Keutamaan Taubat
dan Orang-orang
yang Bertaubat dalam al Qur'an
yang Bertaubat dalam al Qur'an
Tentang pentingnya taubat sebagian ulama ahli ma’rifat
menyatakan sebagai berikut :
إِغْسِلُوْا
أَرْبَعًا بِأَرْبَعٍ : وُجُوْهَكُمْ بِمَاءِ أَعْيُنِكُمْ وَأَلْسِنَتِكُمْ
بِذِكْرِ خَالِقِكُمْ وَقُلُوْبَكُمْ بِخَشْيَةِ رَبِّكُمْ وَذُنُوْبَكُمْ
بِالتَّوْبَةِ إِلىَ مَوْلاَكُمْ.
Cucilah
4 perkara dengan 4 perkara yang lain, yaitu :
1.
Cucilah wajahmua dengan air matamu
2.
Cucilah lisanmu dengan dzikir
3.
Cucilah hatimu dengan rasa takut kepada Allah
4.
Cucilah dosamu dengan taubat kepada Allah
قَوْلُ الشَّاعِرِ :
لَكِنَّ تَرْكَ الذُنُوْبِ أَوْجَبُ
لَكِنَّ فَوْتَ الثَّوَابِ أَصْعَبُ
لَكِنْ غَفْلَةُ النّاسِ أَعْجَبُ
لَكِنِ الْمَوْتُ مِنْ ذَاكَ أَقْرَبُ
|
فَرْضٌ عَلىَ النَّاسِ أَنْ يَتُوْبُوا
وَالصَّبْرُ فِى النََّائِـــــبَاتِ صَعْبٌ
والدَّهْرُ فِي صَرْفِهِ عَجِيْبٌ
وَكُلُّ مَا قَدْ يَجِيْءُ قَرِيْبٌ
|
Manusia wajib
bertaubat, tetapi meninggalkan dosa itu lebih wajib
Sabar dalam
menghadapi musibah itu sulit, tapi hilangnya pahala sabar itu lebih sulit
Perubahan zaman itu
memang sesuatu yang aneh, tapi kelalaian manusia lebih aneh
Peristiwa yang akan
datang terkadang terasa dekat, tapi kematian itu lebih dekat
Tentang dorongan
dan anjuran untuk bertobat, Al Qur'an berbicara:
إِنَّ
اللّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ -٢٢٢-
"Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan
diri." (QS. Al Baqarah: 222).
Maka derajat apa
yang lebih tinggi dari pada mendapatkan kasih sayang Rabb semesta alam.
Dalam menceritakan
tentang ibadurrahman yang Allah SWT berikan kemuliaan dengan menisbahkan mereka
kepada-Nya, serta menjanjikan bagi mereka surga, di dalamnya mereka mendapatkan
ucapan selamat dan mereka kekal di sana, serta mendapatkan tempat yang baik.
Firman Allah SWT:
وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ
مَعَ اللَّهِ إِلَهاً آخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا
بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَاماً -٦٨- يُضَاعَفْ
لَهُ الْعَذَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيَخْلُدْ فِيهِ مُهَاناً -٦٩- إِلَّا مَن تَابَ
وَآمَنَ وَعَمِلَ عَمَلاً صَالِحاً فَأُوْلَئِكَ يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ
حَسَنَاتٍ وَكَانَ اللَّهُ غَفُوراً رَّحِيماً -٧٠-
"Dan
orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak
membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang
benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia
mendapat (pembalasan)dosa(nya)." (QS. Al Furqaan: 68-70.).
Keutamaan apalagi
yang lebih besar dari pada orang yang bertaubat itu mendapatkan ampunan dari
Allah SWT , hingga keburukan mereka digantikan dengan kebaikan?
Dan dalam
penjelasan tentang keluasan ampunan Allah SWT dan rahmat-Nya bagi orang-orang
yang bertaubat. Allah SWT berfirman:
قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ
أَسْرَفُوا عَلَى أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِن رَّحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ
يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعاً إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ -٥٣-
"Katakanlah:
"Hai hamba-hambaKu yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri,
janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni
dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang." (QS. Az-Zumar: 53)
Ayat ini membukakan
pintu dengan seluas-luasnya bagi seluruh orang yang berdosa dan melakuan
kesalahan. Meskipun dosa mereka telah mencapai ujung langit sekalipun. Seperti
sabda Rasulullah Saw:
"Jika kalian
melakukan kesalahan-kesalahan (dosa) hingga kesalahan kalian itu sampai ke
langit, kemudian kalian bertaubat, niscaya Allah SWT akan memberikan taubat
kepada kalian." (Hadist diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Abi Hurairah,
dan ia menghukumkannya sebagai hadits hasan dalam kitab sahih Jami' Shagir -
5235)
Di antara keutamaan
orang-orang yang bertaubat adalah: Allah SWT menugaskan para malaikat
muqarrabin untuk beristighfar bagi mereka serta berdo'a kepada Allah SWT agar
Allah SWT menyelamatkan mereka dari azab neraka. Serta memasukkan mereka ke
dalam surga. Dan menyelamatkan mereka dari keburukan. Mereka memikirkan urusan
mereka di dunia, sedangkan para malaikat sibuk dengan mereka di langit. Allah
SWT berfirman:
الَّذِينَ يَحْمِلُونَ
الْعَرْشَ وَمَنْ حَوْلَهُ يُسَبِّحُونَ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَيُؤْمِنُونَ بِهِ وَيَسْتَغْفِرُونَ
لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا وَسِعْتَ كُلَّ شَيْءٍ رَّحْمَةً وَعِلْماً فَاغْفِرْ
لِلَّذِينَ تَابُوا وَاتَّبَعُوا سَبِيلَكَ وَقِهِمْ عَذَابَ الْجَحِيمِ -٧- رَبَّنَا
وَأَدْخِلْهُمْ جَنَّاتِ عَدْنٍ الَّتِي وَعَدتَّهُم وَمَن صَلَحَ مِنْ آبَائِهِمْ
وَأَزْوَاجِهِمْ وَذُرِّيَّاتِهِمْ إِنَّكَ أَنتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ -٨- وَقِهِمُ
السَّيِّئَاتِ وَمَن تَقِ السَّيِّئَاتِ يَوْمَئِذٍ فَقَدْ رَحِمْتَهُ وَذَلِكَ هُوَ
الْفَوْزُ الْعَظِيمُ -٩-
"(Malaikat-malaikat)
yang memikul 'arsy dan malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji
Tuhannya dan mereka beriman kepada-Nya serta memintakan ampun bagi orang-orang
yang beriman (seraya mengucapkan): "Ya Tuhan kami, rahmat dan ilmu Engkau
meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertaubat
dan mengikuti jalan Engkau dan peliharalah mereka dari siksaan neraka yang
bernyala-nyala, ya Tuhan kami, dan masukkanlah mereka kedalam surga 'Adn yang
telah Engkau janjikan kepada mereka dan orang-orang yang saleh di antara bapak
-bapak mereka, dan istri-istri mereka, dan keturunan mereka semua. Sesungguhnya
Engkaulah Yang maha Perkasa lagi Maha Bijaksana, dan peliharalah mereka dari
(balasan) kejahatan. Dan orang-orang yang Engkau pelihara
dari(pembalasan?)kejahatan pada hari itu maka sesungguhnya telah Engkau
anugerahkan rahmat kepadanya dan itulah kemenangan yg besar." (QS.Ghaafir:
7-9).
Terdapat banyak
ayat dalam Al Qur'an yang mengabarkan akan diterimanya taubat orang-orang yang
melakukan taubat jika taubat mereka tulus, dengan banyak redaksi. Dengan
berdalil pada kemurahan karunia Allah SWT, ampunan dan rahmat-Nya, yang tidak
merasa sempit dengan perbuatan orang yang melakukan maksiat, meskipun
kemaksiatan mereka telah demikian besar.
Seperti dalam
firman Allah SWT:
أَلَمْ يَعْلَمُواْ أَنَّ
اللّهَ هُوَ يَقْبَلُ التَّوْبَةَ عَنْ عِبَادِهِ وَيَأْخُذُ الصَّدَقَاتِ وَأَنَّ
اللّهَ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ -١٠٤-
"Tidakkah
mereka mengetahui, bahwasanya Allah menerima taubat dari hamba-hambaNya dan
menerima zakat, dan bahwasanya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang?
." (QS. At-Taubah: 104)
وَهُوَ الَّذِي يَقْبَلُ
التَّوْبَةَ عَنْ عِبَادِهِ وَيَعْفُو عَنِ السَّيِّئَاتِ وَيَعْلَمُ مَا تَفْعَلُونَ
-٢٥-
"Dan Dialah
Yang menerima taubat dari hamba-hambaNya dan memaafkan
kesalahan-kesalahan." (QS. Asy-Syuuraa: 25)
غَافِرِ الذَّنبِ وَقَابِلِ
التَّوْبِ شَدِيدِ الْعِقَابِ ذِي الطَّوْلِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ إِلَيْهِ الْمَصِيرُ
-٣-
Dan dalam menyipati
Dzat Allah SWT: "Yang mengampuni dosa dan menerima taubat." (QS.
Ghaafir: 3)
Terutama orang yang
bertaubat dan melakukan perbaikan. Atau dengan kata lain, orang yang bertaubat
dan melakukan amal yang saleh. Seperti dalam firman Allah SWT dalam masalah
pria dan wanita yang mencuri:
فَمَن تَابَ مِن بَعْدِ
ظُلْمِهِ وَأَصْلَحَ فَإِنَّ اللّهَ يَتُوبُ عَلَيْهِ إِنَّ اللّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
-٣٩-
"Maka
barangsiapa yang bertaubat (di antara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan
kejahatan itu, dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima
taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al
Maaidah: 39)
وَإِذَا جَاءكَ الَّذِينَ
يُؤْمِنُونَ بِآيَاتِنَا فَقُلْ سَلاَمٌ عَلَيْكُمْ كَتَبَ رَبُّكُمْ عَلَى نَفْسِهِ
الرَّحْمَةَ أَنَّهُ مَن عَمِلَ مِنكُمْ سُوءاً بِجَهَالَةٍ ثُمَّ تَابَ مِن بَعْدِهِ
وَأَصْلَحَ فَأَنَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ -٥٤-
"Tuhanmu
telah menetapkan atas diriNya kasih sayang, (yaitu) bahwasanya barangsiapa yang
berbuat kejahatan di antara kamu lantaran kejahilan, kemudian ia bertaubat
setelah mengerjakannya, dan mengadakan perbaikan, maka sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Al An'aam: 54)
ثُمَّ إِنَّ رَبَّكَ
لِلَّذِينَ عَمِلُواْ السُّوءَ بِجَهَالَةٍ ثُمَّ تَابُواْ مِن بَعْدِ ذَلِكَ وَأَصْلَحُواْ
إِنَّ رَبَّكَ مِن بَعْدِهَا لَغَفُورٌ رَّحِيمٌ -١١٩-
"Kemudian,
sesungguhnya Tuhanmu (mengampuni) bagi orang-orang yang mengerjakan kesalahan
karena kebodohannya, kemudian mereka bertaubat setelah itu, dan memperbaiki (
dirinya) sesungguhnya Tuhanmu sesudah itu Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang." (QS. An-Nahl: 119)
Puja-puji terhadap Allah SWT dengan nama-Nya
"at-Tawwab" (Maha Penerima Taubat) terdapat dalam al Quran sebanyak
sebelas tempat. Seperti dalam do'a Ibrahim dan Isma'il a.s.:
رَبَّنَا وَاجْعَلْنَا
مُسْلِمَيْنِ لَكَ وَمِن ذُرِّيَّتِنَا أُمَّةً مُّسْلِمَةً لَّكَ وَأَرِنَا مَنَاسِكَنَا
وَتُبْ عَلَيْنَا إِنَّكَ أَنتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ -١٢٨-
"Dan
terimalah taubat kami, sesungguhnya Engkaulah yang Maha penerima taubat lagi
Maha Penyayang." (QS. Al Baqarah: 128).
Juga
seperti dalan sabda Nabi Musa kepada Bani Israil setelah mereka menyembah anak
sapi:
وَإِذْ قَالَ مُوسَى
لِقَوْمِهِ يَا قَوْمِ إِنَّكُمْ ظَلَمْتُمْ أَنفُسَكُمْ بِاتِّخَاذِكُمُ الْعِجْلَ
فَتُوبُواْ إِلَى بَارِئِكُمْ فَاقْتُلُواْ أَنفُسَكُمْ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ عِندَ
بَارِئِكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ -٥٤-
"Maka bertaubatlah kepada Tuhan Yang menjadikan kamu,
dan bunuhlah dirimu. Hal itu adalah lebih baik bagimu, pada sisi Tuhan Yang
menjadikan kamu, maka Allah akan menerima taubatmu. Sesungguhnya Dialah yang
Maha Penerima taubat dan Maha Penyayang ." (QS. Al Baqarah: 54)
Kewajiban Bertaubat dan Urgensinya
Taubat dari dosa
yang dilakukan oleh seorang mu'min --dan saat itu ia sedang berusaha menuju
kepada Allah SWT -- adalah kewajiban agama. Diperintahkah oleh Al Quran,
didorong oleh sunnah, serta disepakati kewajibannnya oleh seluruh ulama, baik
ulama zhahir maupun ulama bathin. Atau ulama fiqh dan ulama suluk. Hingga Sahl
bin Abdullah berkata: Barangsiapa yang berkata bahwa taubat adalah tidak wajib
maka ia telah kafir, dan barangsiapa yang menyetujui perkataan seperti itu maka
ia juga kafir. Dan ia berkata: "Tidak ada yang lebih wajib bagi makhluk
dari melakukan taubat, dan tidak ada hukuman yang lebih berat atas manusia
selain ketidak tahuannya akan ilmu taubat, dan tidak menguasai ilmu taubat itu
(Di sebutkan oleh Abu Thalib Al Makki dalam kitabnya Qutul Qulub, juz 1 hal.
