SEKILAS TENTANG AMANAH,
HIBAH, WASIAT, DAN WARISAN
·
Amanah
Menjalankan amanah bukan hal yg wajib,
terkecuali amanah dari harta milik orang yg wafat dari keluarga kita atau
teman, karena harta itu miliknya, maka wajib dijalankan, itupun jika disetujui
oleh ahli waris, jika ditolak maka hanya 1/3 saja yg dijalankan dari amanah
tsb,
Mengenai amanah yg bukan miliknya, misal
minta dikuburkan di tempat anu, atau minta diberi nisan dg batu anu, atau minta
dituliskan sejarah hidupnya sebagaimana wasiat yg sdri terima, hal itu tak
wajib dijalankan, karena tak ada sangkut paut dengan kepemilikannya.
Lebih lebih lagi jika wasiat itu akan
merusak iman muslim, sungguh kita diwasiati oleh rasul saw dengan alqur'an yg
memerangi usaha para misionaris, maka amanah dari nabi kita saw adalah jauh
lebih berhak ditegakkan.
·
Hibah
Berkenaan
dengan definisi hibah (هِبَةٌ), As Sayid Sabiq berkata di dalam
kitabnya[1]: “(Definisi) hibah menurut istilah syar’i adalah sebuah akad yang
tujuannya penyerahan seseorang hak miliknya kepada orang lain semasa
hidupnya[2] tanpa imbalan apapun[3]”.
Beliau berkata
pula: “Dan hibah bisa juga diartikan pemberian atau sumbangan sebagai bentuk
penghormatan untuk orang lain, baik berupa harta atau lainnya”.
Syaikh Al
Fauzan berkata: “Hibah adalah pemberian/sumbangan dari orang yang mampu
melakukannya di masa hidupnya untuk orang lain berupa harta yang
diketahui/jelas”.[4]
Itulah makna
hibah secara khusus. Adapun maknanya secara umum, maka hibah mencakup hal-hal
berikut ini:
a)
Al Ibraa’: ( الإِبْرَاء) yaitu hibah
(berupa pembebasan) utang untuk orang yang terlilit utang (sehingga dia terbebas
dari utang).
b)
As Shadaqah (الصَّدَقَة) : yaitu pemberian yang dimaksudkan untuk mendapatkan
pahala akhirat.
c)
Al Hadiyah ( الهَدِيَّة) : yaitu segala sesuatu yang melazimkan (mengharuskan)
si penerimanya untuk menggantinya (membalasnya dengan yang lebih baik).[5]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
pernah ditanya tentang perbedaan antara shadaqah dan hadiyah dan mana yang
lebih utama dari keduanya, beliau menjawab: “Alhamdulillah, Ash Shadaqah adalah
segala sesuatu yang diberikan untuk mengharap wajah Allah sebagai ibadah yang
murni tanpa ada maksud (dari pelakunya) untuk (memberi) orang tertentu, dan
tanpa meminta imbalan (dari orang yang diberikan tersebut). Akan tetapi,
(pemberian tersebut) diberikan kepada orang-orang yang membutuhkan. Sedangkan hadiyah, maka pemberian ini dimaksudkan
sebagai wujud penghormatan terhadap individu tertentu, baik hal itu sebagai
(manifestasi dari) rasa cinta, persahabatan ataupun meminta bantuan. Oleh
karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa salalm menerima hadiah, dan berterimakasih
atasnya (dengan memberinya hadiah kembali), sehingga tidak ada orang yang
meminta atau mengharapkan kembali darinya. Beliau juga tidak pernah memakan
kotoran-kotoran[6] orang lain yang mereka bersuci dengannya dari dosa-dosa
mereka, yaitu shadaqah. Beliau tidak memakan shadaqah karena alasan ini juga
karena alasan-alasan lainnya.[7] Maka (dengan demikian) telah jelaslah
perkaranya, bahwa shadaqah lebih utama. Kecuali jika hadiyah memiliki makna
tersendiri, sehingga membuatnya lebih utama dari shadaqah, seperti memberi
hadiah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salalm di masa hidupnya sebagai
tanda cinta kepadanya, atau memberi hadiah kepada kerabat, yang dengannya
terjalinlah hubungan lebih erat antara kerabat, atau juga memberi hadiah kepada
saudara seiman, maka hal-hal seperti ini bisa membuat hadiyah lebih utama (dari
shadaqah)”.[8]
Ibnu Qudamah Al Maqdisi berkata: “Dan kesimpulannya bahwa
hibah, shadaqah, hadiyah, dan ‘athiyah memiliki makna yang saling berdekatan.
