EMPAT SIKAP
TERHADAP KESALAHAN
M
|
anusia seringkali disebut sebagai
makhluk yang tidak luput dari salah dan dosa, namun ungkapan ini bukan berarti
dengan seenaknya ia bisa melakukan perbuatan yang bernilai dosa itu, sehingga
bila ia melakukan perbuatan dosa, itupun sifatnya sebagai dosa yang tidak
disengaja atau karena ia tidak paham bahwa hal itu sebagai sesuatu yang
bernilai dosa. Agar tidak berakibat fatal atas dosa yang telah dilakukan itu,
ada empat sikap penting yang harus kita tunjukkan terhadap kesalahan. Pertama
adalah mengakui kesalahan dan tidak merasa suci. Orang yang bersalah, meskipun
kesalahan itu dilakukan karena tidak tahu atau dalam masyarakat kita sering
disebut dengan kesalahan yang tidak disengaja, ia tetap harus mengakui bahwa
kesalahan telah dilakukannya sehingga jangan sampai ia tidak merasa bersalah
dan tidak mau bertaubat atau meminta maaf atas kesalahannya itu. Manakala
seseorang mau mengakui kesalahan akan membuatnya mudah untuk segera bertaubat
sehingga tidak merasa suci yang pantas membela diri, Allah swt berfirman:
إِنَّمَا التَّوْبَةُ عَلَى اللَّهِ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ
السُّوءَ بِجَهَالَةٍ ثُمَّ يَتُوبُونَ مِنْ قَرِيبٍ فَأُولَٰئِكَ يَتُوبُ اللَّهُ
عَلَيْهِمْ ۗ
وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا
Sesungguhnya taubat di sisi Allah
hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan,
yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima
taubatnya; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana (QS An Nisa [4]:17).
Selama ini banyak orang yang
melakukan kesalahan tapi tidak merasa bersalah, akibatnya ia tidak mau
bertaubat atau meminta maaf dan karena ia sebenarnya sudah mengakui di dalam
hatinya bahwa ia memang salah tapi merasa gengsi untuk mengakui kesalahan
apalagi di depan publik, maka hal ini membuatnya menjadi tidak tenang, ia
sangat khawatir bila kesalahan itu suatu ketika akan terbongkar juga dan ini
akan terasa lebih berat untuk diterima daripada sejak awal ia mengakui
kesalahan. Oleh karena itu, bila bersalah, apalagi kita sudah memahami bahwa
kita memang salah, akan sangat baik bila kita segera mengakuinya.
Sikap kedua yang harus kita
tunjukkan bila kita melakukan kesalahan adalah segera bertaubat dan meminta
maaf pada orang lain. Hal ini karena tiada jalan bagi orang yang bersalah
kecuali segera bertaubat kepada Allah swt dan meminta maaf kepada manusia bila
kesalahan dilakukan kepada orang lain, Kemauan untuk bertaubat dan meminta maaf
akan membuat dosa itu tidak menjadi beban yang memberatkan jiwa, karenanya
Allah swt pasti akan menerima taubat siapa pun, bahkan sebanyak apapun dosa
yang dilakukannya.
Secara harfiyah, taubat adalah
rujuk kepada Allah, hal ini karena dosa membuat manusia menjauh, bahkan
bercerai dengan Allah swt sebagaimana suami istri yang bercerai, manakala
manusia mau bertaubat kepada Allah swt, maka Dia pasti akan menerimanya
sebagaimana firman-Nya:
وَمَنْ يَعْمَلْ سُوءًا أَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهُ ثُمَّ
يَسْتَغْفِرِ اللَّهَ يَجِدِ اللَّهَ غَفُورًا رَحِيمًا
Dan barangsiapa mengerjakan
kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada Allah, niscaya
ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS An Nisa [4]:110).
Karena taubat dari segala dosa
memiliki kedudukan yang sangat penting, maka hal ini harus dilakukan sesegera
mungkin agar tidak timbul penyesalan di dalam hati kita, apalagi bila sampai
mencapai kematian sebelum taubat dilakukan. Ini berarti taubat dan meminta maaf
harus dilakukan secepatnya sesudah menyadari kesalahan itu sehingga taubat atau
minta maaf sebenarnya tidak mengenal waktu yang tepat, dan seseorang tidak
merasa gengsi untuk meminta maaf kepada siapa pun. Bila suami bersalah pada
istri ia akan minta maaf pada istrinya itu, bila seorang bapak bersalah kepada
anak, ia pun akan meminta maaf pada anaknya dan bila seorang atasan bersalah
kepada bawahan ia pun tidak malu dan gengsi untuk menyampaikan permintaan maaf,
begitulah seterusnya. Allah swt berfirman:
وَسَارِعُوا إِلَىٰ مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ
عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ
Bersegeralah kamu kepada ampunan
dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang
disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa (QS Ali Imran [3]:133).
Manakala orang yang bersalah mau
meminta maaf, maka kita pun harus suka memaafkannya, hal ini karena kita pun
bisa jadi bersalah pada orang lain dan kita pun ingin memperoleh maaf darinya.
Bila kita yang bersalah meminta maaf, kenapa orang yang bersalah pada kita lalu
kita tidak mau memaafkannya.