179).
Taubat dalam Al Quran
Al Quran memberi
perhatian yang besar terhadap taubat dalam banyak ayat-ayat yang tersebar dalam
surah-surah Makkiah atau Madaniah. Kita akan membaca ayat-ayat itu nantinya,
insya Allah.
"Bertaubatlah
kepada Allah SWT dengan Taubat yang semurni-murninya".
Di antara perintah
yang paling tegas untuk melaksanakan taubat dalam Al Quran adalah firman Allah
SWT:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا
إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَّصُوحاً عَسَى رَبُّكُمْ أَن يُكَفِّرَ عَنكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ
وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ يَوْمَ لَا يُخْزِي اللَّهُ
النَّبِيَّ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ نُورُهُمْ يَسْعَى بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَانِهِمْ
يَقُولُونَ رَبَّنَا أَتْمِمْ لَنَا نُورَنَا وَاغْفِرْ لَنَا إِنَّكَ عَلَى كُلِّ
شَيْءٍ قَدِيرٌ -٨-
"Hai
orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang
semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu
dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai,
pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang yang beriman
bersama dengan dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah
kanan mereka, sambil mereka mengatakan: "Ya Tuhan kami, sempurnakanlah
bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami; sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas
segala sesuatu" (QS. At Tahrim: 8).
Ini adalah perintah
yang lain dari Allah SWT dalam Al Quran kepada manusia untuk melakukan taubat
dengan taubat nasuha: yaitu taubat yang bersih dan benar. Perintah Allah SWT
dalam Al Quran itu menunjukkan wajibnya pekerjaan ini, selama tidak ada
petunjuk lain yang mengindikasikan pengertian selain itu. Sementara dalam ayat
itu tidak ada petunjuk yang lain itu. Oleh karena itu, hendaknya seluruh kaum
mu'min berusaha untuk menggapai dua hal atau dua tujuan yang pokok ini. Yaitu:
1.
Menghapuskan dosa-dosa
2.
Masuk ke dalam surga.
Seluruh individu
muslim amat membutuhkan dua hal ini:
Pertama: agar kesalahannya dihapuskan,
dan dosa-dosanya diampunkan. Karena manusia, disebabkan sifat kemanusiaannya,
tidak mungkin terbebas dari kesalahan dan dosa-dosa. Itu bermula dari kenyatan
elemen pembentukan manusia tersusun dari unsur tanah yang berasal dari bumi,
dan unsur ruh yang berasal dari langit. Salah satunya menarik ke bawah
sementara bagian lainnya mengajak ke atas. Yang pertama dapat menenggelamkan
manusia pada perangai binatang atau lebih buruk lagi, sementara yang lain dapat
mengantarkan manusia ke barisan para malaikat atau lebih tinggi lagi.
Oleh karena itu,
manusia dapat melakukan kesalahan dan membuat dosa. Dengan kenyataan itu ia
membutuhkan taubat yang utuh, sehingga ia dapat menghapus kesalahan yang
diperbuatnya.
Kedua: agar ia dapat masuk surga. Siapa
yang tidak mau masuk surga? Pemikiran yang paling berat menghantui manusia
adalah: akan masuk kemana ia nantinya di akhirat. Ini adalah masalah ujung
perjalanan manusia yang paling penting: apakah ia akan selamat di akhirat atau
binasa? Apakah ia akan menang dan bahagia ataukah ia akan mengalami kebinasaaan
dan penderitaan? Keberhasilan, kemenangan dan kebahagiaan adalah terdapat dalam
surga. Sedangkan kebinasaan, kekecewaan serta penderitaan terdapat dalam
neraka:
فَمَن زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ
الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ وَما الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلاَّ مَتَاعُ الْغُرُورِ
-١٨٥-
"Barangsiapa
dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga maka sungguh dia telah
beruntung. Kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan"
(QS. Ali Imran: 185.).
Bertaubatlah Kalian Semua Kepada Allah SWT, Wahai Orang-2 yg Beriman
Di antara ayat Al
Quran yang berbicara tentang taubat adalah firman Allah:
وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعاً أَيُّهَا
الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ -٣١-
"Dan
bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya
kamu beruntung" (QS. An-Nur: 31).
Dalam ayat ini,
Allah SWT memerintahkan kepada seluruh kaum mu'minin untuk bertaubat kepada
Allah SWT, dan tidak mengecualikan seorangpun dari mereka. Meskipun orang itu
telah demikian taat menjalankan syari'ah, dan telah menanjak dalam barisan kaum
muttaqin, namun tetap ia memerlukan taubat. Di antara kaum mu'minin ada yang
bertaubat dari dosa-dosa besar, jika ia telah melakukan dosa besar itu. Karena
ia memang bukan orang yang ma'shum (terjaga dari dosa). Di antara mereka ada
yang bertaubat dari dosa-dosa kecil, dan sedikit sekali orang yang selamat dari
dosa-dosa macam ini. Dari mereka ada yang bertaubat dari melakukan yang syubhat.
Dan orang yang menjauhi syubhat maka ia telah menyelamatkan agama dan nama
baiknya. Dan diantara mereka ada yang bertaubat dari tindakan-tindakan yang
dimakruhkan. Dan di antara mereka malah ada orang yang melakukan taubat dari
kelalaian yang terjadi dalam hati mereka. Dan dari mereka ada yang bertaubat
karena mereka berdiam diri pada maqam yang rendah dan tidak berusaha untuk
mencapai maqam yang lebih tinggi lagi.
Taubat orang awam
tidak sama dengan taubat kalangan khawas, juga tidak sama dengan taubat
kalangan khawas yang lebih tinggi lagi. Oleh karena itu ada yang mengatakan:
"Kebaikan kalangan abrar adalah kesalahan orang-orang kalangan
muqarrabin!" Namun, dalam ayat itu, semua mereka diperintahkan untuk
melakukan taubat, agar mereka selamat.
Pengarang kitab Al
Qamus memberikan komentar atas ayat ini dalam kitabnya (Al Bashair): Ayat ini
terdapat dalam kelompok surah Madaniyyahh . Allah tujukan kepada kaum yang
beriman dan kepada makhluk-makhluk-Nya yang baik, agar mereka bertaubat
kepada-Nya, setelah mereka beriman, sabar, hijrah dan berjihad. Kemudian
mengaitkan keberuntungan dengan taubat "agar kalian beruntung". Yaitu
mengaitkan antara sebab dengan yang disebabkan. Dan menggunakan dengan 'adat'
"la'alla" untuk memberikan pengertian pengharapan. Yaitu jika kalian
bertaubat maka kalian diharapkan akan mendapatkan keberuntungan, dan hanya
orang yang bertaubat yang berhak mengharapkan keberuntungan itu.
Sebagian ulama
suluk berkata: Taubat adalah wajib bagi seluruh manusia, hingga bagi para nabi
dan wali-wali sekalipun. Dan janganlah engkau duga bahwa taubat hanya khusus
untuk Adam a.s. saja. Allah SWT befirman:
وَعَصَى
آدَمُ رَبَّهُ فَغَوَى -١٢١- ثُمَّ اجْتَبَاهُ رَبُّهُ فَتَابَ عَلَيْهِ وَهَدَى
-١٢٢-
"Dan
durhakalah Adam kepada Tuhan dan sesatlah ia, kemudian Tuhannya memilihnya maka
Dia menerima taubatnya dam memberinya petunjuk" (QS. Thahaa: 121-122).
Namun ia adalah
hukum yang azali dan tertulis bagi umat manusia sehingga tidak mungkin dapat
diterima sebaliknya. Selama sunnah-sunnah (ketentuan) Ilahi belum tergantikan.
Maka kembali --yaitu dengan bertaubat-- kepada Allah SWT bagi setiap manusia
adalah amat urgen, baik ia seorang Nabi atau orang yang berperangai seperti
babi, juga bagi wali atau si pencuri. Abu Tamam berkata:
"Jangan engkau
sangka hanya Hindun yang berhianat, itu adalah dorongan peribadi dan setiap
orang dapat berlaku seperti Hindun!
Perkataan itu
didukung oleh hadits:
"Seluruh
kalian adalah pembuat salah dan dosa, dan orang yang berdosa yang paling baik
adalah mereka yang sering bertaubat". Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad
dan lainnya dari Anas. Juga taubat itu adalah wajib bagi seluruh manusia. Ia
wajib dalam seluruh kondisi dan secara terus menerus. Pengertian itu dipetik dari
dalil yang umum, Allah SWT berfirman: " dan bertaubatlah kamu sekalian
kepada Allah". Karena manusia tidak mungkin terbebaskan dari dosa yang
diperbuat oleh anggota tubuhnya. Hingga para nabi dan orang-orang yang saleh
sekalipun. Dalam Al Quran dan hadits disebutkan tentang dosa-dosa mereka, serta
taubat dan tangisan sesal mereka.
Jika suatu saat
orang terbebas dari maksiat yang dilakukan oleh tubuhnya, maka ia tidak dapat
terlepas dari keinginan berbuat maksiat dalam hatinya. Dan jikapun tidak ada
keinginan itu, dapat pula ia merasakan was-was yang ditiupkan oleh syaitan
sehingga ia lupa dari dzikir kepada Allah SWT. Dan jika tidak, dapat pula ia
mengalami kelalaian dan kurang dalam mencapai ilmu tentang Allah SWT,
sifat-sifat-Nya serta perbuatan-perbuatan-Nya. Semua itu adalah kekurangan dan
masing-masing mempunyai sebabnya. Dan membiarkan sebab-sebab itu dengan
menyibukkan diri dengan pekerjaan yang berlawanan berarti mengembalikan diri ke
tingkatannya yang rendah. Dan manusia berbeda-beda dalam kadar kekurangannya,
bukan dalam kondisi asal mereka (Lihat: Syarh Ainul Ilmi wa Zainul Hilm, juz 1
hal. 175. Kitab ini adalah mukhtasar (ringkasan) kitab Ihya Ulumuddin).
Orang yang tidak Bertaubat adalah Orang yang Zhalim
Allah SWT
berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا
يَسْخَرْ قَومٌ مِّن قَوْمٍ عَسَى أَن يَكُونُوا خَيْراً مِّنْهُمْ وَلَا نِسَاء مِّن
نِّسَاء عَسَى أَن يَكُنَّ خَيْراً مِّنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنفُسَكُمْ وَلَا
تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الاِسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَن لَّمْ
يَتُبْ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ -١١-
"Hai
orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain
(karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang
mengolok-olokkan) dan jangan pula wanita -wanita (mengolok-olokkan)
wanita-wanita yang lain (karena) boleh Jadi wanita (yang diperolok-olokkan)
lebih baik dari wanita (yang mengolok-olokkan) dan janganlah kamu mencela
dirimu sendiri dan kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk.
Seburuk-buruk pangggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barang
siapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim." (QS
.Al Hujurat: 11)
Setelah Allah SWT
melarang kaum mu'minin untuk mencela seorang muslim --baik ia laki-laki atau
perempuan-- serta mengejeknya dengan ucapan yang menyakitkan atau membuatnya
susah; dan al-Quran menganggap orang yang mengejek sesama muslim sebagai orang
yang mengejek dirinya sendiri, karena kaum muslimin adalah seperti satu tubuh;
Al-Quran juga melarang untuk saling panggil memanggil dengan panggilan yang
buruk yang tidak disenangi orang. Perbuatan itu semua akan memindahkan manusia
dari derajat keimanan ke derajat kefasikan. Dari seorang mu'min menjadi seorang
fasik, dan nama yang paling buruk setelah keimanan adalah kefasikan itu.
Kemudian Allah SWT
berfirman:
إِنَّهُ لاَ يُفْلِحُ الظَّالِمُونَ
-٢٣-
"Dan barang
siapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim".
Ini adalah dalil akan kewajiban bertaubat. Karena jika ia tidak bertaubat maka
ia akan menjadi orang-orang zhalim. Dan orang-orang yang zhalim tidak akan
beruntung.
"Sesungguhnya
orang-orang yang zalim tidak akan beruntung." (QS. Yusuf: 23)
Juga tidak dicintai
Allah SWT:
"Dan Allah
tidak menyukai orang-orang yang zalim."( QS. Ali 'Imran: 57).
Serta mereka tidak
mendapatkan petunjuk dari Allah SWT:
إِنَّ اللّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ
الظَّالِمِينَ -٥١-
"Sesungguhnya
Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim." (QS. Al
Maidah: 51).
Dan mereka juga
tidak selamat dari api neraka:
وَإِن مِّنكُمْ إِلَّا وَارِدُهَا كَانَ
عَلَى رَبِّكَ حَتْماً مَّقْضِيّاً -٧١- ثُمَّ نُنَجِّي الَّذِينَ اتَّقَوا وَّنَذَرُ
الظَّالِمِينَ فِيهَا جِثِيّاً -٧٢-
"Dan tidak ada
seorangpun daripadamu, melainkan mendatangi neraka itu. Hal itu bagi Tuhanmu
adalah suatu kemestian yang sudah ditetapkan. Kemudian Kami menyelamatkan
orang-orang yang bertakwa dan membiarkan orang-orang yang zalim di dalam neraka
dalam keadaan berlutut." (QS. Maryam: 71-72.).