Makna ketiga istilah ini adalah penyerahan kepemilikan (seseorang kepada orang
lain) di waktu hidupnya tanpa imbalan balik apapun. Dan penyebutan ‘athiyah
(pemberian) mencakup seluruhnya, demikian pula hibah. Sedangkan shadaqah dan
hadiyah berbeda, karena Nabi r pernah memakan hadiyah dan tidak pernah memakan
shadaqah. Beliau berkata ketika Barirah diberi daging shadaqah:
هُوَ لَهَا صَدَقَةٌ وَلَنَا هَدِيَّةٌ.
“Daging itu baginya adalah shadaqah dan bagi kami
hadiyah.”[9]
Jelasnya, bahwa orang yang memberi sesuatu kepada orang
yang membutuhkan dengan berniat taqarrub (mendekatkan diri)kepada Allah adalah
shadaqah. Sedangkan orang yang memberi sesuatu dengan tujuan untuk (melakukan)
pendekatan kepadanya, dan dalam rangka mencintainya, maka itu adalah hadiyah.
Dan seluruh (amalan-amalan) ini hukumnya sunnah dan sangat dianjurkan (untuk
dilakukan), karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa salalm bersabda:
تَهَادُوْا تَحَابُّوْا.
“Saling memberi hadiahlah sesama kalian, niscaya kalian
saling mencintai”.[10]
Adapun shadaqah, maka
keutamaannya jauh lebih banyak, di luar batas kemampuan kami untuk
menghitungnya. Allah Ta’ala berfirman:
إِن
تُبْدُواْ الصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّا هِيَ وَإِن تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَاء
فَهُوَ خَيْرٌ لُّكُمْ وَيُكَفِّرُ عَنكُم مِّن سَيِّئَاتِكُمْ
“Jika kamu
menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu
menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka
menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian
kesalahan-kesalahanmu”[11].”[12]
·
Wasiat
Makna wasiat (وَصِيَّةٌ) menurut istilah syar’i adalah
pemberian kepemilikan yang dilakukan seseorang untuk orang lain, sehingga ia
berhak memilikinya ketika si pemberi meninggal dunia.[13]
Dari definisi
ini jelaslah perbedaan antara hibah (dan yang semakna dengannya) dengan wasiat.
Orang yang mendapatkan hibah, dia langsung berhak memiliki pemberian tersebut
pada saat itu juga, sedangkan orang yang mendapatkan wasiat tidak akan bisa
memiliki pemberian tersebut sampai si pemberi wasiat meninggal dunia terlebih
dahulu.[14]
·
Warisan
Warisan
berbeda dengan hibah ataupun wasiat. Warisan dalam bahasa arab disebut at
tarikah (التَّرِكَة).
Definisinya menurut istilah syariat adalah seluruh harta seseorang yang
ditinggalkannya disebabkan dia meninggal dunia.[15]
Dan hak-hak
yang berkaitan dengan at tarikah ada empat. Keempat hak ini tidak berada pada
kedudukan yang sama, akan tetapi hak yang satu lebih kuat dari yang lainnya,
sehingga harus lebih didahulukan dari hak-hak lainnya. Urutan empat hak yang
berkaitan dengan at tarikah tersebut adalah sebagai berikut:[16]
Hak yang
pertama: dimulai dari pengambilan sebagian at tarikah tersebut untuk
biaya-biaya pengurusan jenazah si mayit (mulai dari dimandikannya mayit sampai
dikuburkan).