Ketiga di antara sikap yang harus
kita tunjukkan bila kita melakukan kesalahan adalah tidak menimpakan kesalahan
itu kepada orang lain. Hal ini karena orang yang bersalah di samping harus
mengakui kesalahan dan segera bertaubat, ia juga tidak boleh menimpakan
kesalahan itu kepada orang lain, karena pada hakikatnya setiap orang
bertanggung jawab atas perbuatan atau kesalahan yang dilakukannya. Menyalahkan
orang lain sebagai bersalah padahal dirinyalah yang bersalah merupakan fitnah
yang keji. Memang dalam hidup ini banyak kita dapati ada “maling teriak
maling”. Perbuatan ini disebut keji karena fitnah merupakan dosa yang besar dan
bagaimana mungkin orang yang tidak bersalah harus menanggung akibat dari suatu
kesalahan hanya karena ia dituduh bersalah. Karena itu orang yang suka
menimpakan kesalahan kepada orang yang tidak bersalah akan mendapatkan dosa
yang ganda, yakni dosa bersalah itu sendiri dan dosa memfitnah orang lain,
Allah swt berfirman:
وَمَنْ يَكْسِبْ إِثْمًا فَإِنَّمَا يَكْسِبُهُ عَلَىٰ
نَفْسِهِ ۚ
وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا وَمَنْ يَكْسِبْ خَطِيئَةً أَوْ إِثْمًا ثُمَّ يَرْمِ
بِهِ بَرِيئًا فَقَدِ احْتَمَلَ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا
Barangsiapa yang mengerjakan
dosa, maka sesungguhnya ia mengerjakannya untuk (kemudharatan) dirinya sendiri.
Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan barangsiapa yang mengerjakan
kesalahan atau dosa, kemudian dituduhkan kepada orang yang tidak bersalah, maka
sesungguhnya ia telah berbuat suatu kebohongan dan dosa yang nyata (QS An Nisa
[4]:111-112). Ini berarti, bila kita
bersalah kita harus mau menanggung resiko dari kesalahan itu dan tidak bisa
menyalahkan orang lain meskipun kita bersalah dengan sebab orang lain, karena
orang itupun ada nilai kesalahannya dan kita pun mendapat nilai, masing-masing
orang bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya, bahkan syaitan saja yang
selalu menyesatkan manusia tidak mau disalahkan oleh manusia sebagaimana
disebutkan dalam Al-Qur’an:
وَقَالَ الشَّيْطَانُ لَمَّا قُضِيَ اْلأَمْرُ إِنَّ
اللَّهَ وَعَدَكُمْ وَعْدَ الْحَقِّ وَوَعَدْتُكُمْ فَأَخْلَفْتُكُمْ ۖ
وَمَا كَانَ لِيَ عَلَيْكُمْ مِنْ سُلْطَانٍ إِلاَّ أَنْ دَعَوْتُكُمْ فَاسْتَجَبْتُمْ
لِي ۖ
فَلاَ تَلُومُونِي وَلُومُوا أَنْفُسَكُمْ ۖ
مَا أَنَا بِمُصْرِخِكُمْ وَمَا أَنْتُمْ بِمُصْرِخِيَّ ۖ
إِنِّي كَفَرْتُ بِمَا أَشْرَكْتُمُونِ مِنْ قَبْلُ ۗ
إِنَّ الظَّالِمِينَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Dan berkatalah syaitan tatkala
perkara (hisab) telah diselesaikan: “Sesungguhnya Allah telah menjanjikan
kepadamu janji yang benar, dan aku pun telah menjanjikan kepadamu tetapi aku
menyalahinya. Sekali-kali tidak ada kekuasaan bagiku terhadapmu, melainkan
(sekedar) aku menyeru kamu lalu kamu mematuhi seruanku, oleh sebab itu
janganlah kamu mencerca aku, akan tetapi cercalah dirimu sendiri. Aku
sekali-kali tidak dapat menolongmu dan kamu pun sekali-kali tidak dapat
menolongku. Sesungguhnya aku tidak membenarkan perbuatanmu mempersekutukan aku
(dengan Allah) sejak dahulu”. Sesungguhnya orang-orang zhalim itu mendapat
siksaan yang pedih (QS Ibrahim [14]:22).
Sikap keempat yang harus kita
tunjukkan bila kita bersalah adalah tidak membela orang yang salah. Hal ini
karena akibat dari kesalahan akan menimpa orang yang melakukannya, karena itu
biarlah orang yang bersalah merasakan akibatnya sehingga kita tidak perlu dan
tidak boleh membela atau melindunginya. Ketika Rasulullah saw dilaporkan oleh
para sahabat tentang adanya ketidakadilan, dimana bila orang-orang penting atau
bangsawan yang bersalah tidak dihukum, tetapi ditutup-tutupi kesalahan itu
bahkan mendapat perlindungan, mendengar hal itu Rasulullah saw menyatakan:
“Andaikan anakku Fatimah mencuri, akan aku potong tangannya”.
Pernyataan Nabi di atas
menunjukkan bahwa orang yang bersalah harus dihukum sesuai dengan tingkat
kesalahannya sehingga tidak perlu dilindungi apalagi dibela, meskipun ia orang
yang selama ini kita hormati seperti orang tua, guru, pemimpin atau pejabat
atau ia adalah orang yang kita cintai seperti anak, teman dan sebagainya.
Larangan ini ditegaskan oleh Allah swt karena jangan sampai orang yang bersalah
akan melakukan kesalahan lagi pada kesempatan yang lain. Larangan membela orang
yang salah tercermin pada firman Allah swt:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ
وَلاَ تَعَاوَنُوا عَلَى اْلإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ
Tolong menolonglah kamu dalam
kebaikan dan taqwa dan jangan tolong menolong dalam dosa dan permusuhan (QS Al
Maidah [5]:2).
Dari uraian di atas, menjadi
jelas bagi kita bahwa Allah swt maklum bila manusia melakukan kesalahan,
karenanya Dia membuka pintu taubat bagi hamba-Nya yang bersalah bila mereka mau
bertaubat.
Komentar