Amaliyah warga
NU/umat muslim sangat beraneka ragam. Oleh karenanya sering kita lihat di dalam
amalan ritual mereka itu ada beberapa hal yang rancu. Misalnya ada sebagian
dari mereka pada rukun shalat yang terakhir (sewaktu membaca salam) tidak
sekedar menoleh ke kanan dan ke kiri, akan tetapi mereka membuka tapak tangan
kanannya sambil membaca do’a : أَسْأَلُكَ الْفَوْزَ بِالْجَنَّةِ ......
pada salam yang pertama, dan membuka tapak tangan kirinya sambil membaca
do’a : أَسْأَلُكَ النَّجَاةَ مِنَ النَّارِ........ pada salam yang kedua. Ada lagi
yang langsung mengusapkan kedua tangannya ke wajah tanpa membaca do’a-do’a
tertentu.
Perlu kita ketahui,
bahwa amalan tersebut termasuk salah satu masalah ritual keagamaan yang secara
turun temurun selalu diamalkan oleh warga kita, cuma dalil syar’i mengenai hal
itu mereka belum mengetahuinya, sehingga ketika ada pihak lain yang
mempertanyakannya banyak warga NU yang bingung sambil berfikir dalam batinnya
ada atau tidak dalil mengenai dianjurkannya amalan tersebut.
Secara khusus, tidak
ada tuntunan dari nabi tentang membuka tapak tangan kanan dan kiri ketika salam
sambil membaca do’a tertentu. Yang ada tuntunan dari nabi saw adalah : mengusap
wajah setelah salam dengan menggunakan tapak tangan kanan saja dan diteruskan
sampai ke bagian dagu sambil membaca do’a khusus yang diucapkan pada saat
setelah salam (bukan di sela-sela kedua salam).
Pertanyaannya
sekarang: Bagaimana hukum membaca do’a khusus ketika menoleh kekanan dan ke
kiri tersebut? Karena rupa-rupanya hal ini sudah menjadi amalan yang
diistiqamahkan oleh warga nahdliyin. Jawaban untuk masalah ini bisa diuraikan
sebagai berikut:
1. Apabila dalam melakukan amaliyah tadi ada
unsur takhsis/mengkhususkan do’a tersebut di antara dua salam, maka hukumya
bid’ah makruhah (bid’ah yang dimakruhkan).
2. Dan apabila tujuan si pelaku itu berdo’a
secara umum, maka hukumnya sunat.
Dengan demikian
kepada warga kita yang mengamalkan do’a seperti itu, hendaknya di dalam hatinya
ada niat membaca do’a secara umum, dan kepada yang tidak mengamalkan atau tidak
setuju, sebaiknya amaliyah semacam ini tidak usah dipersoalkan, karena sudah
jelas bahwa hal tersebut termasuk salah satu masalah furu’iyah.
Dalam kitab-kitab
fiqih klasik banyak sekali tulisan para ahli fiqih yang menerangkan hukum yang
berhubungan dengan amaliyah tersbut, kitab-kitab itu antara lain :
1. Kitab Bughyatul Mustarsyidin hal. 49 :
(فَائِدَةٌ)
رَوَى ابْنُ مَنْصُوْرٍ أَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا قَضَى
صَلاَتَهُ مَسَحَ جَبْهَتَهُ بِكَفِّهِ الْيُمْنَى ثُمَّ أَمَرَّهَا عَلَى وَجْهِهِ
حَتَّى يَأْتِيَ بِهَا عَلَى لِحْيَتِهِ الشَّرِيْفَةِ وَقَالَ: بِسْمِ اللهِ الَّذِيْ
لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ.