Hak yang
ke dua: pelunasan utang-utang si mayit (jika memiliki utang).[17]
Hak yang
ke tiga: melaksanakan wasiatnya dari sepertiga tarikahnya setelah
dikurangi biaya pelunasan utang-utangnya.
Hak yang
ke empat: pembagian tarikah (harta warisannya) kepada seluruh ahli
warisnya dari sisa pengurangan (dari ke tiga hak di atas).
BEBERAPA MASALAH
SEPUTAR HIBAH, WASIAT, DAN WARISAN
MASALAH I
Kapankah seseorang berhak
mendapatkan wasiat?[18]
Sudah diterangkan di atas bahwa
orang yang diberi wasiat tidak akan berhak memiliki wasiat sampai si pemberi
wasiat meninggal terlebih dahulu, dan sampai utang-utang si mayit (yang
berwasiat tersebut) sudah terlunasi semuanya. Apabila utang-utangnya sangat banyak
sehingga harta warisannya (tarikahnya) habis akibat pelunasan utang-utangnya
tersebut, maka orang yang diwasiatinya itu tidak mendapatkan apa-apa (karena
memang sudah tidak ada yang bisa dibagi-bagikan lagi.-Pen), berdasarkan firman
Allah Ta’ala:
مِن
بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَى بِهَا أَوْ دَيْنٍ.
Sesudah dipenuhi wasiat yang
dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya”.[19]
MASALAH II
Berapakah batasan maksimal
dibolehkannya seseorang mewasiatkan hartanya?
Seseorang hanya boleh mewasiatkan
sepertiga hartanya saja, tidak boleh lebih. Yang lebih utama adalah kurang dari
itu, berdasarkan ijma’ ulama. Hal ini berlaku jika si mayit yang berwasiat tersebut memiliki ahli waris.[20]
Apabila si mayit berwasiat lebih dari sepertiga hartanya sedangkan ahli warisnya
mengizinkannya, maka hal ini dibolehkan. Akan tetapi jika mereka tidak
mengizinkannya, maka wasiatnya tersebut tidak sah, dan harus kembali kepada
batasan maksimal, yaitu sepertiga hartanya saja.[21]
Berdasarkan hadits Sa’d bin Abi
Waqqash radhiallahu ‘anhu, ia berkata:
جَاءَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعُوْدُنِيْ
وَأَناَ بِمَكَّةَ, وَهُوَ يَكْرَهُ أَنْ يَمُوْتَ بِالأَرْضِ الَّتِيْ هَاجَرَ مِنْهَا,
قاَلَ: ((يَرْحَمُ اللهُ ابْنَ عَفْرَاءَ)), قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ, أُوْصِيْ
بِمَالِيْ كُلِّهِ؟ قَالَ: ((لاَ)), قُلْتُ: فَالشَّطْرُ؟ قَالَ: ((لاَ)), قُلْتُ:
الَثُّلُثُ؟ قَالَ: ((فَالثُّلُثُ, وَالثُّلُثُ كَثِيْرٌ, إِنَّكَ إِنْ تَدَعْ وَرَثَتَكَ
أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَدَعَهُمْ عَالَةًً يَتَكَفَّفُوْنَ النَّاسَ فِيْ أَيْدِيْهِمْ,
وَإِنَّكَ مَهْمَا أَنْفَقْتَ مِنْ نَفَقَةٍ فَإِنَّهَا صَدَقَةٌ حَتَّى اللُّقْمَةَ
الَّتِيْ تَرْفَعُهَا إِلَى فِيِّ امْرَأَتِكَ, وَعَسَى اللهُ أَنْ يَرْفَعَكَ فَيَنْتَفِعَ
بِكَ نَاسٌ, وَيُضَرُّ بِكَ آخَرُوْنَ)), وَلمَ يَكُنْ لَهُ يَوْمَئِذٍ إِلاَّ ابْنَةٌ.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
salalm datang menjengukku ketika aku sedang berada di Mekah, dan beliau tidak
suka meninggal di tempat yang beliau berhijrah darinya, beliau bersabda:
((Semoga Allah merahmati Ibnu Afraa’)), aku berkata: Wahai Rasulullah, (apakah)