Ayat-ayat yang
lain:
Di antara ayata-yat
Al Quran yang mengajak kepada taubat dan menganjurkannya, serta menjelaskan
keutamaannya dan buahnya adalah firman Allah SWT:
إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ
وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ -٢٢٢-
"Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan
diri." (QS. Al Baqarah: 222).
Mengajak Kaum Musyrikin dan Kaum Kafir untuk Bertaubat
Di antara ayat-ayat
Al Quran ada yang mengajak kaum musyrikin untuk bertaubat, serta membukan pintu
bagi mereka untuk bergabung dalam masyarakat muslim, serta menjadi saudara
seiman mereka. Seperti firman Allah SWT dalam surah at-Taubah setelah
memerintahkan untuk memerangi kaum musyrikin yang melanggar perjanjian damai:
فَإِن تَابُواْ وَأَقَامُواْ الصَّلاَةَ
وَآتَوُاْ الزَّكَاةَ فَخَلُّواْ سَبِيلَهُمْ إِنَّ اللّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ -٥-
"Jika mereka
bertaubat dan mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan
kepada mereka untuk berjalan sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang." (QS. at-Taubah: 5).
فَإِن تَابُواْ وَأَقَامُواْ الصَّلاَةَ
وَآتَوُاْ الزَّكَاةَ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَنُفَصِّلُ الآيَاتِ لِقَوْمٍ
يَعْلَمُونَ -١١-
"Jika mereka
bertaubat, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah
saudara-saudaramu seagama." (QS. At-Taubah: 11)
Al Quran juga
mengajak orang-orang Kristen untuk bertaubat dari perkataan mereka tentang
ketuhanan al Masih atau ia sebagai satu dari tiga oknum tuhan! Sedangkan ia
sebetulnya hanyalah seorang hamba Allah. Dan baginya telah terjadi apa yang
terjadi bagi manusia biasa. Serta Al Quran mengajak untuk menyembah Allah SWT
saja.
Allah SWT
berfirman:
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُواْ إِنَّ
اللّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ وَقَالَ الْمَسِيحُ يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ
اعْبُدُواْ اللّهَ رَبِّي وَرَبَّكُمْ إِنَّهُ مَن يُشْرِكْ بِاللّهِ فَقَدْ حَرَّمَ
اللّهُ عَلَيهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنصَارٍ
-٧٢- لَّقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُواْ إِنَّ اللّهَ ثَالِثُ ثَلاَثَةٍ وَمَا مِنْ
إِلَـهٍ إِلاَّ إِلَـهٌ وَاحِدٌ وَإِن لَّمْ يَنتَهُواْ عَمَّا يَقُولُونَ لَيَمَسَّنَّ
الَّذِينَ كَفَرُواْ مِنْهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ -٧٣- أَفَلاَ يَتُوبُونَ إِلَى اللّهِ
وَيَسْتَغْفِرُونَهُ وَاللّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ -٧٤-
"Sesungguhnya
telah kafirlah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya Allah ialah al
Masih putera Maryam", padahal al-Masih (sendiri) berkata: "Hai bani
Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu" Sesungguhnya orang yang
mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya
surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu
seorang penolongpun. Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: "
bahwasanya Allah salah satu dari yang tiga", padahal sekali-kali tidak ada
Tuhan (yang berhak disembah) selain Tuhan yang Esa. Jika mereka tidak berhenti
dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir di antara mereka
akan ditimpa siksaan yang pedih. Maka mengapa mereka tidak bertaubat kepada
Allah dan memohon ampun kepadaNya? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang." (QS. Al Maidah: 72-74 ).
Bahkan Allah SWT
Yang Maha Pemurah juga membuka pintu taubat bagi orang-orang kafir yang telah
demikian keji menyiksa kaum mu'mimin dan mu' minat, serta telah melemparkan
kaum mu'minin itu ke dalam api yang panas:
النَّارِ ذَاتِ الْوَقُودِ -٥- إِذْ
هُمْ عَلَيْهَا قُعُودٌ -٦- وَهُمْ عَلَى مَا يَفْعَلُونَ بِالْمُؤْمِنِينَ شُهُودٌ
-٧-
"Yang berapi
(dinyalakan dengan) kayu bakar. Ketika mereka duduk di sekitarnya. Sedang
mereka menyaksikan apa yang mereka perbuat terhadap orang-orang beriman." (QS.
al Buruj: 5-7.)
Allah SWT berfirman
setelah menyebutkan kisah mereka itu, bahwa mereka membenci kaum mu'minin itu
semata karena kaum mu'minin beriman kepada Allah SWT semata.
Allah SWT befirman:
إِنَّ الَّذِينَ فَتَنُوا الْمُؤْمِنِينَ
وَالْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَتُوبُوا فَلَهُمْ عَذَابُ جَهَنَّمَ وَلَهُمْ عَذَابُ
الْحَرِيقِ -١٠-
"Sesungguhnya
orang-orang yang mendatangkan cobaan kepada orang-orang yang mu'min laki-laki
dan perempuan kemudian mereka tidak bertaubat, maka bagi mereka azab jahannam
dan bagi mereka azab (neraka) yang membakar." (QS. al Buruuj: 10).
Hasan al Bashri mengomentari
ayat ini: "lihatlah kedermawanan dan kemurahan Allah SWT ini: mereka
membunuh para wali-Nya, dan Dia kemudian mengajak mereka itu untuk bertaubat
dan meminta ampun kepada-Nya!."
Hingga kemurtadan
--yaitu orang yang kafir setelah iman- taubat mereka masih dapat diterima.
Allah SWT berfirman:
كَيْفَ يَهْدِي اللّهُ قَوْماً كَفَرُواْ
بَعْدَ إِيمَانِهِمْ وَشَهِدُواْ أَنَّ الرَّسُولَ حَقٌّ وَجَاءهُمُ الْبَيِّنَاتُ
وَاللّهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ -٨٦- أُوْلَـئِكَ جَزَآؤُهُمْ أَنَّ
عَلَيْهِمْ لَعْنَةَ اللّهِ وَالْمَلآئِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ -٨٧- خَالِدِينَ
فِيهَا لاَ يُخَفَّفُ عَنْهُمُ الْعَذَابُ وَلاَ هُمْ يُنظَرُونَ -٨٨- إِلاَّ الَّذِينَ
تَابُواْ مِن بَعْدِ ذَلِكَ وَأَصْلَحُواْ فَإِنَّ الله غَفُورٌ رَّحِيمٌ -٨٩-
"Bagaimana Allah
akan menunjuki suatu kaum yang kafir sesudah mereka beriman, serta mereka telah
mengakui bahwa Rasul itu (Muhammad) benar-benar rasul, dan
keterangan-keteranganpun telah datang kepada mereka? Allah tidak menunjukki
orang-orang yang zalim. Mereka itu balasannya ialah: Bahwasanya la'nat Allah
ditimpakan kepada mereka, (demikian pula) la'nat para malaikat dan manusia
seluruhnya. Mereka kekal di dalamnya, tidak diringankan siksa dari mereka, dan
tidak (pula) mereka diberi tangguh, kecuali orang-orang yang taubat, sesudah
(kafir) itu dan mengadakan perbaikan. Karena sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang." (QS. Ali Imran: 86-89.)
Taubat dari Kemunafikan
Sebagaimana Allah
SWT juga mengajak untuk bertaubat dari kekafiran yang zhahir dan terang-terangan,
Allah SWT juga mengajak untuk bertaubat dari kekafiran yang tersembunyi, yang
ditutupi dengan keimanan lisan. Yaitu yang terkenal dengan nama
"kemunafikan" dan orangnya adalah kaum "munafiqin".
Yaitu mereka yang
berkata:
وَمِنَ النَّاسِ مَن يَقُولُ آمَنَّا
بِاللّهِ وَبِالْيَوْمِ الآخِرِ وَمَا هُم بِمُؤْمِنِينَ -٨- يُخَادِعُونَ اللّهَ وَالَّذِينَ
آمَنُوا وَمَا يَخْدَعُونَ إِلاَّ أَنفُسَهُم وَمَا يَشْعُرُونَ -٩- فِي قُلُوبِهِم
مَّرَضٌ فَزَادَهُمُ اللّهُ مَرَضاً وَلَهُم عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ
-١٠-
"Kami beriman
kepada Allah dan hari kemudian, padahal mereka itu sesungguhnya bukan
orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang
beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sabar.
Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya." (QS.
al Baqarah: 8-10).
Taubat dari
kemunafikan ini adalah tidak sekadar mengungkapkan dan memberitahukan
keisalamannya. Karena sebelumnya ia memang telah Islam. Namun, yang patut ia
lakukan adalah agar ia bersifat dengan empat sifat yang disebutkan dalam surah
an-Nisa. Setelah Al Quran membongkar sifat asli mereka, dan apa yang
tersembunyi dalam diri mereka: yaitu mereka memberikan loyalitas mereka kepada
kaum kafirin, bukan kaum mu'minin, serta mereka mencari kemuliaan dari kaum
kafirin itu:
بَشِّرِ الْمُنَافِقِينَ بِأَنَّ لَهُمْ
عَذَاباً أَلِيماً -١٣٨- الَّذِينَ يَتَّخِذُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاء مِن دُونِ
الْمُؤْمِنِينَ أَيَبْتَغُونَ عِندَهُمُ الْعِزَّةَ فَإِنَّ العِزَّةَ لِلّهِ جَمِيعاً
-١٣٩-
"Kabarkanlah
kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapatkan siksaan yang pedih,
(yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman
penolong dengan meninggalkan orang-orang mu'min. Apakah mereka mencari kekuatan
di samping orang-orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan
Allah." (QS. an-Nisa: 138-139).
Serta mereka selalu
mencari kelengahan kaum mu'minin, dan berada di tengah-tengah antara kaum kaum
mu'minin dan kaum kafirin untuk mencari keuntungan.
الَّذِينَ يَتَرَبَّصُونَ بِكُمْ فَإِن
كَانَ لَكُمْ فَتْحٌ مِّنَ اللّهِ قَالُواْ أَلَمْ نَكُن مَّعَكُمْ وَإِن كَانَ لِلْكَافِرِينَ
نَصِيبٌ قَالُواْ أَلَمْ نَسْتَحْوِذْ عَلَيْكُمْ وَنَمْنَعْكُم مِّنَ الْمُؤْمِنِينَ
فَاللّهُ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَن يَجْعَلَ اللّهُ لِلْكَافِرِينَ
عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلاً -١٤١-
"(Yaitu)
orang-orang yang menunggu-nunggu (peristiwa) yang akan terjadi pada dirimu (hai
orang-orang mu'min). Maka jika terjadi bagimu kemenangan dari Allah mereka
berkata: "Bukankah kami (turut berperang) beserta kamu?" dan jika
orang-orang kafir mendapat keberuntungan (kemenangan) mereka berkata: 'Bukankah
kami turut memenangkanmu, dan membela kamu dari orang-orang mukmin?" maka
Allah akan memberi keputusan di antara kamu di hari kiamat dan Allah
sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan
orang-orang yang beriman." (QS. an-Nisa: 141).
Juga dari tindakan
mereka mempermainkan dan menipu Allah dan Rasul-Nya, dan mereka malas
menjalankan kewajiban-kewajiban agama dan lalai dari berdzikir kepada Allah
SWT:
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ
اللّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُواْ إِلَى الصَّلاَةِ قَامُواْ كُسَالَى يُرَآؤُونَ
النَّاسَ وَلاَ يَذْكُرُونَ اللّهَ إِلاَّ قَلِيلاً -١٤٢- مُّذَبْذَبِينَ بَيْنَ ذَلِكَ
لاَ إِلَى هَـؤُلاء وَلاَ إِلَى هَـؤُلاء وَمَن يُضْلِلِ اللّهُ فَلَن تَجِدَ لَهُ
سَبِيلاً -١٤٣-
"Sesungguhnya
orang-orang munafik itu menipu Allah dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan
apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka
bermaksud riya (dengan Shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut
Allah kecuali sedikit sekali. Mereka dalam keadaan ragu-ragu antara yang
demikian (iman atau kafir): tidak masuk kepada golongan ini (orang-orang
beriman) dan tidak (pula) kepada golongan itu (orang-orang kafir). Barangsiapa
yang disesatkan Allah , maka kamu sekali-kali tidak akan mendapat jalan (untuk
memberi petunjuk) baginya." (QS. an-Nisa: 142-143).
Setelah Allah SWT
membongkar sifat-sifat orang-orang munafik, namun Allah SWT tidak menutup pintu
bagi mereka. Namun malah membukakan pintu taubat dengan syarat-syaratnya.
Seperti firman Allah SWT:
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ فِي الدَّرْكِ
الأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ وَلَن تَجِدَ لَهُمْ نَصِيراً -١٤٥- إِلاَّ الَّذِينَ تَابُواْ
وَأَصْلَحُواْ وَاعْتَصَمُواْ بِاللّهِ وَأَخْلَصُواْ دِينَهُمْ لِلّهِ فَأُوْلَـئِكَ
مَعَ الْمُؤْمِنِينَ وَسَوْفَ يُؤْتِ اللّهُ الْمُؤْمِنِينَ أَجْراً عَظِيماً -١٤٦-
"Sesungguhnya
orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari
neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi
mereka. Kecuali orang-orang yang taubat dan mengadakan perbaikan dan berpegang
teguh pada (agama) Allah dan tulus ikhlas (mengerjakan) agama mereka karena
Allah. Maka mereka itu adalah bersama-sama orang beriman dan kelak Allah akan
memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala yang besar."( QS.