اَللَّهُمَّ اذْهَبْ عَنِّي الْهَمَّ وَالْحَزَنَ وَالْغَمَّ. اَللَّهُمَّ بِحَمْدِكَ
انْصَرَفْتُ وَبِذَنْبِيْ اعْتَرَفْتُ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا اقْتَرَفْتُ وَأَعُوْذُ
بِكَ مِنْ جَهْدِ بَلاَءِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ اْلآخِرَةِ. اهـ
Artinya :
“Diriwayatkan
oleh Ibnu Manshur bahwa Rasulullah SAW. ketika selesai shalat (setelah salam)
mengusap wajahnya dengan tapak tangannya yang kanan, kemudian diteruskan sampai
ke dagunua yang mulia sambil membaca do’a : Bismillahi dan seterusnya”
2. Kitab al-fatawi al-fiqhiyyah al-kubra juz II
hal. 205 :
(وَسُئِلَ)
فَسَّحَ اللَّهُ فِي مُدَّتِهِ هَلْ تُسَنُّ الصَّلَاةُ عَلَيْهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ بَيْنَ تَسْلِيمَاتِ التَّرَاوِيحِ أَوْ هِيَ بِدْعَةٌ يُنْهَى عَنْهَا ؟
(فَأَجَابَ) بِقَوْلِهِ الصَّلَاةُ فِي هَذَا الْمَحَلِّ بِخُصُوصِهِ. لَمْ نَرَ شَيْئًا
فِي السُّنَّةِ وَلَا فِي كَلَامِ أَصْحَابِنَا فَهِيَ بِدْعَةٌ يُنْهَى عَنْهَا مَنْ
يَأْتِي بِهَا بِقَصْدِ كَوْنِهَا سُنَّةً فِي هَذَا الْمَحَلِّ بِخُصُوصِهِ دُونَ
مَنْ يَأْتِي بِهَا لَا بِهَذَا الْقَصْدِ كَأَنْ يَقْصِدَ أَنَّهَا فِي كُلِّ وَقْتٍ
سُنَّةٌ مِنْ حَيْثُ الْعُمُومُ. اهـ
Artinya :
“Syaikh
Ibnu Hajar ditanya : Bagaimana hukumnya membaca shalawat di antara salamnya
shalat tarawih? Sunnah atau Bid’ah? Beliau menjawab : bahwa membaca shalawat
pada saat yang demikian itu secara khusus kami tidak mengetahuinya dalam sunnah
nabi atau dalam perkataan para ulama kita, maka hal itu termasuk bid’ah yang
terlarang untuk dilakukan apabila pelakunya mempunyai anggapan bahwa yang
dilakukannya itu secara khusus termasuk sunnah. Namun bukan hal yang dilarang
jika pelakunya mempunyai anggapan bahwa amalan itu disunnahkan secara umum”.
3. Kitab Al-Fatawi juz II hal. 372 :
مَسْأَلَةٌ: فِي رَجُلٍ إذَا سَلَّمَ عَنْ يَمِينِهِ
يَقُولُ: السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ، أَسْأَلُك الْفَوْزَ بِالْجَنَّةِ،
وَعَنْ شِمَالِهِ: السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ، أَسْأَلُك النَّجَاةَ مِنْ النَّارِ، فَهَلْ
هَذَا مَكْرُوهٌ أَمْ لاَ؟ فَإِنْ كَانَ مَكْرُوهًا، فَمَا الدَّلِيلُ عَلَى كَرَاهَتِهِ؟
الْجَوَابُ : الْحَمْدُ لِلَّهِ، نَعَمْ، يُكْرَهُ هَذَا؛ لأَنَّ هَذَا بِدْعَةٌ، فَإِنَّ
هَذَا لَمْ يَفْعَلْهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَلاَ اسْتَحَبَّهُ
أَحَدٌ مِنْ الْعُلَمَاءِ وَهُوَ إحْدَاثُ دُعَاءٍ فِي الصَّلاَةِ فِي غَيْرِ مَحِلِّهِ،
يَفْصِلُ بِأَحَدِهِمَا بَيْنَ التَّسْلِيمَتَيْنِ، وَيَصِلُ التَّسْلِيمَةَ بِاْلآخَرِ،
وَلَيْسَ لِأَحَدٍ فَصْلُ الصِّفَةِ الْمَشْرُوعَةِ بِمِثْلِ هَذَا.
Artinya :
(Pertanyaan) :
mengenai seseorang ketika salam menoleh ke kanan mengucapkan Assalamu’alaikum
Warahmatullah ….. أسألك الفوز بالجنة dan menoleh ke kiri mengucapkan
Assalamu’alaikum Warahmatullah أسألك النجاة من النار hal itu makruh atau tidak? Kalau toh
makruh, apa dalil kemakruhannya?
