaran. Tapi, tentunya harus dengan cara
yang baik.
Secara khusus, seorang wanita
dibolehkan menolak sebuah pinangan. Dalam sebuah hadits, Rasulullah saw
bersabda, “Seorang janda tidak boleh dinikahkan sebelum dimintai izin. Seorang
gadis tidak boleh dinikahkan sebelum dimintai persetujuan.” Para sahabat
bertanya, “Wahai Rasulallah, bagaimana tanda persetujuan seorang gadis?” Beliau
menjawab, “Tanda persetujuannya adalah diamnya.” (HR. Bukhari, Muslim dan
selainnya)
Hadits di atas secara jelas
menunjukkan bahwa bila seorang laki-laki ingin menikahi seorang wanita, baik
janda ataupun gadis, maka harus dengan izin atau persetujuan wanita itu
terlebih dahulu. Itu berarti seorang wanita mempunyai hak untuk menerima atau
menolak lamaran seseorang. Karena pembatalan juga menunjukkan ketidaksetujuan
untuk dinikahi, dan cukuplah hadits di atas sebagai dalilnya.
Ada sebuah riwayat yang
menyebutkan bahwa ada seorang gadis menemui Rasulullah lalu bercerita tentang
ayahnya yang menikahkannya dengan laki-laki yang tidak ia sukai. Maka,
Rasulullah memberi hak kepadanya untuk memilih.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan
Ibnu Majah). Dalam riwayat Ahmad dan Nasa'i disebutkan bahwa wanita tersebut,
lalu ia berkata, “Aku telah mengizinkan apa yg dilakukan bapakku itu. Hanya
saja, aku ingin kaum wanita tahu bahwa seorang ayah itu tidak berhak memaksa
anaknya kawin dengan seseorang.”
Dengan demikian, maka membatalkan
pinangan itu dibolehkan, baik dari pihak laki-laki maupun perempuan, dengan
tetap melihat kemashlahatan kedua belah pihak. Sehingga, kalaupun pinangan harus
pupus di tengah jalan, namun ukhuwah islamiyah tetap terjalan dan tidak sampai
tali silaturrahmi terputus. Hal tersebut dapat terwujud bilamana setiap muslim
menyadari bahwa permasalahan jodoh adalah salah satu bagian dari takdir dari
Allah Ta'ala.*
MELAKUKAN KHITBAH
SECARA ISLAMI
MAKNA KHITBAH
Khitbah adalah bahasa yang sering
kita terjemahkan dengan pinangan atau lamaran. Akar katanya di dalam Bahasa
Arab adalah berasal dari huruf kho’, tho’ dan ba’ yang bermakna berbicara. Dari
akar kata yang sama pula diambil kata khutbah, yang bermakna pembicaraan yang
dilakukan oleh seorang juru dakwah, pada Hari Jum’at atau yang lainnya.
Sedangkan khitbah ini ketika diucapkan, maka konotasinbya adalah pembicaraan
yang memiliki makna khusus, yang maknanya adalah pembicaraan untuk melakukan
permohonan restu kepada seorang wanita atau walinya untuk menikahinya.
PENSYARI’ATAN KHITBAH
Khitbah disyari’atkan di dalam
Islam berdasarkan firman Allah ta’ala dalam Surat Al Baqoroh ayat 235 :
وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ
فِيمَا عَرَّضْتُمْ بِهِ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَاءِ أَوْ أَكْنَنْتُمْ فِي أَنْفُسِكُمْ
عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ سَتَذْكُرُونَهُنَّ وَلَكِنْ لَا تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا
إِلَّا أَنْ تَقُولُوا قَوْلًا مَعْرُوفًا وَلَا تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّى
يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي أَنْفُسِكُمْ
فَاحْذَرُوهُ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَفُورٌ حَلِيمٌ
“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang
wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini
mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka,
dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara
rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma`ruf. Dan
janganlah kamu ber`azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis
`iddahnya. Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam
hatimu; maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyantun”.
Ayat ini jelas menyebutkan kata
khitbah. Pada ayat ini Allah membolehkan seorang laki-laki untuk meminang
secara sindiran kepada wanita yang ditinggal oleh suaminya. Jika ini
diperbolehkan, maka meminang wanita yang belum memiliki suami adalah lebih
diperbolehkan.