aku (boleh) berwasiat dengan seluruh hartaku? Beliau berkata: ((Tidak)), aku
berkata: (Kalau begitu) setengahnya? Beliau berkata: ((Tidak)), aku berkata:
(Kalau begitu) sepertiganya? Beliau berkata: ((Ya, sepertiganya, dan sepertiga
adalah banyak. Sesungguhnya jika kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan
kaya itu lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin dan
meminta-minta kepada orang lain, dan sesungguhnya bagaimanapun kamu
menginfakkan hartamu, maka itu adalah shadaqah, sampai sesuap (makanan) yang
kamu masukkan ke dalam mulut istrimu. Dan boleh jadi Allah mengangkat
(derajat)mu sehingga orang-orang mengambil manfaat darimu, sedangkan
orang-orang yang lain mendapatkan madharrat dengan (keberadaan)mu)). Dan pada
saat itu (Sa’d bin Abi Waqqash) tidak memiliki anak kecuali seorang anak
perempuan saja.”[22]
Masalah III
Bolehkah seseorang berwasiat
kepada salah satu ahli warisnya?
Pada asalnya seseorang tidak
boleh berwasiat kepada salah satu ahli warisnya, berdasarkan hadits Abu Umamah
Al Bahili, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salalm bersabda:
فَلاَ وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ.
“Tidak ada wasiat bagi ahli
waris”.[23]
Kecuali jika ahli warisnya yang
lain mengizinkan, maka hal itu dibolehkan, karena harta warisan adalah hak
mereka (seluruh ahli waris), sehingga kuncinya adalah kesepakatan atau
perizinan dari seluruh ahli waris, baik kesepakatan atau perizinan tersebut
adalah dalam masalah pemberian wasiat pada salah satu ahli waris, ataupun dalam
masalah pemberian wasiat lebih dari sepertiga harta warisannya kepada selain
ahli waris (orang asing).[24]
MASALAH IV
Apa hukum hibah yang dilakukan
oleh orang yang sakit parah (yang dengan sakitnya tersebut mengakibatkan dia
meninggal dunia)?
Apabila seseorang sedang sakit
yang diperkirakan akan meninggal dunia dengan sebab sakitnya itu, kemudian dia
melakukan hibah, maka hukum hibahnya seperti hukum wasiat. Seandainya dia
melakukan hibah untuk salah satu ahli warisnya kemudian dia meninggal dunia
setelah itu, sementara sebagian ahli waris lainnya mengklaim bahwa sebenarnya
si mayit melakukan hibah dalam keadaan sakitnya (yang membuatnya meninggal
dunia), sedangkan orang yang diberi hibah (salah satu ahli warisnya) juga
mengklaim bahwa ia diberi hibah dalam keadaan si pelaku hibah masih sehat, maka
wajib bagi orang yang diberi hibah tersebut untuk benar-benar mengoreksi dan
meneliti kembali perkataannya (sehingga ia yakin bahwa klaimnya betul-betul
kuat dan sah-pen). Kalau dia tidak melakukan hal ini, maka hibah tersebut
dianggap wasiat (karena orang sakit tersebut melakukan hibah dalam keadaan
sakit yang mengantarnya kepada kematian), sehingga hibah si sakit untuk salah
satu ahli warisnya tersebut tidak sah dan tidak boleh diberikan kecuali dengan
seizin ahli warisnya yang lain.