(Jawaban) :
Al-Hamdulillah, ya hal tersebut hukumnya makruh termasuk bid’ah, karena
rasulullah SAW. tidak melakukannya dan tidak ada salah seorang ulama yang
menganjurkannya. Amalan tersebut berarti mengadakan do’a dalam shalat bukan
pada tempatnya, yakni memisah antara salah satu bacaan salam dengan sebuah
do’a, kemudian menyambungnya dengan salam kedua, padahal tidak boleh seseorang
memisah praktek ibadah ritual yang telah disyari’atkan dengan semacam do’a
tersebut.
Kemudian mengenai
masalah mengusap wajah dengan kedua tangan (kanan dan kiri) setelah selesai
shalat, amaliyah semacam ini hukumnya juga sunat, karena shalat secara bahasa
mempunyai arti berdo’a, sebab di dalamnya terkandung do’a-do’a kepada Allah
SWT. Sehingga orang yang mengerjakan shalat berarti dia juga sedang berdo’a,
maka wajar setelah selesai shalat dia disunatkan mengusapkan wajah dengan kedua
tangannya. Dan Nabi SAW. Juga mengamalkan seperti itu. Tersebut dalam sebuah
hadits riwayat Imam Abu Dawud :
عَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ النَّبِىَّ
صلى الله عليه وسلم كَانَ إِذَا دَعَا فَرَفَعَ يَدَيْهِ مَسَحَ وَجْهَهُ بِيَدَيْهِ.
رواه أبو داود
Artinya :
“Dari
Sa’ib bin Yazid dari ayahnya : apabila Nabi saw. berdo’a, maka beliau
mengangkat kedua tangannya lalu mengusap wajahnya dengan kedua tangannya”. (HR.
Abu Dawud)
Sebagian komunitas
muslim ada yang mengatakan bahwa pelaksanaan Shalat hari raya yang dilakukan
oleh mayoritas kaum muslimin selama ini adalah bid’ah, menyimpang dari sunnah
Rasul SAW, karena –kata mereka- Nabi SAW selalu melaksanakan Shalat 'Id di
lapangan, jika tidak ada hujan. Namun jika hujan beliau baru melaksanakannya di
masjid. Mereka berkesimpulan, lebih baik mana kita ikut Nabi atau ikut ahli
bid’ah? Kalau ikut Nabi SAW, masjid harus dikosongkan dan orang-orang semuanya
harus berbondong-bondong pergi ke lapangan untuk Shalat 'Ied.
Pengertian Shalat
'Id.
Shalat ‘Id itu ada
dua macam; Shalat ‘Idul Fithri dan Shalat ‘Idul Adha
1. Shalat 'Idul Fithri ialah shalat dua
raka'at yang dilaksanakan pada tanggal 1 Syawwal.
2. Shalat 'Idul Adha ialah shalat dua
raka'at yang dilaksanakan pada tanggal 10 Dzul Hijjah.
Hukum shalat 'Id
adalah sunnah muakkadah, karena sejak disyari'atkannya Shalat 'Id (tahun dua
Hijriyah) sampai akhir hayatnya, Rasulullah senantiasa melaksanakannya. Jumlah
raka'atnya ada dua raka'at. Waktunya sejak Saat matahari naik sepenggalah
sampai dengan saat zawal (matahari condong sedikit ke barat). Dalam
melaksanakan Shalat 'Id, disunnahkan berjama'ah dan setelah Shalat, imam
disunnahkan membaca dua kali khotbah seperti khothbah Juma'ah.