Demikian juga khithbah ini juga
disebutkan di dalam Sunnah Qouliyah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam,
diantaranya adalah :
عَنِ ابْنَ عُمَرَ رَضِي اللَّهم عَنْهممَا أنَّ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لاَ يَخْطُبَ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ
أَخِيهِ حَتَّى يَتْرُكَ الْخَاطِبُ قَبْلَهُ أَوْ يَأْذَنَ لَهُ الْخَاطِب
“Dari Ibnu Umar radliallaahu
‘anhuma bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Janganlah
seorang laki-laki itu meminang pinangan saudaranya, sehingga peminang
sebelumnya meninggalkan pinangannya atau dia diberikan ijin untuk meminangnya”.
(HR Bukhari).
Hadits ini menunjukkan bahwa
pinangan itu disyari’atkan untuk
peminang pertama dan pinangannya itu harus dihargai oleh kaum muslimin yang
lainnya dengan cara tidak meminang wanita yang telah dipinangnya tersebut.
Sedangkan di dalam sunnah
fi’liyah, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah melakukan pinangan
kepada calon-calon istrinya, seperti yang dilakukannya ketika akan menikahi
Ummu Salamah seperti yang akan kami jelaskan kemudian.
Dan di dalam sunnah taqririyah,
para sahabat pada masa beliau telah melakukan pinangan dan beliau tidak
melarangnya. Tetapi malah menyetujuinya, bahkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wa sallam memerintahkan kepada Mughirah bin Syu’bah untuk meliohat calon
istrinya sebelum menikahinya. Beliau bersabda : “Lihatlah calon istrimu itu.
Sesungguhnya yang demikian itu akanlebih mengekalkan kasih sayang diantara
kalian berdua”.[1]
Adapun hukumnya adalah mubah pada
dasarnya. Tetapi khithbah itu dapat menjadi haram pada beberapa keadaan,
seperti yang akan kami jelaskan kemudian.
TUJUAN KHITBAH
Seseorang yang melakukan pinangan
itu adalah untuk mewujudkan tujuan-tujuan yang sangat banyak, diantaranya
adalah :
a) Untuk memudahkan jalan ta’aruf diantara
kedua calon pengantin serta keluarga kedua belah pihak.
b) Untuk menumbuhkan mawaddah diantara kedua
belah pihak yang akan melangsungkan akad penikahan yang di dalam Al Qur’an
disebut dengan istilah mitsaqon gholidzo (janji yang kuat, An Nisa’ : 21)
c) Untuk memberikan ketenteraman jiwa kepada
kedua calon pengantin.
CALON ISTRI/SUAMI YANG DIPINAN
Pernikahan adalah perserikatan
hidup diantara sepasang suami dan istri. Oleh sebab itu keduanya harus
benar-benar selektif dalam memilih pasangan hidupnya. Memilih pasangan tidaklah
sama dengan memilih baju yang dapat dia coba-coba sekehendaknya atau dia beli
kemudian ditinggalkannya begitu saja ketika sudah tidak menyukainya. Oleh
karena itu haruslah masing-masing memiki kriteria yang jelas untuk calon
pendamping hidupnya. Di bawah ini kami akan menjelaskan kriteria-kriteria itu
dengan menjelaskan wanita-wanita yang haram untuk dikhithbah dan yang dianjurkan
untuk dikhithbah.
A. WANITA-WANITA YANG HARAM DIPINANG
Secara global wanita-wanita yang
haram dipinang adalah wanita-wanita yang haram dinikahi, yang disebutkan
perinciannya di dalam Al Qur’an di dalam Surat An Nisa’ : 22 – 23, Surat Al
baqoroh : : 221 dan Surat An Nisa’ : 3, wanita yang mempunyai suami, wanita
yang masih dalam masa iddah, wanita yang sedang melakukan ihram haji dan wanita
yang sedang dipinang oleh orang lain. Secara rinci dapat kami sebutkan sebagai
berikut :
1) Haram dinikahi karena nasab, yaitu :
a) Ibu, sampai ke atas
b) Anak perempuan, sampai ke bawah
c) Semua saudara perempuan, yang sekandung,
seayah atau seibu
d) Semua bibi dari pihak ayah
e) Semua bibi dari pihak ibu
f) Semua anak perempuan dari saudara
laki-laki yang sekandung, seayah atau seibu
g) Semua anak perempuan dari saudara
perempuan yang sekandung, seayah atau seibu.
2) Haram dinikahi karena susuan
a) Ibu yang menyusui
b) Ibu dari ibu yang menyusui
c) Saudara perempuan dari ibu yang menyusui
d) Saudara perempuan dari suami ibu yang
menyusui
e) Anak perempuan dari semua anak ibu yang
menyusui
f) Semua saudara perempuan sepersusuan.