Akan tetapi jika orang sakit
tersebut sembuh setelah dia melakukan hibah (kepada salah satu ahli warisnya),
maka hibahnya sah.[25]
MASALAH V
Bolehkah orang tua memberikan
hibah kepada sebagian anak-anaknya dan tidak memberikannya kepada yang lain?
Seseorang tidak boleh memberikan
hibah kepada sebagian anak-anaknya dan tidak memberikannya kepada sebagian yang
lain, atau memberikan hibah kepada seluruh anak-anaknya, akan tetapi dengan
membeda-bedakan pemberian hibah tersebut. Bahkan seseorang wajib berbuat adil
terhadap seluruh anak-anaknya, dengan menyamaratakan pemberian kepada mereka.
Berdasarkan hadits An Nu’man bin Basyir radhiallahu ‘anhu, ia berkata:
أَنَّ أَبَاهُ أَتَى بِهِ إِلىَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: إِنِّيْ نَحَلْتُ ابْنِيْ هَذَا غُلاَماً, فَقَالَ:
((أَكُلَّ وَلَدِكَ نَحَلْتَ مِثْلَهُ؟)), قَالَ: لاَ, قَالَ: ((فَأَرْجِعْهُ)).
“Sesungguhnya ayah An Nu’man bin
Basyir pernah membawa An Nu’man bin Basyir kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa salalm dan berkata: “Sesungguhnya aku memberikan seorang budak
kepada anakku ini.” Lalu beliau berkata: ((Apakah seluruh anak-anakmu kamu berikan
pemberian sepertinya?)), ia menjawab: “Tidak”, beliau bersabda: ((Ambil kembali
pemberianmu)).
Dan dalam lafazh yang lain:
قاَلَ: ((أَعْطَيْتَ سَائِرَ وَلَدِكَ مِثْلَ هَذَا؟)),
قَالَ: لاَ, قاَلَ: ((فَاتَّقُوْا اللهَ, وَاعْدِلُوْا بَيْنَ أَوْلاَدِكُمْ)), قَالَ:
فَرَجَعَ فَرَدَّ عَطِيَّتَهُ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa salalm bersabda: ((Apakah kamu memberikan seluruh anak-anakmu seperti
ini?)), ia berkata: Tidak, lalu beliau bersabda: ((Maka bertaqwalah pada Allah,
dan berbuat adillah terhadap anak-anakmu)), ia berkata: Lalu ia pulang dan
mengambil kembali pemberiannya”. [26]
Hadits ini merupakan dalil sharih
(tegas dan jelas) yang menunjukkan atas wajibnya orang tua untuk berbuat adil
terhadap seluruh anak-anaknya…[27]
Demikianlah sekelumit pembahasan
tentang Amanah, hibah, wasiat, dan warisan serta beberapa permasalahannya yang
sering terjadi di masyarakat Islam. Semoga bermanfaat.
Catatan kaki:
[1] Fiqh As Sunnah (3/388).
[2] Karena jika penyerahan
kepemilikan itu terjadi setelah dia meninggal, maka hal itu disebut wasiat.
[3] Karena jika dengan imbalan,
maka hal itu disebut jual beli.
[4] Al Mulakhash Al Fiqhi
(2/163).
[5] Fiqh As Sunnah (3/388).
[6] Maksudnya adalah kotoran
dalam artian maknawi, bukan hissi.
[7] Sebagaimana hadits Al Fadhl
bin Abbas t dalam Shahih Muslim (2/754 no.1072) dan lain-lainnya:
إِنَّ هَذِهِ الصَّدَقَاتِ إِنَّمَا هِيَ
أَوْسَاخُ النَّاسِ, وَإِنَّهَا لاَ تَحِلُّ لِمُحَمَّدٍ وَلاَ لآلِ مُحَمَّدٍ.