Tempat Pelaksanaan
Shalat 'Id
Sebubungan dengan masalah tempat
pelaksanaan Shalat 'Id ini, sering kita mendengar pertanyaan; apakah Shalat 'Id
itu harus di masjid, tidak boleh di lapangan? Ataukah harus di lapangan
sementara masjid harus dikosongkan? Maka dari itu, perlu kita ketahui bahwa
pelaksanaan Shalat 'Id itu, tidak disyaratkan harus di masjid. Ini artinya umat
Islam boleh melaksanakannya di masjid dan boleh juga di tempat yang bukan
masjid. Mari kita perhatikan perilaku Rasulullah SAW , tinadakan shahabat dan
beberapa pendapat ulama mujtahid di bawah ini:
a. Hadist riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim
عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ قَالَتْ أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ
صلى الله عليه وسلم أَنْ نُخْرِجَ إلى المصلى الْعَوَاتِقَ وَالْحُيَّضَ في العيدين
وَيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِينَ. (متفق عليه)
Artinya:
Dari Ummi 'Athiyah,
dia berkata: kita diperintahkan oleh Nabi untuk mengajak para gadis dan
perempuan yang sedang haidl keluar/pergi ke mushalla (tempat Shalat) pada hari
raya, agar mereka menyaksikan hal-hal yang baik dan do’a kaum muslimin. (HR.
Bukhari dan Muslim)
b. Hadits riwayat Imam Muslim
عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ قَالَتْ أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ
صلى الله عليه وسلم أَنْ نُخْرِجَهُنَّ فِى العيدين الْعَوَاتِقَ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ
فَأَمر الْحُيَّضُ أن يَعْتَزِلْنَ مصلى الْمُسْلِمِينَ.
Artinya :
“Dari
Ummi 'Athiyah, dia berkata: Nabi memerintahkan agar kita mengajak keluar pada
hari raya para gadis dan wanita yang dipingit. Dan beliau memerintahkan agar
wanita yang sedang haidl menjauh dari lokasi mushalla kaum muslimin”. (HR.
Muslim).
Dua buah hadits ini,
pengertiannya tidak menunjukkan bahwa Nabi melakukan shalat id di sembarang
lapangan, sebagaimana yang difahami oleh sebagian komunitas muslim Indonesia.
Akan tetapi hadits tersebut memberi pengertian bahwa Nabi melaksanakan shalat
hari raya di mushalla/tempat shalat yang memang dikhususkan untuk shalat id.
Ingat kata المصلى dalam hadits yang pertama diberi al mu’arrifah yang mempunyai
arti mushalla tertentu, dan dalam hadits kedua dimudlofkan pada kata المسملين.
(mushallanya orang-orang Islam).
Hal ini sesuai
dengan keterangan dalam kitab Subulus Salam syarah Bulughul Maram juz II hal.
69
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
إذَا كَانَ يَوْمُ الْعِيدِ خَالَفَ الطَّرِيقَ .أَخْرَجَهُ الْبُخَارِيُّ، يَعْنِي
أَنَّهُ يَرْجِعُ مِنْ مُصَلَّاهُ مِنْ جِهَةٍ غَيْرِ الْجِهَةِ الَّتِي خَرَجَ مِنْهَا
إلَيْهِ.
Artinya :
“Bahwasanya
ketika hari raya, Rasulullah menempuh jalan yang bebeda, yakni kembali dari
mushallanya melewati arah yang tidak beliau lewati sewaktu berangkat menuju
mushalla”.
Dan sesuai dengan
kitab Subulus Salam juz II hal. 67 :
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى إلَى الْمُصَلَّى وَأَوَّلُ شَيْءٍ يَبْدَأُ
بِهِ الصَّلَاةُ ثُمَّ يَنْصَرِفُ فَيَقُومُ مُقَابِلَ النَّاسِ وَالنَّاسُ عَلَى صُفُوفِهِمْ
فَيَعِظُهُمْ وَيَأْمُرُهُمْ. (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ) إلى أن قال: فِيهِ دَلِيلٌ عَلَى
شَرْعِيَّةِ الْخُرُوجِ إلَى الْمُصَلَّى ، وَالْمُتَبَادَرُ مِنْهُ الْخُرُوجُ إلَى
مَوْضِعٍ غَيْرِ مَسْجِدِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَهُوَ كَذَلِكَ فَإِنَّ
مُصَلاَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَحَلٌّ مَعْرُوفٌ بَيْنَهُ وَبَيْنَ
بَابِ مَسْجِدِهِ أَلْفُ ذِرَاعٍ.