3) Haram dinikahi karena pernikahan
a) Ibu istri sampai ke atas
b) Anak perempuan istri jika telah bercampur
dengannya sampai ke bawah
c) Istri anak atau cucu sampai ke bawah
d) Istri ayah
Semua pengharaman pada ketiga
sebab diatas adalah bersifat abadi.
4) Sebab mahram, yaitu melakukan pinangan
kepada saudara perempuan atau bibi dari istri yang masih sah atau istri yang
dicerai tetapi masih dalam masa iddah, karena haram hukumnya menikahi dua orang
saudara semahram.
5) Wanita-wanita yang musyrik (QS. Al
Baqoroh : 221)
6) Haram menikah dari sisi jumlah, karena
istrinya telah empat orang misalnya, sehingga diharamkan baginya untuk
melakukan pinangan kepada wanita lainnya. Kecuali jika dia telah menceraikan
salah satu istrinya dan telah habis masa iddah istrinya.
7) Wanita-wanita yang msaih menjadi istri
orang lain (QS. An Nisa’ : 24) dan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam :
مَنْ
خَبَّبَ عَلَى امْرِئٍ زَوْجَتَهُ أَوْ مَمْلُوكَهُ فَلَيْسَ مِنَّا
“Barangsiapa yang merusak istri
seseorang orang atau budaknya maka dia bukan termasuk golongan kami”. (HR Abu
Dawud dan Ahmad).
Demikian juga diharamkan bagi
seorang wanita untuk meminta agar seseorang laki-laki menceraikan istrinya agar
dia dipinang dan dijadikan istrinya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
bersabda :
وَلَا تَسْأَلُ الْمَرْأَةُ
طَلاَقَ أُخْتِهَا لِتَكْفَأَ مَا فِي إِنَائِهَا
“Dan janganlah seorang wanota itu
meminta perceraian saudaranya agar dia dinikahi”. HR Bukhar, Muslim, Turmudzi,
Nasa’I dan Ahmad).
8) Meminang wanita yang sedang menjalankan
iddah, baik karena ditinggal mati oleh suaminya atau karena dicerai oleh
suaminya atau pernikahannya dibatalkan oleh Hakim (fasakh), kecuali dilakukan
dengan cara sindiran. Seperti yang disebutkan pada Surat Al Baqoroh : 235.
contoh pinangan sindiran adalah pinangan yang dilakukan oleh Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk Usamah bin Zaid kepada Fathimah bin Qais :
“Jika engkau masa iddahmu telah selesai,
maka beritahukanlah kepadaku”[2]. Atau dengan perkataan : “Aku berharap Allah
mengaruniakan kepadaku seorang istri yang shaleh”. Jika pinangan itu mengarah
kepada pinangan secara terang-terangan, maka haruslah dialihkan. Seperti yang
terjadi pada Abu Ja’far Muhammad bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib
ketika meminang Sakinah binti Handzalah yang ditinggal mati oleh suaminya,
dengan sindirian. Dia berkata : “Engkau
telah mengtahui hubunganku dengan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan
hubunganku dengan Ali bin Abi Thalib serta kedudukanku di hadapan Bangsa Arab”.
Maka wanita itu berkata : “Semoga Allah mengampunimu, wahai Abu ja’far. Engkau
adalah panutan umat. Apakah engkau meminangku di masa iddah ?”. Maka jika pada
saat itu Abu Ja’far menjawab dengan : “Ya”, maka jadilah lamaran yang
terang-terangan. Karena dia itulah dia mengalihkannya dengan berkata : “Aku
hanya memberitahukan kepadamu tentang hubunganku dengan Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam dan dengan Ali bin Abu Thalib”.[3]
9) Wanita yang masih dalam pinangan orang
lain, seperti yang disebutkan di dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar
di atas. Ini jika pinangan itu sudah jelas diterima atau ada tanda-tanda
diterima, baik pinangan itu dilakukan oleh orang yang shaleh atau orang yang
fasek, selama dia adalah seorang muslim. Adapun jika pinangan itu tidak dijawab
dan orang lain itu diijinkan atau orang yang datang kemudian tidak mengetahui
piangan terdahulu, maka tidak apa-apa. Seperti yang terjadi pada Fathimah binti
Qais ketika dithalak tiga oleh suaminya.
عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ
قَيْسٍ أَنَّ أَبَا عَمْرِو بْنَ حَفْصٍ طَلَّقَهَا الْبَتَّةَ وَهُوَ غَائِبٌ فَأَرْسَلَ
إِلَيْهَا وَكِيلُهُ بِشَعِيرٍ فَسَخِطَتْهُ فَقَالَ وَاللَّهِ مَا لَكِ عَلَيْنَا
مِنْ شَيْءٍ فَجَاءَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَتْ
ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ لَيْسَ لَكِ عَلَيْهِ نَفَقَةٌ فَأَمَرَهَا أَنْ تَعْتَدَّ فِي
بَيْتِ أُمِّ شَرِيكٍ ثُمَّ قَالَ تِلْكِ امْرَأَةٌ يَغْشَاهَا أَصْحَابِي اعْتَدِّي
عِنْدَ ابْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ فَإِنَّهُ رَجُلٌ أَعْمَى تَضَعِينَ ثِيَابَكِ فَإِذَا
حَلَلْتِ فَآذِنِينِي قَالَتْ فَلَمَّا حَلَلْتُ ذَكَرْتُ لَهُ أَنَّ مُعَاوِيَةَ بْنَ
أَبِي سُفْيَانَ وَأَبَا جَهْمٍ خَطَبَانِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَلَا يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ وَأَمَّا
مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوكٌ لَا مَالَ لَهُ انْكِحِي أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ فَكَرِهْتُهُ
ثُمَّ قَالَ انْكِحِي أُسَامَةَ فَنَكَحْتُهُ فَجَعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا وَاغْتَبَطْتُ
Diriwayatkan dari Fathimah binti
Qais bahwa Abu Amru bin hafsh mentahlaknya tiga kali poada waktu dia bepergian.
Dia mengirimkan utusannya dengan membawa buah sya’ir. Maka fathimah membuatnya
marah dan dia berkata : “Kamu bukan apa-apa bagiku”. Kemudian Fathimah datang
kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menceritakan hal itu. Maka
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata : “Kamu tidak brehak
mendapatkan nafkah. Laksanakanlah iddah di rumah Ummu Syuraik”. Kemudian dia
berkata : “Sahabat-sahabatku sering masuk ke rumahnya. Laksanakan iddah di
rumah Ibnu Ummi Maktum. Dia adalah seseorang yang buta. Kamu dapat melepaskan
bajumu. Dan jika masa iddahmu telah selesai, maka beritahukanlah aku”. Fathimah
berkata : “Ketika iddahku telah selesai, aku memberitahukan kepada Rasulullah
bahwa Mu’awiyah dan Abu Sufyan meminangku. Maka Rasulullah berkata : “Abu Jaham
adalah seorang yang tidak menurunkan tongkatnya dari pundaknya dan Abu Sufyan
adalah orang yang tidak memiliki harta. Nikahlah kamu dengan Usamah”. Fathimah
berkata : “Aku tidak menyukainya”. Kemudian Rasulullah berkata : “Nikahlah
dengan Usamah”. Maka aku menikah dengannya dan Allah memberikan karunia
kebaikan kepadaku dan para wanita menjadi iri kepadaku”.[4]
10) Melakukan pinangan kepada wanita yang sedang
melakukan ibadah ihram/ haji. Sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
عَنْ عُثْمَانَ عَنْ عُثْمَانَ
بْنِ عَفَّانَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا
يَنْكِحُ الْمُحْرِمُ وَلَا يُنْكَحُ وَلَا يَخْطُبُ
Dari Utsman bin Affan bahwa
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Seseorang yang melakukan
ihram itu tidak boleh menikah, atau dinikahkan atau melamar”.[5]
Itulah penjelasan tentang
wanita-wanita yang haram untuk dipinang atau dikhithbah.