“Sesungguhnya shadaqah-shadaqah
ini adalah kotoran-kotoran manusia, tidak halal bagi Muhammad dan keluarga
Muhammad”.
[8] Majmu’ Al Fatawa (16/151).
[9] HR Bukhari (2/543), Muslim
(2/755), dan lain-lain.
[10] HR Baihaqi di As Sunan Al
Kubra (6/169), dan lain-lain. Dan Al Albani menghasankan hadits ini. (Lihat
Shahih Al Jami’ no.3004).
[11] Al Baqarah 271.
[12] Al Mughni (8/239-240).
[13] Lihat Al Mughni (8/389),
Fiqh As Sunnah (3/414), Al Fiqh Al Manhaji (2/243), dan Al Mulakhash Al Fiqhi
(2/172).
[14] Lihat Fiqh As Sunnah
(3/414).
[15] Lihat Fiqh As Sunnah
(3/425).
[16] Lihat Fiqh As Sunnah
(3/425-426).
[17] Ibnu Hazm dan Asy Syafi’i
mendahulukan pelunasan utang-utang kepada Allah, seperti zakat dan
kaffarat-kaffarat diatas utang-utang kepada sesama manusia. Sedangkan ulama
Hanafiyah mengatakan bahwa utang-utang mayit kepada Allah gugur dengan sebab
kematiannya, maka tidak wajib bagi ahli warisnya untuk melunasi utang-utangnya,
kecuali jika mereka mau menyumbangkannya atau jika si mayit berwasiat agar
utang-utangnya tersebut dilunasi. Jika si mayit berwasiat dengan wasiat
tersebut, maka hukum wasiatnya ini sama dengan wasiat yang ditujukan kepada
orang asing (bukan ahli waris). Dengan demikian si ahli waris atau orang yang
diwasiati hanya boleh mengeluarkan maksimal sepertiga at tarikah setelah
dikurangi biaya pengurusan jenazah dan setelah pelunasan utang-utang (si mayit)
kepada sesama manusia. Hal ini dilakukan jika si mayit memiliki ahli waris.
Jika dia tidak memiliki ahli waris, maka boleh dikeluarkan dari seluruh
tarikahnya itu. Sedangkan ulama Hanabilah, mereka menyamaratakan antara
utang-utang kepada Allah dan kepada manusia…(Lihat Fiqh As Sunnah (3/425-426).
[18] Lihat masalah ini di kitab
Fiqh As Sunnah (3/419).
[19] An Nisa 12.
[20] Mafhumnya adalah jika si
mayit yang berwasiat tidak memiliki ahli waris, maka boleh baginya untuk
berwasiat dengan seluruh hartanya, karena maksud dari pelarangan wasiat lebih
dari sepertiga harta adalah untuk menjaga hak ahli waris. Maka jika mereka
tidak ada, tidak ada pula pelarangan. Lihat Al Mulakhash Al Fiqhi (2/174-175).
[21] Lihat Al Mughni (8/404),
Fiqh As Sunnah (3/423), dan Al Mulakhash Al Fiqhi (2/173).
[22] HR Bukhari (3/1006 no.2591),
Muslim (3/1250 no.1628), dan lain-lain.
[23] HR Abu Dawud (3/114
no.2870), At Tirmidzi (4/433), dan lain-lain. Hadits ini banyak syawahidnya,
diantaranya dari Anas bin Malik, ‘Amr bin Kharijah, dan lain-lain, dan Al
Albani menshahihkan hadits ini. (Lihat Shahih Al Jami’ no.1720, 1788, 1789,
7570 dan Shahih Sunan yang empat)
[24] Lihat Al Mulakhash Al Fiqhi
(2/173-174).
[25] Lihat Fiqh As Sunnah
(3/391).
[26] HR Bukhari (2/913-914
no.2446-2447), Muslim (3/1421-1422 no.1623), dan lain-lain.
[27] Lihat Al Mulakhash Al Fiqhi
(2/164).
Komentar