An-Nisa: 145-146.)
Di antara
tanda-tanda sempurnanya taubat mereka adalah mereka memperbaiki apa yang
dirusak oleh sifat munafik mereka. Serta agar mereka hanya berpegang pada Allah
SWT saja bukan kepada manusia. Dan dengan ikhlas beribadah kepada Allah SWT,
hingga Allah SWT mengikhlaskan mereka untuk agama-Nya. Dengan itu, mereka
bergabung ke dalam barisan kaum mu'minin yang jujur.
Dalam surah lain,
Allah SWT berfirman:
يَحْلِفُونَ بِاللّهِ مَا قَالُواْ
وَلَقَدْ قَالُواْ كَلِمَةَ الْكُفْرِ وَكَفَرُواْ بَعْدَ إِسْلاَمِهِمْ وَهَمُّواْ
بِمَا لَمْ يَنَالُواْ وَمَا نَقَمُواْ إِلاَّ أَنْ أَغْنَاهُمُ اللّهُ وَرَسُولُهُ
مِن فَضْلِهِ فَإِن يَتُوبُواْ يَكُ خَيْراً لَّهُمْ وَإِن يَتَوَلَّوْا يُعَذِّبْهُمُ
اللّهُ عَذَاباً أَلِيماً فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَمَا لَهُمْ فِي الأَرْضِ مِن
وَلِيٍّ وَلاَ نَصِيرٍ -٧٤-
"Mereka
(orang-orang munafik itu) bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa mereka tidak
mengatakan (sesuatu yang menyakitimu). Sesungguhnya mereka telah mengucapkan
perkataan kekafiran, dan telah menjadi kafir setelah Islam, dan mengingini apa
yang mereka tidak dapat mencapainya; dan mereka tidak mencela (Allah dan
Rasul-Nya), kecuali karena Allah dan Rasul-Nya telah melimpahkan karunia-Nya
kepada mereka. Maka jika mereka bertaubat, itu adalah lebih baik bagi mereka,
dan jika mereka berpaling, niscaya Allah akan mengazab mereka dengan azab yang
pedih di dunia dan di akhirat; dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pelindung
dan tidak (pula) penolong di muka bumi." (QS.at-Taubah: 74)
Taubat dari Dosa-dosa Besar
Sebagaimana Al
Quran menyebutkan taubat dari kemusyrikan dan kemunafikan, Allah SWT juga
menyebutkan taubat dari dosa-dosa besar. Seperti membunuh jiwa yang diharamkan
oleh Allah SWT kecuali dengan haknya. Juga zina yang Allah SWT cap sebagai
jalan yang buruk dan kotor. Dan al Quran menggolongkan kedua perbuatan dosa
besar ini dalam kelompok dosa yang paling besar setelah syirik. Allah SWT
berfirman tentang sifat ibadurrahman.
وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ
إِلَهاً آخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ
وَلَا يَزْنُونَ وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَاماً -٦٨- يُضَاعَفْ لَهُ الْعَذَابُ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيَخْلُدْ فِيهِ مُهَاناً -٦٩- إِلَّا مَن تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ
عَمَلاً صَالِحاً فَأُوْلَئِكَ يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ وَكَانَ
اللَّهُ غَفُوراً رَّحِيماً -٧٠-
"Dan
orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak
membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang
benar, dan tidak berzina, barangsiapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia
mendapat (pembalasan) dosa(nya), (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya
pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina,
kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal shaleh; maka
kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. al Furqan: 68-70)
Tampak banyak
ayat-ayat berbicara tentang iman setelah taubat, dan menyambung antara
keduanya. Seperti terdapat dalam ayat ini. Firman Allah SWT:
فَأَمَّا مَن تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ
صَالِحاً فَعَسَى أَن يَكُونَ مِنَ الْمُفْلِحِينَ -٦٧-
"Adapun orang
yang bertaubat dan beriman, serta mengerjakan amal yang saleh, semoga dia
termasuk orang-orang yang beruntung." (QS. al Qashash: 67). Serta
firman Allah SWT setelah menyebutkan beberapa Rasul-Nya dan nabi-nabi-Nya serta
para pengikut mereka yang saleh, yang apabila dibacakan kepada mereka ayat Al
Quran mereka segera tunduk sujud dan menangis. Kemudian Allah SWT berfirman:
فَخَلَفَ مِن بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا
الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيّاً -٥٩- إِلَّا مَن
تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحاً فَأُوْلَئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلَا يُظْلَمُونَ
شَيْئاً -٦٠-
"Maka
datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan
memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan. Kecuali
orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh, maka mereka itu akan masuk
surga dan tidak dianiaya (dirugikan) sedikitpun." (QS. Maryam: 59-60)
Dan seperti dalam
firman Allah SWT:
وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِّمَن تَابَ وَآمَنَ
وَعَمِلَ صَالِحاً ثُمَّ اهْتَدَى -٨٢-
"Dan
sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat , beriman , beramal
saleh, kemudian tetap di jalan yang benar." (QS. Thahaa: 82)
Apa rahasia
penggabungan ini, yaitu pengggabungan antara iman dengan taubat? Yang dapat kita
tangkap, keimanan akan mengalami kerusakan ketika seseorang melakukan dosa
besar. Hingga sebagian hadits menafikan keimanan itu dari orang-orang yang
melakukan dosa besar ketika mereka melakukannya. Seperti dalam hadits Bukari
Muslim dari Nabi Saw beliau bersabda:
"Tidaklah berzina
orang yang berzina dan saat itu ia mu'min, dan tidak meminum khamar orang yang
meminumnya dan saat itu ia mu'min, dan tidak pula mencuri orang yang mencuri
dan saat itu ia mu'min".
Oleh karena itu,
taubat adalah reparasi dan penyembuhan bagi keimanan yang mengalami kerusakan
itu.
Taubat dari Menyembunyikan Kebenaran
Di antara dosa yang
besar, yang ditunjukkan dan anjurkan al Quran agar kita segera bertaubat
darinya adalah: dosa menyembunyikan kebenaran serta tidak menjelaskannya kepada
manusia. Ini adalah dosa para ahli ilmu pengetahuan yang mempunyai kewajiban
utnuk menyampaikan risalah-risalah Allah SWT, dan menjelaskan hukum Allah SWT
kepada mereka. Serta mengatakan kebenaran, serta tidak menyembunyikannya, tidak
seperti tindakan ahli kitab yang mendapatkan kecaman dari Allah SWT dalam
firman-Nya:
وَإِذَ أَخَذَ اللّهُ مِيثَاقَ الَّذِينَ
أُوتُواْ الْكِتَابَ لَتُبَيِّنُنَّهُ لِلنَّاسِ وَلاَ تَكْتُمُونَهُ فَنَبَذُوهُ وَرَاء
ظُهُورِهِمْ وَاشْتَرَوْاْ بِهِ ثَمَناً قَلِيلاً فَبِئْسَ مَا يَشْتَرُونَ -١٨٧-
"Dan
(ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi
kitab (yaitu): "Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia,
dan jangan kamu menyembunyikannya," lalu mereka melemparkan janji itu ke
belakang punggung mereka dan mereka menukarnya dengan harga yang sedikit.
Amatlah buruk tukaran yang mereka terima." (QS. Ali Imran: 187).
Karena mereka
menyembunyikan berita gembira akan datangnya Muhammad Saw yang terdapat dalam
kitab-kitab mereka, serta mereka merubah dan menggantinya, karena semata
kepentingan dunia, yang dinamakan oleh Allah SWT sebagai "harga yang
murah". Seperti firman Allah SWT:
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ قِيلَ
لَهُمْ كُفُّواْ أَيْدِيَكُمْ وَأَقِيمُواْ الصَّلاَةَ وَآتُواْ الزَّكَاةَ فَلَمَّا
كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقِتَالُ إِذَا فَرِيقٌ مِّنْهُمْ يَخْشَوْنَ النَّاسَ كَخَشْيَةِ
اللّهِ أَوْ أَشَدَّ خَشْيَةً وَقَالُواْ رَبَّنَا لِمَ كَتَبْتَ عَلَيْنَا الْقِتَالَ
لَوْلا أَخَّرْتَنَا إِلَى أَجَلٍ قَرِيبٍ قُلْ مَتَاعُ الدَّنْيَا قَلِيلٌ وَالآخِرَةُ
خَيْرٌ لِّمَنِ اتَّقَى وَلاَ تُظْلَمُونَ فَتِيلاً -٧٧-
"Katakanlah:
"Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk
orang-orang yang bertakwa." (QS. an-Nisa: 77).
Allah SWT
berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنزَلَ
اللّهُ مِنَ الْكِتَابِ وَيَشْتَرُونَ بِهِ ثَمَناً قَلِيلاً أُولَـئِكَ مَا يَأْكُلُونَ
فِي بُطُونِهِمْ إِلاَّ النَّارَ وَلاَ يُكَلِّمُهُمُ اللّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ
يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ -١٧٤- أُولَـئِكَ الَّذِينَ اشْتَرَوُاْ الضَّلاَلَةَ
بِالْهُدَى وَالْعَذَابَ بِالْمَغْفِرَةِ فَمَا أَصْبَرَهُمْ عَلَى النَّارِ -١٧٥-
"Sesungguhnya
orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah, yaitu al Kitab
dan menjualnya dengan harga yang sedikit (murah), mereka itu sebenarnya tidak
memakan (tidak menelan) ke dalam perutnya melainkan api, dan Allah tidak akan
berbicara kepada mereka pada hari kiamat dan tidak akan mensucikan mereka dan
bagi mereka siksa yang amat pedih. Mereka itulah orang-orang yang membeli
kesesatan dengan petunjuk dan siksa dengan ampunan. Maka alangkah beraninya
mereka menentang api neraka!." (QS. al Baqarah: 174-175)
Lihatlah ancaman
yang besar ini terhadap orang-orang yang menyembunyikan itu, yang mengandung
ancaman material: "mereka itu sebenarnya tidak memakan (tidak menelan) ke
dalam perutnya melainkan api ", serta maknawi: "dan Allah tidak akan
berbicara kepada mereka pada hari kiamat dan tidak akan mensucikan mereka
", dan mereka mengalami kerugian dalam transaksi mereka: "Mereka
itulah orang-orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk dan siksa dengan
ampunan ". Itu semua semata karena mereka menyesatkan hamba-hamba Allah
dengan menyembunyikan persaksian mereka akan kebenaran:
وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّن كَتَمَ شَهَادَةً
عِندَهُ مِنَ اللّهِ وَمَا اللّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ -١٤٠-
"Dan siapakah
yang lebih zhalim daripada orang yang menyembunyikan syahadah dari Allah yang
ada padanya?." (QS. Al Baqarah 140)
Oleh karena itu
taubat amat diperintahkan secara kuat dari mereka semua, sehingga mereka
selamat dari azab ini, serta dari laknat Allah SWT dan sekalian orang yang
melaknat. Allah SWT berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنزَلْنَا
مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى مِن بَعْدِ مَا بَيَّنَّاهُ لِلنَّاسِ فِي الْكِتَابِ
أُولَـئِكَ يَلعَنُهُمُ اللّهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللَّاعِنُونَ -١٥٩- إِلاَّ الَّذِينَ
تَابُواْ وَأَصْلَحُواْ وَبَيَّنُواْ فَأُوْلَـئِكَ أَتُوبُ عَلَيْهِمْ وَأَنَا التَّوَّابُ
الرَّحِيمُ -١٦٠-
"Sesungguhnya
orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa
keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya
kepada manusia dalam al Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula)
oleh semua (mahluk) yang dapat melaknati, kecuali mereka yang telah taubat dan
mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebenaran), maka terhadap mereka itu Aku
menerima taubatnya dan Akulah Yang Maha Menerima taubat lagi Maha
Penyayang." (QS. al Baqarah: 159-160)
Agar taubat mereka
diterima, disyaratkan agar: mereka memperbaiki apa yang mereka telah rusak, dan
menjelaskan apa yang mereka sembunyikan.
Jika ini adalah
dosa orang yang menyembunyikan kebenaran, maka dapat dibayangkan apa dosa orang
yang "mendistorsi kebenaran" itu, serta menampakkan kebenaran itu
seakan suatu yang bathil, sehingga manusia tidak memilihnya. Sementara mereka
menghias kebathilan, dengan lidah dan tulisan mereka, sehingga manusia
memilihnya? Tak diragukan lagi, dosa mereka lebih besar, dan kesalahan mereka
lebih berbahaya. Dalam masalah ini banyak tergelincir penulis, pengarang,
jurnalis, kalangan pers, seniman, para ahli pidato dan semacamnya. Yaitu mereka
yang menciptakan opini publik serta menggerakkan kecenderungan mereka.
Taubat mereka tidak
sah hanya dengan sekadar menyesal. Namun mereka harus memperbaiki dan
menjelaskannya kepada orang banyak. Karena mereka telah banyak merusak akal dan
dhamir banyak manusia, serta menyesatkannya. Mereka harus melenyapkan atau
menarik peredaran faktor-faktor yang menyebabkan kerusakan itu, baik berupa
buku, kaset, atau film dengan segala cara. Dan jika mereka tidak mampu maka
mereka harus menjelaskan kepada khalayak melalui koran atau media lainnya. Dan
mereka harus menjelaskan dengan gamblang sikap mereka yang baru dan kembalinya
dia dari sikap dan tindakannya sebelumnya, dengan berani dan yakin (Seperti
yang dilakukan oleh Dr. Mushthafa Mahmud, Khalid Muhammad Khalid, dan yang
lainnya yang diberikan petunjuk oleh Allah SWT ).