WANITA-WANITA YANG DIANJURKAN UNTUK DIPINANG
Dalam hal ini ada beberapa hadits
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang dapat kami sebutkan sebagai
berikut :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي اللَّه عَنْهم عَنِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ لِمَالِهَا
وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
Dari Abu Hurairah ra bahwa
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Wanita itu dinikahi
karena empat hal : karena hartanya, keturunannya, kecantikannya dan karena
agamanya. Carilah wanita yang beragama, maka kamu akan beruntung”. [6]
عَنِ ابْنِ عَمْرُو رََضِيَ اللهُ عَنْهَ عَنِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَنْ نَكَحَ الْمَرْأَةَ لِمَالِهَا وَجَمَالَهَا
حُرِمَ مَالُهَا و جَمَالُهَا وَمَنْ نَكَحَ لِدِيْنِهَا رَزَقَه اللهُ مَالَهَا وَجَمَالَهَا
Dari Abdullah bin Amru ra bahwa
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa yang menikahi
seorang perempuan karena hartanya dan kecantikannya, maka dia tidak akan
mendapatkan hartanya dan kecantikannya. Dan barangsiapa yang menikahinya karena
agamanya, maka Allah akan mengkaruniakan kepadanya kecantikannya dan
hartanya”.[7]
عَنْ أنَسِ بْنِ مَالِك رَضِيَ اللهُ عَنْهَ عَنِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَنْ تَزَوَّجَ امْرَأةً لِعِزِّهَا لَمْ
يَزِدهُ اللهُ إلاَّ ذُلاًّ , وَمَنْ تَزَوَّجَهَا لَمَالِهَا لَمْ يَزِدْهُ اللهُ
إلاَّ فَقْرًا , وَمَنْ تَزَوَّجَهَا لِحَسَبِهَا لَمْ يَزِدْهُ اللهُ إلاَّ دَنَاءَةً
, وَمَنْ تَزَوَّجَ امْرَأةً لَمْ يُرِدْ بِهَا إلاَّ أنْ يَغُضَّ بَصَرَهُ وَيُحْصِنَ
فَرْجَهُ أوْ يَصِلَ رَحِمَهُ بَرَكَ اللهُ لَهُ فِيْهَا وَبَارَكَ اللهُ لَهَا فِيْهِ
Dari Anas bin Malik ra bahwa
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa yang menikahi
seorang wanita karena kemulyaannya, maka Allah hanya akan menambahkan kehinaan untuknya.
Barangsiapa yang menikahi seorang wanita karena hartanya, maka Allah hanya akan
menambahkan kefakiran untuknya.
Barangsiapa yang menikahi seorang wanita karena keturunannya, maka Allah
hanya akan menambahkan kerendahan untuknya. Dan barangsiapa yang menikahi
seorang wanita dan dia berkeinginan untuk menundukkan pandangannya dan menjaga
kemaluannya atau untuk menjalin silarurahmi, maka Allah akan memberikan berkah
kepada keduanya”.[8]
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا عَنِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : أَعْظَمُ النِّسَاءِ بَرَكَةً أَيْسَرُهُنَّ
مَئُونَةً
Dari Aisyah ra bahwa Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Wanita yang paling besar berkahnya
adalah yang paling mudah mahar dan biaya hidupnya”.[9]
عَنْ عاَئشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا عَنِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مِنْ يُمْنِ الْمَرْأةِ أنْ تَتَيَسَّرَ
خِطْبَتُهَا وَأنْ يَتَيَسَّرَ خِطْبَتُهَا وَأنْ يَتَيَسَّرَ رَحِمُهَا
Dari Aisyah ra bahwa Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Diantara tanda keberkahan seorang
wanita adalah jika mudah pinangannya, mudah mudah maharnya dan mudah rahimnya
(subur rahimnya).[10]
عَنْ مَعْقِلِ بْنِ يَسَارٍ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنِّي أَصَبْتُ امْرَأَةً
ذَاتَ حَسَبٍ وَمَنْصِبٍ إِلَّا أَنَّهَا لَا تَلِدُ أَفَأَتَزَوَّجُهَا فَنَهَاهُ
ثُمَّ أَتَاهُ الثَّانِيَةَ فَنَهَاهُ ثُمَّ أَتَاهُ الثَّالِثَةَ فَنَهَاهُ فَقَالَ
تَزَوَّجُوا الْوَلُودَ الْوَدُودَ فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمْ
Dari Mi’qal bin Yasar bahwa dia
berkata : “Ada seorang laki-laki yang datang kepada Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam. Dia berkata : “Aku menemukan seorang wanita yang memiliki
keturunan yang baik dan kedudukan, tetapi dia itu mandul. Bolehkan aku
menikahinya. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarangnya. Lalu
dia datang untuk kedua kalianya, dan Rasulullah melarangnya. Kemudian dia
datang yang ketiga kalinya, maka Rasulullah bersabda : “Menikahlah kalian
dengan seorang wanita yang memiliki anak banyak dan penuh kasih sayang.