Artinya :
“Bahwasanya
Rasulullah SAW pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adlha keluar ke mushalla
(Al-Hadits). Hadits ini sebagai dalil disyari’atkannya keluar menuju/ke
mushalla. Dari hadits ini pula dengan mudah difahami bahwa keluarnya Nabi itu
ke sebuah tempat yang bukan masjid dan memang benar demikian, karena
sesungguhnya mushallanya Nabi itu berupa suatu tempat yang telah diketahui oleh
banyak orang yang mana jarak antara mushalla dan pintu masjidnya Nabi ada
seribu dzira’ (± 500 m.)
Kemudian masalah
wacana masjid harus dikosongkan dan orang-orang harus berbondong-bondong pergi
ke lapangan, jelas ini tidak sesuai dengan tindakan sababat Nabi dan ijtihad
para ulama.
Mari kita simak
keterangan-keterangan kitab di bawah ini :
a. Kitab Subulus Salam juz II hal. 71 :
وَقَدْ اخْتَلَفَ الْعُلَمَاءُ عَلَى قَوْلَيْنِ هَلْ
الْأَفْضَلُ فِي صَلَاةِ الْعِيدِ الْخُرُوجُ إلَى الْجَبَّانَةِ أَوْ الصَّلَاةُ فِي
مَسْجِدِ الْبَلَدِ إذَا كَانَ وَاسِعًا ؟ الثَّانِي: قَوْلُ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُ
إذَا كَانَ مَسْجِدُ الْبَلَدِ وَاسِعًا صَلَّوْا فِيهِ وَلَا يَخْرُجُونَ، وَالْقَوْلُ
الْأَوَّلُ لِلْهَادَوِيَّةِ وَمَالِكٍ أَنَّ الْخُرُوجَ إلَى الْجَبَّانَةِ أَفْضَلُ،
وَلَوْ اتَّسَعَ الْمَسْجِدُ لِلنَّاسِ وَحُجَّتُهُمْ مُحَافَظَتُهُ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى ذَلِكَ ؛ وَلِقَوْلِ عَلِيٍّ عَلَيْهِ السَّلَامُ فَإِنَّهُ
رُوِيَ أَنَّهُ خَرَجَ إلَى الْجَبَّانَةِ لِصَلَاةِ الْعِيدِ، وَقَالَ : لَوْلَا أَنَّهُ
السُّنَّةُ لَصَلَّيْت فِي الْمَسْجِدِ، وَاسْتَخْلَفَ مَنْ يُصَلِّي بِضَعَفَةِ النَّاسِ
فِي الْمَسْجِدِ. إهـ باختصار
Artinya :
“Pendapat
para ulama berbeda menjadi dua dalam hal shalat id,manakah yang afdlol, apakah
dilaksanakan di tanah lapang ataukah di masjid yang luas? Imam Syafi’i
berpendapat apabila masjid di sebuah negeri itu luas, maka kaum muslimin
melaksanakan shalat id di masjid tidak usah keluar ke tanah lapang. Golongan
Hadawiyah dan Imam Malik berpendapat : keluar ke tanah lapang itu lebih afdlol
walaupun masjidnya luas, alasan mereka karena selalu melaksanakannya di tanah
lapang. Dan perkataan Sayyidna Ali ketika beliau keluar ke tanah lapang utnk melaksanakan
shalat id : andaikata hal itu bukan sunnah niscaya aku shalat di masjid, dan
beliau istikhlaf/menunjuk orang lain agar melaksanakan shalat id di masjid
bersama kaum yang tidak mampu.
b. Kitab Al-Madzahibul Arba’ah juz II hal. 71
:
وَمَتَى خَرَجَ اْلإِمَامُ لِلصَّلاَةِ فِيْ الصَّحْرَاءِ
نُدِبَ لَهُ أَنْ يَسْتَخْلِفَ غَيْرَهُ لِيُصَلِّيَ بِالضُّعَفَاءِ الَّذِيْنَ يَتَضَرَّرُوْنَ
بِالْخُرُوْجِ إِلَى الصَّحْرَاءِ لِصَلاَةِ الْعِيْدِ بِأَحْكَامِهَا الْمُتَقَدِّمَةِ،
لأَنَّ صَلاَةَ الْعِيْدِ يَجُوْزُ أَدَاؤُهَا فِيْ مَوْضِعَيْنِ.