Taubat Nabi-nabi dalam Al-Qur'an
Al Quran telah
menyebutkan kepada kita taubat Nabi-nabi dan orang-orang yang saleh atas
perbuatan salah mereka. Mereka segera menyesal, bertaubat dan beristighfar dari
kesalahan itu. Dengan berharap agar Allah SWT mengampuni dan meneriman taubat
mereka.
Pemimpin
orang-orang yang taubat adalah nenek moyang manusia, Adam a.s. Yang telah Allah
SWT jadikan dia dengan tangan-Nya dan meniupkan ke dalam dirinya secercah dari
ruh-Nya, memerintahkan malaikat untuk sujud kepadanya, mengajarkan kepadanya
seluruh nama-nama, serta menampilkan keutamaannya atas malaikat dengan ilmu
pengetahuannya. Namun Adam yang selamat dalam ujian ilmu pengetahuan, tidak
selamat dalam "term pertama" ujian iradah (mengekang hawa nafsu).
Allah SWT mengujinya dengan beban pertama yang ditanggungkan kepadanya. Yaitu
melarang untuk memakan suatu pohon. Hanya satu pohon yang dilarang untuk
dimakannya, sementara memberikan kebebasan baginya untuk memakan seluruh pohon
surga sesuka hatinya, bersama isterinya. Di sini tampak ia tidak dapat menahan
keinginan pribadinya, serta melupakan larangan Rabbnya dengan dipengaruhi bujuk
rayu syaitan dan tipu dayanya, sehingga dia pun memakannya dan dia pun terjatuh
dalam kemaksiatan. Namun secepatnya dia mencuci dan membersihkan dirinya dari
bekas-bekas dosa itu, dengan taubat dan istighfar.
وَعَصَى آدَمُ رَبَّهُ فَغَوَى
-١٢١- ثُمَّ اجْتَبَاهُ رَبُّهُ فَتَابَ عَلَيْهِ وَهَدَى -١٢٢-
"Dan
durhakalah Adam kepada Tuhan dan sesatlah ia. Kemudian Tuhannya memilihnya maka
Dia menerima taubatnya dan memberinya petunjuk." (QS. Thaaha: 121-122)
Al Quran
menceritakan kepada kita tentang taubat Musa yang dipilih Allah untuk membawa
risalah-Nya dan menerima kalam-Nya. Serta Allah SWT menurunkan taurat
kepadanya, menjadikannya sebagai salah satu ulul 'azmi dari sekian rasul, serta
membekalinya dengan sembilan ayat-ayat penjelas. Namun ia telah melakukan dosa
sebelum mendapatkan risalah. Yaitu karena menuruti permintaan seseorang dari
kaumnya yang sedang bertengkar dengan kaum Fir'aun untuk membantunya, maka
kemudian Musa memukulnya dan orang itupun tewas seketika.
قَالَ هَذَا مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ
إِنَّهُ عَدُوٌّ مُّضِلٌّ مُّبِينٌ -١٥- قَالَ رَبِّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي فَاغْفِرْ
لِي فَغَفَرَ لَهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ -١٦-
"Musa berkata:
Ini adalah perbuatan syaitan sesungguhnya syaitan adalah musuh yang
menyesatkan, lagi nyata (permusuhannya). Musa mendo'a: Ya Tuhanku, sesungguhya
aku telah menganiaya diriku sendiri, karena itu ampunilah aku. Maka Allah
mengampuninya, sesungguhnya Allah Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang." (QS. al Qashash: 15-16)
Beliau juga telah
melakukan kesalahan setelah menerima risalah, ketika beliau berkata:
قَالَ رَبِّ أَرِنِي أَنظُرْ إِلَيْكَ
قَالَ لَن تَرَانِي وَلَـكِنِ انظُرْ إِلَى الْجَبَلِ فَإِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهُ
فَسَوْفَ تَرَانِي فَلَمَّا تَجَلَّى رَبُّهُ لِلْجَبَلِ جَعَلَهُ دَكّاً وَخَرَّ موسَى
صَعِقاً فَلَمَّا أَفَاقَ قَالَ سُبْحَانَكَ تُبْتُ إِلَيْكَ وَأَنَاْ أَوَّلُ الْمُؤْمِنِينَ
-١٤٣-
"Berkatalah
Musa: Ya Tuhanku, tampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku melihat kepada
Engkau. Tuhan berfirman: Kamu sekali-kali tidak sanggup melihatKu, tapi
lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sedia kala)
niscaya kamu dapat melihatKu. Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung
itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh, dan Musapun jatuh pingsan. Maka
setelah Musa sadar kembali, dia berkata: Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada
Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman." (QS. al A'raaf: 143)
Di sini, Allah SWT
berfirman:
قَالَ يَا مُوسَى إِنِّي اصْطَفَيْتُكَ
عَلَى النَّاسِ بِرِسَالاَتِي وَبِكَلاَمِي فَخُذْ مَا آتَيْتُكَ وَكُن مِّنَ الشَّاكِرِينَ
-١٤٤-
"Hai Musa,
sesungguhnya Aku memilih (melebihkan) kamu dari manusia yang lain (di masamu)
untuk membawa risalahKu dan untuk berbicara langsung denganKu. Sebab itu
berpegan teguhlah kepada apa yang Aku berikan kepadamu dan hendaklah kamu
termasuk orang-orang yang bersyukur." (QS. al A'raaf: 144)
Ketika Musa kembali
kepada kaumnya setelah beliau melakukan munajat kepada Rabbnya selama empat
puluh malam, dan mendapati kaumnya telah menyembah anak sapi yang dibuat oleh
Samiri, dan menjadikan anak sapi itu sebagai tuhan yang disembah, maka amarah
beliaupun segera meledak. Dan bersabda: "alangkah buruknya perlakuan
kalian sepeninggalku". Kemudian beliau melemparkan lembaran-lembaran yang
terdapat di dalamnya Taurat kalam Allah. Beliau melemparkan lembaran itu ke tanah,
padahal di dalamnya terdapat firman-firman Allah. Kemudian menarik kepala
saudaranya, Harun, kepadanya, padahal ia juga adalah rasul sepertinya jua. Dan
saudaranya itu berkata kepadanya: "Wahai saudara seibuku, mengapa engkau
tarik jenggot dan kepalaku, karena kaum kita itu menganggap aku lemah, dan
mereka hampir membunuhku, maka janganlah engkau jadikan musuh-musuh gembira
melihatku, dan janganlah jadikan aku dari kelompok orang yang zhalim.
Di sini Musa
menyadari kemarahannya itu, meskipun marahnya itu karena Allah SWT.
قَالَ رَبِّ اغْفِرْ لِي وَلأَخِي وَأَدْخِلْنَا
فِي رَحْمَتِكَ وَأَنتَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ -١٥١-
"Musa berdo'a:
Ya Tuhanku, ampunilah aku dan sauadaraku dan masukkanlah kami ke dalam rahmat
Engkau, dan Engkau adalah Maha Penyayang di antara para penyayang." (QS.
al A'raaf: 151)
Al Quran juga
menceritakan tentang taubat Nabi Yunus a.s. Ketika beliau berdakwah kepada
kaumnya untuk menyembah Allah SWT namun mereka tidak menuruti dakwahnya itu.
Maka Nabi Yunus tidak merasa sabar menghadapi itu, dan marah terhadap kaumnya,
kemudian beliaupun pergi meninggalkan mereka. Kemudian Allah SWT ingin menguji
beliau dengan cobaan yang dapat membersihkannya, dan menampakkan sifat aslinya
yang bagus. Serta sejauh mana keyakinanya terhadap Rabbnya dan kejujurannya
dengan Rabbnya. Beliau kemudian menaiki sebuah kapal laut, di tengah laut kapal
itu dihantam angin besar, dan dipermainkan oleh ombak, dan mereka merasa bahwa
mereka sedang berada dalam bahaya yang besar. Para anak buah kapal berkata;
kita harus mengurangi beban kapal sehingga kapal ini tidak tenggelam. Dan
akhirnya mereka harus memilih untuk menceburkan sebagian orang yang berada di
atas kapal itu agar para penumpang yang lain selamat dari ancaman tenggelam
itu. Hal itu dilakukan dengan sistem undian. Kemudian undian itu jatuh kepada
Yunus, dan beliaupun harus mengikuti nasibnya itu. Maka beliaupun dilemparkan ke
laut, dan kemudian ditelan oleh seekor ikan paus, sambil mendapatkan kecaman
karena ia marah terhadap kaumnya serta meninggalkan mereka, karena putus
harapan atas mereka. Tanpa berupaya untuk terus mengulangi usahanya itu. Di
dalam perut ikan paus itu, keyakinan Yunus kembali menguat, dan beliau berdo'a
dalam kegelapan yang menyelimutinya itu: kegelapan laut, kegelapan malam, dan
kegelapan perut ikan paus, dengan kalimat-kalimat yang direkam oleh Al Quran
ketika bercerita dengan ringkas tentang Yunus ini:
وَذَا النُّونِ إِذ ذَّهَبَ مُغَاضِباً
فَظَنَّ أَن لَّن نَّقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادَى فِي الظُّلُمَاتِ أَن لَّا إِلَهَ إِلَّا
أَنتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنتُ مِنَ الظَّالِمِينَ -٨٧- فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَنَجَّيْنَاهُ
مِنَ الْغَمِّ وَكَذَلِكَ نُنجِي الْمُؤْمِنِينَ -٨٨-
"Dan
(ingatlah) kisah Dzun Nun (Yunus) ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia
menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya atau menyulitkannya, maka ia
menyeru dalam keadaan yang sangat gelap: Bahwa tidak ada tuhan (yang berhak di
sembah) selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk
orang-orang yang zalim. Maka Kami telah memperkenankan do'anya dan
menyelamatkannya daripada kedukaan. Dan demikianlah Kami selamatkan orang-orang
yang beriman." (QS. al Anbiyaa: 87-88)
Tiga kalimat pendek
yang dipergunakan oleh Yunus a.s., namun ketiganya mempunyai pengertian yang
besar:
Pertama: menunjukkan atas tauhid
--tauhid uluhiyah--, yang dengnnya Allah SWT mengutus para Rasul, menurunkan
kitab-kitab, dan dengannya pula berdiri surga dan neraka: "La Ilaha Illa
Anta" "tidak ada tuhan (yang berhak di sembah) selain Engkau".
Kedua: menunjukkan pembersihan Allah
SWT dari seluruh kekurangan. Ini adalah makna tasbih yang dilakukan langit dan
bumi dan seluruh makhluk. Karena segala sesuatu bertasbih dengan memuji-Nya.
"Subhaanaka" "Maha Suci Engkau".
Ketiga: Menunjukkan pengakuan atas dosa
yang dilakukan. Tidak menjalankan hak Rabbnya dengan sempurna serta menzhalimi
diri sendiri karena sikapnya itu. "Inni kuntu minazh zhaalimiin" "sesungguhnya
aku adalah termasuk orang-orang yang zalim " ini adalah tanda sebuah
taubat.
Tidak heran jika
kata-kata yang pendek namun jujur dan ikhlas itu segera mendapatkan jawabannya
di dunia ini, sebelum di akhirat:
فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَنَجَّيْنَاهُ
مِنَ الْغَمِّ وَكَذَلِكَ نُنجِي الْمُؤْمِنِينَ -٨٨-
"Maka Kami
telah memperkenankan do'anya dan menyelamatkannya daripada kedukaan. Dan
demikianlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman." (QS. al Anbiya:
88)
Dan kata-kata yang
mengandung tiga hal ini: peng-esaan, pembersihan dan pengakuan, menjadi contoh
bagi pujian dan do'a ketika terjadi kesulitan. Hingga dalam hadits yang
diriwayatkan oleh Tirmizi dan ia mensahihkannya diriwayatkan:
"Do'a
saudaraku Dzun Nun (Nabi Yunus) yang jika dibaca oleh orang yang sedang
tertimpa bencana nisaya Allah SWT akan menghilangkan bencana dan kesulitannya
itu: "Tidak ada tuhan selain Engkau, Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku
adalah termasuk orang yang melakukan kezaliman".