Sesungguhnya aku akan membanggakan banyaknya umatku dengan kalian”.[11]
عَنْ جَابِرٍ أَنَّهُ
تَزَوَّجَ امْرَأَةً عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَلَقِيَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَتَزَوَّجْتَ يَا
جَابِرُ قَالَ قُلْتُ نَعَمْ قَالَ بِكْرًا أَمْ ثَيِّبًا قَالَ قُلْتُ بَلْ ثَيِّبًا
قَالَ فَهَلَّا بِكْرًا تُلَاعِبُكَ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ كُنَّ لِي أَخَوَاتٌ
فَخَشِيتُ أَنْ تَدْخُلَ بَيْنِي وَبَيْنَهُنَّ قَالَ فَذَاكَ إِذًا إِنَّ الْمَرْأَةَ
تُنْكَحُ عَلَى دِينِهَا وَمَالِهَا وَجَمَالِهَا فَعَلَيْكَ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ
يَدَاكَ . وَفِيْ رِوَايَةِ الِّترْمِذِيْ : فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ عَبْدَ اللَّهِ
مَاتَ وَتَرَكَ سَبْعَ بَنَاتٍ أَوْ تِسْعًا فَجِئْتُ بِمَنْ يَقُومُ عَلَيْهِنَّ قَالَ
فَدَعَا لِي
Diriwayatkan dari Jabir bahwa dia
menikahi seorang wanita pada masa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menemuinya dan berkata : “Apakah
kamu sudah menikah, wahai Jabir ?. Dia berkata : “Ya”. Dia berkata : “Perawan
atau janda ?”. Aku berkata : “Tetapi dengan janda”. Dia berkata : “Mengapa
tidak dengan perawan agar kamu dapat saling bercengkerama”. Dia berkata :
“Wahai Rasulullah, aku memiliki banyak saudara perempuan, maka aku takut jika
perawan itu akan merusak hubunganku dengan saudara-saudaraku”. Rasulllah
berkata : “Jika demikian, wanita itu dinikahi karena agamanya, hartanya dan
kecantikannya. Maka pilihlah wanita yang beragama. Semoga kamu sukses”.[12] Dan
di dalam Riwayat Tirmidzi disebutkan : “Sesungguhnya Abdullah (Ayah Jabir)
telah meninggal dunia dan meninggalkan tujuh atau sembilan anak. Maka aku
mendatangkan seorang wanita yang dapat merawat mereka semua”. Maka Rasulullah
kemudian berdo’a untukku.
عَنْ عُوَيْمِ بْنِ سَاعِدَةَ الْأَنْصَارِيُّ عَنْ
أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
عَلَيْكُمْ بِالْأَبْكَارِ فَإِنَّهُنَّ أَعْذَبُ أَفْوَاهًا وَأَنْتَقُ أَرْحَامًا
وَأَرْضَى بِالْيَسِيرِ
Diriwayatkan dari Uwaim bin
Sa’idah Al Anshori dari ayahnya dari kakeknya bahwa dia berkata : “Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Pilihlah wanita-wanita yang perawan.
Sesungguhnya mereka itu lebih manis mulutnya, lebih bersih rahimnya dan lebih
ridla dengan sesuatu yang sedikit”.[13]
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَطَبَ إِلَيْكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِينَهُ
وَخُلُقَهُ فَزَوِّجُوهُ إِلَّا تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ
عَرِيضٌ
Diriwayatkan dari Abu hurairah
bahwa dia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Jika
telah datang kepada kalian seseorang pelamar yang kalian ridlai agama dan
akhlaknya, maka nikahkanlah dia dengan anakmu. Jika kalian tidak melakukannya,
maka akan terjadi fitnah di atas bumi dan kerusakan yang besar”.[14]
Hasan Bashri pernah didatangi
oleh seseorang yang menanyakan calon suami terbaik untuk anak perempuannya,
maka dia berkata : “Nikahkanlah dia dengan seseorang yang bertakwa kepada
Allah. Jika dia mencintainya, maka dia akan menghormatinya dan jika dia tidak
mencintainya, maka dia tidak mendzaliminya”.
Berdasarkan hadits-hadits diatas,
maka kriteria wanita yang dianjurkan untuk dikhithbah adalah sebagai berikut :
1) beragama baik dan shalehah. Terlebih lagi
jika berasal dari keturunan yang baik, memiliki harta dan cantik.
2) mudah pinangannya dan maharnya
3) subur kandungannya
4) perawan. Terkecuali jika ada
kemashlahatan yang lebih besar dengan menikah dengan janda, seperti yang
terjadi pada Jabir dan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sendiri.
5) di dalam pesan Bangsa Arab disebutkan
bahwa ada lima jenis wanita yang seharusnya dihindari untuk dijadikan istri,
yaitu :
a. annanah, yaitu wanita yang senantiasa
mengeluh setiap harinya, karena sakit-sakitan atau pura-pura sakit,
b. mannanah, yaitu wanita yang suka
mengungkit-ungkit jasa yang pernah dia lakukan untuk suaminya atau keluarganya,
c. hannanah, yaitu wanita yang selalu
menyatakan rindu kepada suaminya yang terdahulu,
d. barraqah, yaitu wanita menghabiskan
waktunya sepanjang hari dihadapan cermin untuk merias wajahnya dan tubuhnya.
e. Syaddaqah, yaitu wanita yang cerewet dan
bawel.