Artinya :
“Bila
pemimpin negara melaksanakan shalat id di shahra’, dia disunnatkan agar
istikhlaf/menunjuk orang lain untuk melakukan shalat id bersama orang yang
tidak mampu yang merasa berat untuk keluar ke shahra’ dengan beberapa
keterangan hukum yang terdahulu, karena shalat id itu boleh dilaksanakan di dua
tempat.
c. Kitab Asy-Syarwani Alat Tuhfah :
وَيَسْتَخْلِفُ نَدْبًا إِذَا ذَهَبَ إِلَى الصَّحْرَاءِ
مَنْ يُصَلِّى فِيْ الْمَسْجِدِ بِالضَّعَفَةِ وَمَنْ لَمْ يَخْرُجْ.
Artinya :
“Hukumnya
Sunnat ketika pemimpin negara pergi ke shahra’ menunjuk seseorang untuk
melaksanakan shalat id di masjid bersama orang-orang yang tidak mampu dan
orang-orang yang tidak ikut keluar ke shahra’”.
d. Kitab Fathul Wahhab juz I hal. 83 :
(وَفِعْلُهَا
بِمَسْجِدٍ أَفْضَلُ) لِشَرَفِهِ (لاَ لِعُذْرٍ) كَضِيْقِهِ فَيُكْرَهُ فِيْهِ لِلتَّشْوِيْشِ
بِالزِّحَامِ وَإِذَا وُجِدَ مَطَرٌ أَوْ نَحْوُهُ وَضَاقَ الْمَسْجِدُ صَلَّى اْلاِمَامُ
فِيْهِ وَاسْتَخْلَفَ مَنْ يُصَلِّي بِبَاقِي النَّاسِ بِمَوْضِعٍ آخَرَ. (وَإِذَا
خَرَجَ) لِغَيْرِ الْمَسْجِدِ (اسْتَخْلَفَ) نَدْبًا مَنْ يُصَلِّي وَيَخْطُبُ (فِيْهِ)
بِمَنْ يَتَأَخَّرُ مِنْ ضَعَفَةٍ وَغَيْرِهِمْ.
Artinya :
“Melaksanakan
shalat id di masjid itu lebih afdlol, karena masjid adalah tempat yang mulia, jika
tidak ada udzur seperti sempitnya masjid. Kalau keadaan masjid itu sempit maka
makruh hukumnya shalat ‘id di masjid karena orang-orang merasa tertanggu
disebabkan berdesakan. Bila terjadi hujan atau semisalnya sedangkan mesjidnya
sempit maka pemimpin negara melaksanakan shalat di masjid dan dia
istikhlaf/menunjuk orang lain agar melaksanakan shalat di tempat lain. Dan
apabila pemimpin negara keluar untuk melaksanakan shalat di tempat selain
masjid dia disunnatkan istkhlaf/menunjuk orang lain melaksanakan shalat id
sekalian berkhotbah di masjid bersama orang yang tertinggal, baik orang yang
tidak mampu atau yang lain.
e. Kitab Al-Madzahibul Arba’ah juz I hal. 351
:
الشَّافِعِيَّةُ
قَالُوْا : فِعْلُهَا فِي الْمَسْجِدِ أَفْضَل لِشَرَفِهِ إِلاَّ لِعُذْرٍ كَضِيْقِهِ
فَيُكْرَهُ فِيْهِ لِلزِّحَامِ وَحِيْنَئِذٍ يُسَنُّ الْخُرُوْجُ لِلصَّحْرَاءِ.
Artinya :
“Golongan
madzhab Syafi’i berpendapat : melaksanakan shalat id di masjid itu lebih utama
karena masjid itu tempat yang mulia, kecuali karena udzur seperti sempitnya
masjid, maka hukumnya makruh melaksanakannya di masjid karena berdesakan. Jika
demikian halnya, maka disunnatkan keluar ke shahra’”.
Mengapa Warga
Nahdliyin Bersikukuh Melaksanakan Shalat ‘Id di Masjid?