Al Quran juga
menuturkan kepada kita tentang cerita taubat nabi Daud a.s. seperti diceritakan
dalam surah Shaad. Yaitu ketika dua orang yang sedang berselisih datang kepada
beliau, dan memasuki mihrab beliau, sehingga beliau terkejut melihat kedua
orang itu. Keduanya kemudian berkata:
إِذْ دَخَلُوا عَلَى دَاوُودَ فَفَزِعَ
مِنْهُمْ قَالُوا لَا تَخَفْ خَصْمَانِ بَغَى بَعْضُنَا عَلَى بَعْضٍ فَاحْكُم بَيْنَنَا
بِالْحَقِّ وَلَا تُشْطِطْ وَاهْدِنَا إِلَى سَوَاء الصِّرَاطِ -٢٢- إِنَّ هَذَا أَخِي
لَهُ تِسْعٌ وَتِسْعُونَ نَعْجَةً وَلِيَ نَعْجَةٌ وَاحِدَةٌ فَقَالَ أَكْفِلْنِيهَا
وَعَزَّنِي فِي الْخِطَابِ -٢٣- قَالَ لَقَدْ ظَلَمَكَ بِسُؤَالِ نَعْجَتِكَ إِلَى
نِعَاجِهِ وَإِنَّ كَثِيراً مِّنْ الْخُلَطَاء لَيَبْغِي بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ إِلَّا
الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَقَلِيلٌ مَّا هُمْ وَظَنَّ دَاوُودُ
أَنَّمَا فَتَنَّاهُ فَاسْتَغْفَرَ رَبَّهُ وَخَرَّ رَاكِعاً وَأَنَابَ {س} . -٢٤-
فَغَفَرْنَا لَهُ ذَلِكَ وَإِنَّ لَهُ عِندَنَا لَزُلْفَى وَحُسْنَ مَآبٍ -٢٥-
"Janganlah
kamu merasa takut (kami) adalah dua orang yang berperkara yang salah seorang
dari kami berbuat zalim kepada yang lain ; maka berilah keputusan antara kami
dengan adil dan janganlah kamu menyimpang dari kebenaran dan tunjukkilah kami
ke jalan yang lurus. Sesungguhnya saudaraku ini, mempunyai sembilan puluh
sembilan ekor kambing betina dan aku mempunyai seekor saja. Maka dia berkata:
Serahkanlah kambingmu itu kepadaku, dan ia mengalahkan aku dalam perdebatan.
Daud berkata: Sesungguhnya dia telah berbuat zalim kepadamu dengan meminta
kambingmu itu untuk ditambahkan kepada kambingnya. Dan sesungguhnya kebanyakan
dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada
sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal
yang saleh; dan amat sedikitlah mereka ini. Dan Daud mengetahui bahwa Kami
mengujinya, maka ia meminta ampun kepada Tuhannya lalu menyungkur sujud dan
bertaubat. Maka Kami ampuni baginya kesalahannya itu. Dan sesungguhnya dia
mempunyai kedudukan dekat pada sisi Kami dan tempat kembali yang baik." (QS.
Shaad: 22-25)
Kita lihat, apa
kesalahan Nabi Daud dalam kisah ini, yang dia sangka sebagai fitnah, dan cobaan
bagi beliau, kemudian beliau beristighfar kepada Rabbnya, serta tunduk sujud
dan memohon ampunan.
Yang tampak dalam
kisah itu adalah: Nabi Daud a.s. bertindak dengan tergesa-gesa serta tidak
meneliti dahulu secara mendalam, sehingga beliau terpengaruhi oleh dorongan
emosi ketika mendengar perkataan salah seorang yang sedang berselisih itu. Dan
secara tergesa-gesa memutuskan hukum dengan merugikan pihak lain, tanpa
terlebih dahulu mendengar alasan-alasannya, dan memberikan kesempatan kepadanya
untuk membela dirinya sendiri. Seorang hakim yang adil hendaknya tidak
terperdaya oleh ucapan satu pihak yang sedang berselisih atau penampilannya.
Hingga ia telah meneliti dan menyelidikinya dengan seksama, dan mendengar dari
seluruh pihak yang berselisih dan adanya dalil yang mendukung ucapan
masing-masing. Oleh karena itu ada yang mengatakan: Jika salah seorang yang
sedang berselisih datang kepadamu dan sambil memperlihatkan satu matanya yang
luka, maka tunggullah hingga engkau juga melihat lawan perkaranya, karena
barangkali justru lawannya itu kedua matanya luka!
Oleh karena itu,
datang perintah Tuhan agar Daud tidak cepat terpengaruh oleh emosinya dalam
menetapkan suatu hukum. Dalam firman Allah SWT:
يَا دَاوُودُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً
فِي الْأَرْضِ فَاحْكُم بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ
عَن سَبِيلِ اللَّهِ إِنَّ الَّذِينَ يَضِلُّونَ عَن سَبِيلِ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ
شَدِيدٌ بِمَا نَسُوا يَوْمَ الْحِسَابِ -٢٦-
"Hai Daud,
sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka
berilah keputusan (perkara) di antara manusia denga adil dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah." (QS.
Shaad: 26)
Apakah kedua orang
yang sedang berselisih itu adalah memang manusia, atau dua malaikat yang
menyamar sebagai manusia, datang untuk menguji nabi Daud, kemudian keduanya
lenyap tanpa bekas?
Apapun
kemungkinannya, namun pengertian dan tujuannya adalah sama. Namun itu tidak
dapat dijadikan sebagai suatu bentuk metafor, dan sebagai sindiran bagi Daud
sendiri, karena ia menginginkan istri tetangganya sendiri, seperti digambarkan
oleh kisah-kisah Israiliat yang menampilkan dengan buruk perjalanan para Rasul
dan Nabi-nabi. Hingga dalam kisah Israiliat itu para Nabi telah jatuh dalam
tindakan-tindakan yang orang biasa saja tidak mau melakukannya, maka bagaimana
mungkin terjadi bagi seseorang yang Allah SWT tundukkan gunung-gunung untuk
bertasbih bersamanya pada sore dan pagi hari. Tentangnya Allah SWT berfirman:
"Dan ingatlah
hamba Kami Daud yang mempunyai kekuatan; sesungguhnya dia amat taat (kepada
Tuhan)".
"Dan
sesungguhnya dia mempunyai kedudukan dekat pada sisi Kami dan tempat kembali
yang baik".
Ayat-ayat yang
berkaitan dengan taubat banyak terdapat dalam al Quran, dan dalam halaman
selanjutnya ayat-ayat itu akan kita ungkap. Insya Allah.
Taubat dalam Sunnah Nabi SAW.
Dalam sunnah Nabi
Saw, kita banyak menemukan hadits-hadits yang mengajak kita untuk bertaubat,
menjelaskan keutamaannya, dan mendorong untuk melakukannya dengan berbagai
cara. Hingga Rasulullah Saw bersabda:
"Wahai
sekalian manusia, bertaubatlah kepada Allah SWT, karena sesungguhnya aku
bertaubat kepada Allah SWT dalam satu hari sebanyak seratus kali". (Hadits
diriwayatkan oleh Muslim dari Al Aghar al Muzni.)
Dari Abi Musa r.a.
diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda:
"Sesungguhnya
Allah SWT membuka "tangan"-Nya pada malam hari untuk memberikan
ampunan kepada orang yang melakukan dosa pada siang hari, dan membuka
"tangan"-Nya pada siang hari, untuk memberikan ampunan kepada orang
yang melakukan dosa pada malam hari, (terus berlangsung demikian) hingga
(datang masanya) matahari terbit dari Barat (kiamat)". Hadits diriwayatkan
oleh an-Nasaai.
Dari Abi Hurairah
r.a. bahwa Rasulullah Saw bersabda:
"Jika kalian
melakukan dosa hingga dosa kalian sampai ke matahari, kemudian kalian
bertaubat, niscaya Allah SWT akan mengampuni kalian". Hadits diriwayatkan
oleh Ibnu Majah dengan sanad yang baik. (Hadits diriwayatkan oleh Ibnu Majah
dalam kitab Az Zuhd (4248), dan dalam kitab az Zawaid diterangkan: ini adalah
isnad hasan.).
Dari Jabir r.a. ia
berkata: Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda:
"Di antara
kebahagiaan manusia adalah, panjang usianya, dan Allah SWT memberikan rezeki
taubat kepadanya".
Hadits ini
diriwayatkan oleh Al Hakim. Dan ia berkata: isnad hadits ini sahih. (Penilaian
Al Hakim ini disetujui oleh Adz Dzahabi (4/240) dan Al Haitsami menyebutkan
sebagian hadits ini dan berkata: Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dan Al
Bazzar, dan sanadnya adalah hasan (10/203).).
Dari Abi Sa'id al
Khudri r.a. dari Nabi Saw beliau bersabda:
"Perumpamaan
orang mu'min dan iman adalah seperti kuda dalam kandang (ikatan) nya, ia
berjalan sebentar ke luar untuk kemudian kembali ke kandang (ikatan) nya . Dan
seorang mu'min dapat lalai dan melakukan kesalahan namun kemudian ia kembali
kepada keimanannya. Maka berikan makanan kalian kepada kaum yang bertakwa, dan
kaum mu'minin yang baik". Hadits diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam
sahihnya. (Yaitu dalam al Mawaarid (2451), dan diriwayatkan pula oleh Ahmad dan
Abu Ya'la seperti dikatakan oleh al Haitsami, dan para periwayatnya adalah
sahih, selain Abi Sulaiman al Laitsi, dan Abdullah bin al Walid at Tamimi,
keduanya adalah tsiqat (10/201).).
Dari Anas r.a.
bahwa Nabi Saw bersabda:
"Seluruh anak
Adam adalah cenderung berbuat salah, dan paling baik orang yang berbuat salah
adalah mereka yang bertaubat". Hadits diriwayatkan oleh Tirmizi, Ibnu
Majah, dan Hakim. Seluruhnya dari riwayat Ali bin as'adah.(Ibnu Hajar berkata
tentangnya dalam kitab at Taqrib: ia Shaduq dan mempunyai sedikit kelemahan
(awham)).
Tirmizi berkata:
hadits ini gharib, kami hanya medapatkannya dari Ali bin Mas'adah dari Qatadah.
Al Hakim berkata: Isnadnya sahih. (Hadits riwayatkan oleh Tirmidzi dalam kitab
Shifaat al Qiyaamah (1, 25) dan Ibnu Majah dalam kitab az Zuhd (4252), dan al
Hakim (4/244). Adz Dzahabi berkata: Ali adalah layyin (agak lemah), dan Ibnu Al
Qaththan mendukung al Hakim seperti terdapat dalam kitab Al Faidh (5/17). Dan
dinilai hasan oleh Al Albani dalam kitab Sahih Jami' Shagir (5415).).
Dari Abi Hurairah
r.a. bahwa ia mendengar Rasulullah Saw bersabda:
"Seorang hamba
melakukan dosa, dan berdo'a: 'Ya Tuhanku, aku telah melakukan dosa maka
ampunilah aku'. Tuhannya berfirman: 'hamba-Ku mengetahui bahwa ia mempunyai
Tuhan yang akan mengampuni dan menghapus dosanya, maka Tuhan-pun
mengampuninya'. Kemudian waktu berjalan dan orang itu tetap seperti itu hingga
masa yang ditentukan Allah SWT, hingga orang itu kembali melakukan dosa yang
lain. Orang itupun kembali berdo'a: 'Ya Tuhanku, aku kembali melakukan dosa,
maka ampunilah dosaku'. Tuhan-nya berfirman: 'Hamba-Ku mengetahui bahwa dia
mempunyai Tuhan Yang mengampuni dan menghapus dosanya', maka Tuhan-pun mengampuninya.
Kemudian ia terus dalam keadaan demikian hingga masa yang ditentukan Allah SWT,
hingga akhirnya ia kembali melakukan dosa. Dan ia berdo'a: 'Ya Tuhanku, aku
telah melakukan dosa, maka ampunilah daku'. Tuhan-nya berfirman: 'Hamba-Ku
mengetahui bahwa ia mempunyai Tuhan Yang mengampuni dan menghapus dosanya'.
Maka Tuhannya berfirman: 'Aku telah berikan ampunan kepada hamba-Ku, dan
silahkan ia melakukan apa yang ia mau". Hadits diriwayatkan oleh Bukhari
dan Muslim.
Redaksi: 'falya'mal
ma syaa' "silakan ia melakukan apa yang ia mau" maknanya adalah
--wallahu a'lam--: selama dia melakukan dosa dan beristighfar kemudian
diampuni, dan ia tidak melakukan dosa itu lagi. Dengan dalil redaksi:
"kemudian ia melakukan dosa lagi" maka ia dapat melakukannya lagi
jika itu merupakan perangainya, sesuai kemauannya. Karena ia, setiap kali ia
melakukan suatu dosa maka taubat dan istihgfarnya menjadi penghapus dosanya
itu, dan ia tidak mendapatkan celaka. Tidak karena ia melakukan suatu dosa,
kemudian ia beristighfar dari dosanya itu dengan tanpa berusaha membebaskan
dirinya dari kebiasan buruknya itu, karena itu adalah taubat orang yang suka
bohong.
Telah disebutkan
sebelumnya, Rasulullah Saw bersabda:
"Sesungguhnya
seorang hamba, jika ia melakukan dosa maka terdapat bintik hitam dalam hatinya,
dan jika ia bertaubat dan meninggalkan perbuatan dosa itu serta beristighfar,
maka hatinya kembali dibersihkan".
Dari Ibnu Abbas
r.a. ia berkata: kaum Quraisy berkata kepada Rasulullah Saw: "Berdoalah
kepada Rabbmu agar bukit Shafa dijadikan emas bagi kami, dan jika ia telah
berhahasil menjadi emas, kami akan mengikutimu". Maka Rasulullah Saw
berdoa kepada Rabbnya dan Jibril a.s. datang dan berkata: "Rabbmu
mengucapkan salam kepada engkau. Dan berfirman kepada engkau: Jika engkau mau maka dapat Aku
jadikan emas bukit Shafa itu bagi mereka, namun jika kemudian dari mereka itu
(kaum kafir Quraisy) ada yang kafir, maka Aku akan azab dia dengan azab yang
tidak pernah aku timpakan kepada seorangpun di dunia. Dan jika engkau mau, Aku buka
bagi mereka pintu taubat dan rahmah". Rasulullah Saw bersabda: "(aku
ingin dibukakan) Pintu taubat dan rahmat saja". Hadits diriwayatkan oleh
Thabrani, dan para perawinya adalah sahih. (Dan sejenisnya disebutkan oleh Al
Haitsami (10/196) seperti diriwayatkan oleh Al Hakim. Dan ia berkata: Isnadnya
sahih, dan itu setujui oleh Adz Dzahabi (4/240).).