6) Di samping itu idealnya dianjurkan agar
wanita yang akan dipinang adalah bukan dari keluarga dekat, sekalipun
sebenarnya hukum menikahinya dalam Islam diperbolehkan.
7) sedangkan laki-laki yang hendaknya
diterima lamarannya adalah laki-laki yang memiliki agama dan ketakwaan yang
baik.
MELAKUKAN PINANGAN DAN KIAT
SUKSESNYA
setelah seorang laki-laki itu
menentukan pilihan wanita yang akan dipinanganya, diantaranya yang memenuhi
kriteria-kriteria diatas, maka ketika dia datang ke rumah calon istrinya untuk
meminanganya, maka ada beberapa hal yang selayaknya diperhatikan olehnya dan
dilakukannya, diantaranya adalah :
1) Saling mengenali diri, dengan mengenali
watak dan kerpibadian masing-masing dengan melakukan pembicaraan berdua di
hadapan mahramnya.
2) Melihat calon istri. Dalam hal ini ada
beberapa ayat dan hadits yang perlu diperhatikan untuk mengetahui apa saja yang
halal untuk dilihat dan yang haram untuk dilihat, agar seseorang tidak
terjerumus ke dalam kemaksiatan.
Firman Allah :
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا
مَا ظَهَرَ مِنْهَا
“Janganlah seorang wanita itu
menampakkan perhiasannya”.[15]
Sabda Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam :
عَنِ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ قَالَ خَطَبْتُ امْرَأَةً
عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَظَرْتَ إِلَيْهَا قُلْتُ لَا قَالَ فَانْظُرْ
إِلَيْهَا فَإِنَّهُ أَجْدَرُ أَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا
Diriwayatkan dari Mughirah bin
Syu’bah bahwa dia berkata : “Aku meminang seorang perempuan pada masa
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Maka dia berkata :” Apakah kamu
telah melihatnya ?”. dia berkata : “Tidak”. Dia berkata : “Lihatlah dia.
Seseungguhnya hal itu lebih layak untuk memperlanggeng pernikahan kalian berdua”.[16]
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ الْمَرْأَةَ فَإِنِ
اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى مَا يَدْعُوهُ إِلَى نِكَاحِهَا فَلْيَفْعَلْ قَالَ
فَخَطَبْتُ جَارِيَةً فَكُنْتُ أَتَخَبَّأُ لَهَا حَتَّى رَأَيْتُ مِنْهَا مَا دَعَانِي
إِلَى نِكَاحِهَا وَتَزَوُّجِهَا فَتَزَوَّجْتُهَا
Diriwayatkan dari Jabir bin
Abdullah bahwa dia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
bersabda : “Jika salah seorang dari kalian meminang seorang wanita, maka jika
dapat melihat kepada sesuatu yang dapat mendorongnya untuk menikahinya, maka
hendaklah dia melakukanya”. Jabir berkata : “Maka aku meminang seorang gadis
dan aku bersembunyi untuk melihatnya, sehingga aku melihat kepada sesuatu yang
mendorongku untuk menikahinya, kemudian aku menikahinya”.[17]
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wa sallam berkata kepada seorang wanita yang diutus untuk melihat calon wanita
yang hendak dilamarnya : “Ciumlah bau mulutnya dan bau ketiaknya dan perhatikanlah
otot-ototnya”.[18]
Berdasarkan ayat dan
hadits-hadits di atas, maka ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam hal
ini, yaitu :
a) Melihat calon istri hukumnya adalah boleh
b) Boleh mengutus seseorang, terutama wanita
untuk mengenal secara lebih detail diri pribadi wanita itu.
c) Melihat wanita yang dipinang itu tidak
harus seijin dari wanita itu. Maka baik dia rela atau tidak rela, maka
laki-laki peminang boleh melihat calon istrinya.
d) Adapun bagian mana saja yang boleh dilihat
oleh laki-laki peminang. Maka disini para ulama sepakat boleh melihat kepada
wajah dan telapak tangan. Para fuqoha’ Madzhab Hanafi menambahkan boleh melihat
kepada telapak kaki. Dan para fuqoha’ Madzhab Maliki memperbolehkan melihat
kepada lengan tangan. Dan menurut riwayat dari Madzhab Ahmad boleh melihat
kepada apa yang umumnya nampak pada wanita yang hendak dipinang.
e) Untuk lebih mempermudah perkenalan
permualaan, maka bolehlah seseorang melihat photo calon pasangannya dan saling
mengirimkan data pendahuluan
Ada beberapa syarat yang harus
dipenuhi oleh seorang laki-laki yang hendak melihat calon istrinya, yaitu :
a) Wanita yang hendak dipinangnya adalah
wanita yang halal dinikahinya
b) Dia harus menentukan seorang wanita untuk
dipinang, bukan melihat banyak wanita, kemudian datang meminang dan melihat
bagian tubuhnya
c) Hendaklah dia memiliki dugaan kuat bahwa
pinangannya akan diterima
d) Tujuannya tidak boleh hanya untuk
memuaskan nafsu birahinya saja.