Untuk menjawab
pertanyaan tersebut, mari kita ikuti uraian di bawah ini :
1. Setelah memahami beberapa hadits tentang
pelaksanaan shalat id, para ulama kita berkesimpulan bahwa lapangan yang ada di
zaman sekarang ini di banding dengan mushallal id nya Nabi, itu jelas tidak ada
kesamaan sama sekali. Hal ini bisa kita fahami :
a. Dari hadits Ummi ‘Athiyah yang menerangkan
bahwa mushallanya Nabi itu terpelihara kehormatannya dan kesuciannya. Hal ini
terbukti dalam riwayat tersebut bahwa wanita yang sedang haidl di perintahkan
agar menjauh dari mushalla. Sedangkan lapangan kita sama sekali tidak
terpelihara kehormatan dan kesuciannya, mungkin ada kotoran binatang, bahkan
kotoran manusia di situ.
b. Dari hadits riwayat Abi Sa’id, bahwa
mushallal id nya Nabi adalah sebidang tanah yang telah ditentukan/diketahui
oleh banyak orang bahwa sebidang tanah itu adalah tempat shalat id.
وَعَنْهُ أَيْ أَبِيْ سَعِيْدٍ قَالَ : كَانَ رَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَاْلأَضْحَى إِلَى
الْمُصَلَّى.
Kemudian riwayat tersebut
disyarahi/ diperjelas oleh syaikh Muhammad bin Isma’il Al-Kahlani sebagai
berikut :
فَإِنَّ مُصَلاَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
مَحَلٌّ مَعْرُوْفٌ، بَيْنَهُ وَبَيْنَ بَابِ مَسْجِدِهِ أَلْفُ ذِرَاعٍ. (سبل السلام
شرح بلوغ المرام جزء ثاني ص 67)
Sedangkan lapangan
kita -sebagaimana banyak orang tahu- adalah tempat berbagai macam kegiatan,
bahkan sering ditempati kegiatan maksiat dan perbuatan munkarat.
2. Karena sesuai dengan apa yang diamalkan
oleh sahabat Ali ra dan difatwakan oleh para Imam madzhab : apabila pimpinan
negara melakukan shalat di As-Shahra’ (isim ma’rifat, bukan sembarang lapangan)
maka dia disunnatkan istikhlaf/menunjuk orang lain untuk melakukan jamaah
shalat id di masjid, tanpa mengosongkannya begitu saja.
Dengan demikian warga
Nahdliyin tetap konsis dengan pendiriannya yakni menjunjung tinggi dan
mengikuti amalan sahabat nabi dan fatwa para ulama madzhab.
Kesimpulan
Dari uraian tersebut di atas, bisa disimpulkan
bahwa tempat pelaksannan shalat id yang tepat adalah :
1. Menurut para Imam madzhab, adalah sebagai
berikut :
a. Kalau masjid mampu untuk menampung para
jamaah, maka shalat id dilaksanakan di masjid dan jika tidak mampu menampung
maka dilaksanakan di as-shahra’ (isim ma’rifat, bukan sembarang lapangan).
b. Selain ulama Malikiyah, para imam madzhab
berpendapat pemimpin negara melaksanakan shalat id di as-shahra’, maka dia
disunnatkan istikhlaf/menunjuk orang lain untuk melaksanakan shalat di masjid,
sebaliknya apabila pemimpin negara melaksanakan shalat di as-shahra’, dia
disunnatkan istikhlaf/menunjuk orang lain untuk melaksanakan shalat di
as-shahra’.
c. Khusus ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa
shalat id di masjid itu lebih afdlol, karena masjid adalah tempat yang
mulia/utama, kecuali jika ada udzur seperti sempitnya masjid, maka dalam hal
ini shalat id dilaksanakan di as-shahra’ dan masjid tetap ditempati shalat oleh
mereka yang tidak pergi ke as-shahra’.
2. Menurut hadits nabi dalam beberapa riwayat
disebutkan bahwa Rasulullah SAW melaksanakan shalat id di dua tempat yakni di
masjid dan di mushallal id atau mushallal muslimin, tidak pernah
melaksanakannya di sembarang lapangan.
Komentar