Dari
Abdullah bin Umar r.a. dari Nabi Saw bersabda:
"Sesungguhnya
Allah SWT akan menerima taubat seorang hamba selama nafasnya belum sampai di
tenggorokan (sakratul maut)".
Hadits
diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dan Tirmizi. Ia berkata: hadits ini hasan.
(Hadits diriwayatkan oleh At Tizmidzi dalam kitab Ad Da'awat (3531) dan Ibnu
Majah dalam az Zuhd. Dan ia menjadikannya dari hadits Abdullah bin Amru.
Seperti diriwayatkan oleh al Hakim juga dan ia mensahihkannya, serta disetujui
oleh adz Dzahabi (4/257). Dan Al Haitsami menyebutkannya dalam kitab Majma'
Zawaid sebagian dari hadits itu dari salah seorang sahabat, dan ia berkata:
Hadits ini diriwaytkan oleh Ahmad dan para perawinya adalah sahih, selain Abdu
Rahman (bin al Bailamani) dia adalah tsiqat (10/197).).
Dari
Abdullah bin Mas'ud r.a. dari Nabi Saw bersabda:
"Orang
yang bertaubat dari dosa adalah seperti orang yang tidak berdosa". Hadits
diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dan Thabrani dan keduanya dari riwayat Abi
Ubaidah bin Abdullah bin Mas'ud dari bapaknya. Dan ia tidak mendengar darinya.
Dan para perawi Thabrani adalah sahih. (Hadits diriwayatkan oleh Ibnu Maad
dalam kitab Al Zuhd (4250) dan Ibnu Hajar menghukumkannya hasan, dengan melihat
hadits-hadits sejenis yang menguatkannya, seperti terdapat dalam kitab Al
Maqhashid, al Faidh, al Kasyf. Dan Al Albani mensahihkannya dalam kitab Sahih
Jami' Shaghir (3008).).
Dan
hadits ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Abi Dunya, dan Baihaqi secara marfu'
juga dari hadits Ibnu Abbas. Dan ia menambahkan: "dan orang yang meminta
ampunan dari suatu dosa, sementara ia masih tetap melakukan dosa itu adalah
seperti orang yang mengejek Tuhannya". Tambahan ini diriwayatkan secara
mauquf, barangkali ia lebih mirip.
Dari
Abdullah bin Ma'qal ia berkata; Aku masuk bersama ayahku kepada Abdullah bin
Mas'ud r.a. . dan ayahku berkata kepadanya: Aku mendengar Nabi Saw bersabda:
"Penyesalan adalah taubat"? (Maksudnya, pokok yang paling utama dalam
taubat adalah penyesalan. Seperti terdapat dalam hadits "Hajji adalah
Arafah". Maka itu tidak menafikan keharusan adalah tekad dan meninggalkan
perbuatan dosa itu untuk mencapai taubat yang sempurna.)
Ia
menjawab: benar. Hadits diriwayatkan oleh Al Hakim. Dan ia berkata: isnadnya
sahih. (Disepakati oleh Adz Dzahabi (4/243) dan Al Mundziri lupa untuk
menisbahkannya kepada Ahmad, seperti kami telah singgung. Syaikh Syakir
berkata: Sanadnya sahih. Seperti diriwayatkan oleh Ibnu Majah juga 4252).).
Dari
Abi Hurairah r.a. dari Nabi Saw bersabda:
"Demi
Dzat Yang jiwaku berada dalam kekuasaan-Nya, jika kalian tidak berbuat dosa
niscaya Allah SWT akan membinasakan kalian dan mendatangkan suatu makhluk lain
yang berbuat dosa, sehingga mereka kemudian meminta ampun kepada Allah SWT dan
Allah SWT mengampuni mereka". (Karena di antara nama Allah SWT adalah
"Al Ghaffaar" --Maha Pemberi ampunan. Maka siapa yang akan memberikan
ampunan jika seluruh hamba-Nya adalah orang-orang yang tidak pernah melakukan
dosa?!! Maka orang yang telah melakukan dosa hendaknya tidak menjadi putus asa,
selama dosa yang ia lakukan itu adalah bukan dosa besar. Karena ampunan Allah
SWT lebih besar dari dosanya itu. Dan Allah SWT berfirman: "Katakanlah:
"Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri,
janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni
dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Penyampun lagi Maha
Penyayang". (QS. Az-Zumar: 53).). Hadits diriwayatkan oleh Muslim dan lainnya.
Dari
'Imran bin Hushain r.a. bahwa seorang wanita dari Juhainah datang kepada
Rasulullah Saw, dan wanita itu sedang hamil karena zina. Kemudian wanita itu
berkata kepada beliau: Wahai Rasulullah Saw aku telah melanggar had, maka
jatuhkanlah kepada saya hukumannya". Kemudian Nabi Saw memanggil
keluarganya. Dan bersabda:
"Perlakukanlah
dia dengan baik, dan jika ia telah melahirkan maka bawalah dia kemari".
Keluarganya pun menjalankannya. Kemudian (setelah datang masanya) Rasulullah
Saw memerintahkan untuk menjatuhkan hukum atasnya, dan badannya diikat,
kemudian iapun dirajam. Setelah itu Rasulullah Saw menshalatkan jenazahnya.
Melihat itu Umar bertanya: Wahai Rasulullah Saw apakah baginda menshalatkannya
padahal ia telah berzina? Rasulullah Saw bersabda:
"Ia
telah melakukan taubat yang jika taubat itu dibagi-bagi bagi tujuh puluh
penduduk Madinah niscaya mencukupi mereka, dan apakah engkau dapati yang lebih
baik daripada orang yang datang menyerahkan dirinya kepada Allah SWT?".
Hadits diriwayatkan oleh Muslim.
Dari
Abi Sa'id al Khudri r.a. bahwa Nabi Saw bersabda:
"Pada
jaman sebelum kalian ada seseorang yang telah membunuh sembilan puluh sembilan
manusia, kemudian ia mencari manusia yang paling alim di muka bumi, dan ia pun
ditunjukkan kepada seorang rahib. Ia mendatangi rahib itu dan bertanya: bahwa
ia telah membunuh sembilan puluh sembilan manusia, maka apakah ia masih dapat
bertaubat?. Sang rahib menjawab: "tidak". Dan orang itupun membunuh
sang rahib, hingga ia melengkapi bilangan seratus orang yang telah ia bunuh.
Kemudian ia kembali menanyakan tentang orang yang paling alim di muka bumi, dan
ia pun ditunjukkan kepada seorang alim, dan ia bertanya: bahwa ia telah
membunuh seratus manusia, maka apakah ia dapat bertaubat? Orang alim itu
menjawab: "ya bisa, siapa yang menghalangi antaranya dengan taubat?
Pergilah engkau ke daerah ini dan ini, karena di sana ada manusia yang
menyembah Allah, maka beribadahlah bersama mereka, dan jangan kembali ke
negerimu lagi; karena ia adalah negeri yang buruk". Orang itu kemudian
berangkat menuju negeri yang ditunjukan itu hingga sampai di tengah perjalanan,
di sana malaikat maut mendatanginya dan mencabut nyawanya. Kemudian malaikat
rahmat dan malaikat azab bertengkar; malaikat rahmah berkata: Orang ini telah
berangkat untuk bertaubat kepada Allah SWT (oleh karena itu ia berhak
mendapatkan rahmah). Sedangkan malikat azab berkata: orang ini tidak pernah
melakukan kebaikan sedikitpun (oleh karena itu ia seharusnya diazab.
Selanjutnya, datang malaikat dalam bentuk seorang manusia, dan berkata kepada
keduanya: Ukurlah antara dua negeri itu (antara tempat asalnya dan tempat
tujuannya), tempat mana yang lebih dekat orang itu, maka orang itu dimasukkan
dalam kelompok itu. Malaikat pun mengukurnya dan mendapati orang itu lebih dekat
ke tempat yang ditujunya (tempat orang saleh), maka orag itupun dicabut oleh
malaikat rahmah".
Dalam
satu riwayat:
"Maka
diketahui orang itu lebih dekat ke negeri yang saleh sekadar satu jengkal,
sehingga iapun dimasukkan dalam golongan orang saleh itu".
dalam
riwayat lain:
"Allah
SWT memerintahkan kepada negeri yang buruk itu untuk menjauh dan kepada negeri
yang saleh untuk mendekat. Kemudian memerintahkan kepada malaikat: Ukurlah
antara keduanya, dan para malaikut mendapati orang itu lebih dekat ke negeri
yang saleh sekadar satu hasta, maka Allah SWT mengampuni orang itu".
Dalam
riwayat lainnya: Qatadah berkata: Hasan berkata: Diceritakan kepada kami bahwa
ketika beliau didatangi malaikat pencabut nyawa ia menyodorkan dadanya
kepadanya". Diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan Ibnu Majah dengan
sejenisnya.
Dari
Abi Hurairah r.a. bahwa Rasulullah Saw bersabda:
"Allah
SWT berfirman: " Aku sesuai dengan persangkaan hamba-Ku kepada-Ku, dan Aku
akan bersamanya ketika ia berdzikir kepada-Ku, dan Allah SWT lebih senang
dengan taubat seorang manusia dari pada seorang kalian yang menemukan kembali
perbekalannya di padang tandus. Barangsiapa yang mendekat kepada-Ku satu hasta
maka Aku akan mendekat kepadanya satu lengan, dan barang siapa mendekat
kepada-Ku satu lengan maka Aku akan mendekat kepadanya dua lengan, dan jika ia
menghadap kepada-Ku dengan berjalan maka Aku akan menemuinya dengan
berlari". Hadits diriwayatkan oleh Muslim, dan lafazhnya darinya, juga
Bukhari dengan lafazh yang sama.
Dari
Syuraih --yaitu Ibnu Harits-- ia berkata: Aku mendengar seorang laki-laki dari
sahabat Rasulullah Saw berkata: Rasulullah Saw bersabda:
"Allah
SWT berfirman: Wahai anak Adam, bangunlah kepada-Ku niscaya aku akan berjalan
kepadamu, dan berjalanlah kepada-Ku niscaya Aku datang kepadam dengan
berlari". hadits diriwayatkan oleh Ahmad dengan sanadnya yang sahih. (Dan
al Haitsami berkata: Diriwayatkan oleh Ahmad dan para perawinya adalah sahih,
kecuali Syuraih bin Harits, ia adalah tsiqat (10/196, 197).).
Dari
Anas bin Malik r.a. ia berkata: Rasulullah Saw bersabda: "Allah SWT lebih
berbahagia mendapati hamba-Nya bertaubat dari seorang yang tiba-tiba menemukan
kendaraannya kembali setelah hilang di padang pasir", hadits diriwayatkan
oleh Bukhari dan Muslim. Keduanya juga meriwayatkannay dari Ibnu Mas'ud dengan
redaksi yang lebih luas dari itu. Dan akan disebutkan pada waktunya nanti.
Dari
Abi Dzar r.a. ia berkata; Rasulullah Saw bersabda:
"Barangsiapa
yang melakukan kebaikan pada masa usianya yang tersisa maka ia akan diampuni
akan dosa-dosanya yang telah lalu, dan barangsiapa yang berbuat buruk pada masa
usianya yang tersisa maka ia akan dipertanyakan akan dosa yang telah lalu dan
dosa pada usianya yang tersisa". Hadits diriwayatkan oleh Thabrani denagn
sanad hasan. (Seperti itu pula al Haitsami berkata: (10/202).).
Dari
'Uqbah bin 'Amir ia berkata: Rasulullah Saw bersabda:
"Sesungguhnya
perumpamaan orang yang mengerjakan keburukan dan kemudian melakukan kebaikan
adalah seperti orang yang mengenakan pakaian besi yang telah menjepitnya, kemudian
ia melakukan kebaikan dan pakaian besi itupun membuka satu sisinya, dan ketika
ia melakukan kebaikan yang lain baju besi itupun makin mengendur hingga
akhirnya ia dapat keluar darinya". Hadits diriwayatkan oleh Ahmad, dan
Thabrani dengan dua sanad, dan salah satu sanadnya adalah sahih. (Dan al
Haitsami berkata: Hadits diriwayatkan oleh Ahmad dan Thabrani. Dan satu sanad
Thabrani para perawinya adalah sahih (10/201, 202).).
Dari
Abi Huraira r.a. ia berkata: bahwa seorang laki-laki mencium seorang wanita,
dalam riwayat lain disebutkan: seorang laki-laki datang kepada Rasulullah Saw
dan berkata: Wahai Rasulullah Saw, aku mengobati seorang wanita di ujung kota,
dan aku menyentuh bagian dari tubuh yang seharusnya tidak perlu aku sentuh
[dalam pengobatan] (Perkataannya: "menyentuh bagian dari tubuh yang
seharusnya tidak perlu aku sentuh (dalam pengobatan)" maksudnya adalah
melakukan perbuatan selain bersetubuh.), saya mengakui perbuatan saya, maka
berikanlah hukuman kepada saya sesuai kehendak Rasulullah Saw". Umar
berkata: Allah SWT akan menutupi perbuatanmu jika kamu menutupinya. Ia berkata:
Dan Nabi Saw tidak mengatakan apa-apa kepadanya. Kemudian orang itu bangkit dan
berjalan. Dan kemudian Rasulullah Saw mengutus seseorang untuk memanggilnya
kembali dan membacakan ayat ini:
"Dan
dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada
bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik
itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi
orang-orang yang ingat" (QS. Hud: 114.).