3) Meminta nasehat dan pendapat dari orang
yang lebih mengetahui
4) Menggunakan perantara orang-orang yang
memiliki kedudukan, terutama dihadapan keluarga wanita yang hendak dipinang
5) Melakukan shalat istikharah
6) Cinta bukanlah segalanya. Yang paling
penting adalah tangung jawab dan semangat memberikan pengayoman
7) Tidak ada salahnya jika seorang wanita
datang meminang seorang laki-laki, seperti hadits yang diriwayatkan oleh Sahal
bin Sa’ad dan seperti yang terjadi antara Rabi’ah binti Isma’il dan Ahmad bin
Abul Huwari. Bahkan pernikahan yang terjadi antara Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam dengan Khadijah adalah bermula dari inisiatif pihak wanita
MASA SETELAH PINANGAN
Setelah seorang laki-laki datang
kepada seorang wanita untuk dipinang, maka ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan, yaitu :
1) Lamaran itu diterima atau ditolak. Jika
wanita itu sudah baligh, maka di dalam Madzhab Hanafi cukuplah dengan
keridlaannya saja. Tetapi menurut jumhur, keridlaannya itu harus didukung dengan
keridlaan walinya.
2) Boleh merayakan pinangan yang telah
diterima dan menandainya.
3) Boleh memberikan hadiah kepada calon
pengantin.
4) Boleh menyerahkan mahar jika telah
ditentukan pada waktu pinangan. Tetapi hal ini tergantung kepada kemashlahatan
yang ada.
5) Boleh berkunjung ke rumah calon istri
yang telah menerima lamaran dengan membawa hadiah dan atau yang semisalnya dan
berbicara dengannya dengan syarat tidak berkhalwat dengannya.
6) Tidak ada ketentuan rentang waktu yang
pasti yang ditentukan di dalam Islam antara penerimaan pinangan dengan
dilangsungkannya akad prenikahannya. Semua tergantung kepada kemashlahatan dan
kesepakatan kedua belah pihak. Tetapi semakin cepat adalah semakin baik, karena
setan selalu berusaha meniupkan rasa waswas di hati setiap manusia.
7) Jika terjadi pembatalan pinangan di
tengah jalan, maka pihak pria tidak boleh mengambil hadiah yang telah
diberikannya. Dan pihak wanita harus mengembalikan hadiah tersebut jika
pembatalan itu berasal dari pihaknya. Tetapi jika benda yang telah diberikan
oleh pihak pria itu merupakan syarat-syarat nikah, seperti mahar misalnya, maka
pihak wanita harus mengembalikannya, baik pembatalan itu berasal dari pihak
laki-laki atau pihak wanita. Karena mahar hanya wajib dibayarkan setelah
sempurnanya akad pernikahan. Wallaahu a’lam.
[1] HR. Turmudzi, Nasa’I, Ibnu
Majah dan Ahmad
[2] HR Muslim, Abu Dawud, Nasa’I
, Ibnu majah dan Ahmad.
[3] Tafsir Al Qurthubi, III : 188
– 189
[4] HR Muslim, Abu Dawud, Nasa’I, Ibnu Majah dan Ahmad
[5] HR Muslim, Nasa’I, Abu dawud
dan Ahmad. Dan Malik menambahkan di dalam Al Muwatho’nya : “baik lamaran itu
untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain”.
[6] HR Bukhari, Muslim, Turmudzi,
Nasa’I, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad, Malik dan Ad Darimi
[7] HR Thabrani
[8] HR Ibnu Hibban
[9] HR Ahmad
[10] HR Ahmad dan Baihaqi
[11] HR Nasa’I dan Abu Dawud
[12] HR Nasa’I
[13] HR Ibnu Majah
[14] HR Turmudzi
[15] Al Ahzab : 31
[16] HR Nasa’i
[17] HR Abu Dawud
[18] HR Thabrani dan Baihaqi
Komentar