Seorang
laki-laki dari yang hadir berkata: Wahai Nabi Allah, apakah itu hanya khusus
baginya? Rasulullah Saw bersabda: "Namun bagi seluruh manusia".
Hadits diriwayatkan oleh Muslim dan lainnya.
Dari
Abi Thawil Syathbul Mamdud bahwa ia mendatangi Nabi Saw dan bertanya: Apakah
orang yang telah melakukan segala dosa seluruhnya, dan tidak ada suatu dosa
apapun yang tidak pernah dilewatkannya, baik dosa yang kecil maupun yang besar
telah ia lakukan, apakah ia masih terbuka taubat baginya?" Rasulullah Saw
bersabda: "Apakah engkau telah masuk Islam?". sedangkan saya, maka
aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah, dan bahwa engkau adalah
Rasulullah Saw". Rasulullah Saw bersabda: " Lakukanlah kebaikan, dan
tinggalkanlah seluruh keburukan, niscaya Allah SWT akan menjadikan itu semua
sebagai kebaikan". Orang itu kembali bertanya: "Apakah itu termasuk
dengan perbuatan-perbuatan burukku yang lalu?". Rasulullah Saw menjawab:
"Ya". Orang itu mengucapkan: Allah Akbar!, dan ia terus bertakbir
(sambil berjalan) hingga tubuhnya tidak terlihat oleh kami. Hadits diriwayatkan
oleh Al Bazzar, dan Thabrani, dan lafazh hadits itu adalah riwayatnya. Dan
isnadnya adalah jayyid dan kuat. (Al Haitsami berkata: (10/202) hadits ini
diriwayatkan oleh Thabrani dan Al Bazzar dengan riwayat yang sama. Dan para
perawi Bazzar adalah sahih, selain Muhammad bi Harun Abi Nasyith, dia adalah
tsiqat.).
Apakah Taubat Wajib Dilakukan dari Dosa-dosa Kecil?
Allamah
Ibnu Rajab al Hambali dalam kitabnya "Jaami'ul 'uluum wal hikam"
melontarkan pertanyaan yang penting tentang dosa-dosa kecil. Apakah wajib
taubat atasnya seperti atas dosa-dosa besar? Karena ia didapati terhapuskan
secara otomatis dengan melakukan taubat atas dosa-dosa besar: sesuai firman Allah
SWT:
"Jika
kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu
mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang
kecil) dan Kami masukkan kamu ke dalam tempat yang mulia (surga). (an-Nisa: 31.)
Ia
berkata: tentang ini masih diperdebatkan.
Di
antara mereka ada yang mewajibkan taubat dari dosa itu. Ini adalah pendapat
sahabat-sahabat kami dan lainnya dari para fukaha, ulama kalam dan lainnya.
Karena
Allah SWT memerintahkan untuk bertaubat setelah menyebut dosa-dosa kecil dan
besar. Allah SWT berifirman:
"Katakanlah
kepada orang laki-laki yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan
memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka
sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada
wanita yang beriman: hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara
kemaluannya dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang (biasa)
nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan
janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah
mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera
suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara
laki-lai mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau
wanita-wanita Islam , atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan
laki-laki yang tidak memiliki keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang
belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya
agar diketahui perhiasan yagn mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu
sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang berima supaya kamu beruntung."
(an-Nur: 30-31)
Allah
SWT memerintahkan untuk bertaubat dari dosa-dosa kecil secara khusus dalam
firman-Nya:
"Hai
orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain
(karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang
mengolok-olokkan) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-mengolokkan) wanita-wanita
yang lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik
dari wanita (yang mengolok-olokkan) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri
dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk.
Seburuk-buruk pangilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan
barangsiapa yang tidak taubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim."
(al Hujurat: 11).
Di
antara manusia ada yang tidak mewajibkan taubat dari dosa-dosa kecil, seperti
diriwayatkan dari pendapat kaum mu'tazilah.
Di
antara ulama mutaakhirin ada yang berkata: wajib mengerjakan salah satu
perkara: taubat darinya, atau melakukan beberapa amal baik yang dapat
menghapuskan dosa itu.
Ibnu
'Athiah menyebutkan dua pendapat ulama dalam penafsirannya tentang penghapusan
dosa-dosa kecil dengan melakukan ibadah-ibadah yang wajib dan menjauhkan
dosa-dosa besar:
Pertama: ia meriwayatkannya
dari beberapa orang fukaha dan ahli hadits. Yaitu dengan amal baiknya itu
otomatis kesalahan-kesalahannya terhapuskan, sesuai pengertian ayat Al Quran
dan hadits.
Kedua: ia meriwayatkannya
dari para ulama ushul fiqh. Bahwa dosa kecil tidak pasti terhapuskan, namun
dengan prasangka yang kuat dan harapan yang besar dosa itu dihapuskan, dengan
kehendak Allah SWT. Karena jika dosa-dosa kecil itu pasti dihapuskan niscaya ia
akan seperti perbuatan yang mubah yang tidak mengandung konsekwensi apa-apa.
Dan itu akan merusak syari'ah.
Aku
katakan: ada yang berpendapat, dosa-dosa itu tidak pasti dihapuskan. Karena
hadits-hadits yang mengatakan dosa-dosa kecil terhapuskan dengan amal-amal yang
baik itu terikat dengan syarat memperbaiki amal. Seperti terdapat dalam
keterangan tentang wudlu dan shalat, yang keduanya menghapuskan dosa kecil.
Sementara dengan bediam diri tanpa bertaubat dan melakukan kebaikan, maka tidak
terdapat amal yang baik yang mewajibkan dihapuskannya dosa. Atas dasar ikhtilaf
yang disebutkan oleh Ibnu 'Athiah ini, terjadi ikhtilaf dalam masalah kewajiban
taubat dari dosa-dosa kecil." (Jami' al Ulum wa al Hikam: 1/446, 447. Cetakan
muassasah Risalah, Bairut.)
Namun,
sebenarnya taubat diperintahkan kepada seluruh orang mukallaf. Dan seluruh kaum
mu'minin diperintahkan untuk bertaubat. Seperti disebutkan dalam ayat al Quran:
"Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman
supaya kamu beruntung".
Kami
telah katakan bahawa ada orang yang bertaubat dari dosa-dosa besar, ada yang
bertaubat dari perbuatan bid'ah, ada yang bertaubat dari dosa-dosa kecil dan
ada pula yang bertaubat dari perbuatan yang syubhat.
Dan
ada pula orang yang taubat dari kelalaian hatinya.
Juga
ada yang bertaubat dari maqam yang ia tempati yang seharusnya ia naik ke maqam
yang lebih tinggi. Dan ini adalah taubat Nabi Saw, seperti sabda Nabi Saw:
"Wahai
manusia, bertaubatlah kepada Allah SWT, karena sesungguhnya aku bertaubat
kepada Allah SWT dalam sehari sebanyak seratus kali".
Keharusan Untuk Bertaubat Secepatnya.
Jika
taubat adalah wajib bagi seluruh kaum mu'minin, maka melaksananya secepatnya
adalah kewajiban yang lain. Sehingga tidak boleh ditunda pelaksanaannya. Karena
itu akan berbahaya bagi hati orang yang beragama. Dan jika tidak secepatnya
membersihkan dirinya dari dosa, ditakutkan pengaruh dosa itu akan bertumpuk
dalam hatinya, satu persatu, hingga hati itu menghitam atau membusuk. Seperti
disebutkan halam hadits yang diriwayaktan oleh Abu Hurairah r.a. dari Nabi Saw:
"Sesungguhnya
seorang manusia, jika ia melakukan dosa maka dihatinya akan tercoreng warna
hitam, dan jika ia meninggalkan perbuatan dosa itu serta bertaubat darinya,
maka hatinya kembali bersih. Dan jika ia kembali melakukan dosanya itu, maka
hitamnya itu akan ditambah hingga menutupi seluruh hatinya, itulah tutupan yang
disebutkan Allah SWT dalam firman-Nya: "Sama sekali tidak (demikian),
sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka."
(Hadits diriwayatkan oleh Tirmizi (3331) dan ia berkata: Hasan Sahih. Demikian
juga An Nasai, Ibnu Majah (4244), Ibnu Hibban dalam sahihnya seperti terdapat
dalam Al Mawarid (2448) dan Al Hakim serta ia mensahihkannya atas syarat Muslim
dan Adz Dzahabi menyetujuinya (2/517). Dan ayat itu adalah dari QS. Al
Muthaffifiin: 14)
Ibnu
Qayyim berkata: segera bertaubat dari dosa adalah kewajiban yang harus
dilakukan segera, dan tidak boleh ditunda. Ketika ia menundanya maka ia
bertambah dosa dengan penundaannya itu. Dan jika ia telah bertaubat dari dosa,
maka masih ada dosa yang harus ia pintakan ampunannya, yaitu dosa menunda
bertaubat! Tentang ini sedikit sekali dipikirkan oleh orang yang telah
bertaubat. Malah ia menyangka jika ia telah bertaubat dari dosanya maka ia
tidak memiliki dosa lagi selain itu, padahal ia tetap memiliki dosa, yaitu
menunda taubatnya itu.
Yang
paling berbahaya bagi orang yang melakukan maksiat adalah jika ia terus
menunda-nunda taubat. Artinya, ia selalu berkata: nanti aku akan kembali
menjadi orang yang benar, aku akan taubat, aku akan berhenti dari melakukan
perbuatan ini dan itu. Oleh karena itu dikatakan: ungkapan "saufa --nanti
aku akan" adalah salah satu tentara Iblis! Dikatakan pula: mayoritas
penghuni neraka adalah orang -orang yang selalu berkata: nanti akan taubat,
nanti aku akan ... dst. Allah SWT berfirman:
"Hai
orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan
kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang membuat demikian maka mereka itulah
orang-orang yang rugi dan belanjakanlah sebagian dari apa yang kamu berikan
kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia
berkata: Ya Tuhanku, mengapa engkau tidak menangguhkan (kematian) ku sampai
waktu yang dekat yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk
orang-orang yang saleh? Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan
(kematian) seseorang apabila datang kematiannya. Dan Allah Maha Mengetahui apa
yang kamu kerjakan." (al Munafiqun: 9-11)
Di
antara keutamaan mensegerakan taubat adalah: ia akan membantu orang yang
berdosa itu untuk mencabut akar dosa sebelum itu menjadi kronis dan tertanam
kuat dalam hatinya, kemudian tersebar dalam seluruh perbuatannya, dan setiap
hari keburukan itu terus berkembang dari sumbernya itu, hingga mencakup seluruh
perbuatannya.
Orang
yuang selalu menunda-nunda itu adalah seperti orang yang ingin mencabut sebuah
pohon, dan ia melihat pohon itu kuat, sehingga jika ia mau mencabutnya akan
membutuhkan tenaga yang kuat. Kemudian ia berkata dalam dirinya: "aku
tunggu hingga satu tahun, baru aku datang kembali untuk mencabutnya". Ini
adalah logika orang bodoh dan tolol. Karena ia tahu, pohon dari hari kehari
akan makin kokoh dan besar, sementara
dirinya
semakin tua akan semakin lemah! Tidak ada kebodohan yang lebih besar dari
kebodohannya ini. Karena jika ia tidak mampu --meskipun ia kuat -- untuk
melawan sesuatu yang lemah, maka mengapa ia menunda untuk mengalahkannya,
hingga dirinya kemudian melemah, sementara musuhnya itu makin kuat?!
Sering
sekali orang menunda-nunda taubat itu, hingga datang waktu tidak diterimanya
taubat, dan Allah SWT sudah tidak menerimanya. Yaitu ketika manusia telah
kehilangan kesempatan untuk memilih, dan saat itu taubatnya adalah taubat orang
yang terpaksa. Seperti taubat Fir'aun ketika ia sudah hampir tenggelam. Ia
berkata: "aku beriman, bahwa tidak ada Tuhan selain Tuhan Yang diamini
oleh Bani Israil dan aku adalah bagian dari kaum muslimin". Maka jawaban
Allah adalah: "Apakah sekarang (baru kamu percaya), padahal sesungguhnya
kamu telah durhaka sejak dahulu, dan kamu termasuk orang-orang yang berbuat
kerusakan. (Yunus:91.).
Ketika
seorang mukallaf telah menghadapi kematiannya, saat itu taubatnya tidak
diterima lagi. Seperti firman Allah SWT:
"Sesungguhnya
taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan
kejahatan lantara kejahilan yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka
mereka itulah yang diterima Allah taubatnya; dan Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana. Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang
mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di
antara mereka, (barulah) ia mengatakan: sesungguhnya saya bertaubat sekarang
dan tidak (pula) diterima taubat orang-orang yang mati sedang mereka di dalam
kekafiran. Bagi orang-orang itu telah kami sediakan siksa yang pedih." (an-Nisa: 17-18)
Unsur-unsur Taubat
Terma
dari akar kata "t-w-b" dalam bahasa Arab menunjukkan pengertian:
pulang dan kembali. Sedangkan taubat kepada Allah SWT berarti pulang dan
kembali ke haribaan-Nya serta tetap di pintu-Nya.
Karena
pada dasarnya manusia harus bersama Allah SWT dan selalu berhubungan
dengan-Nya, dan tidak menjauhi-Nya. Manusia tidak dapat membebaskan diri dari
Allah SWT untuk memikirkan kehidupan fisiknya saja, juga tidak dapat
membebaskan dirinya dari Allah SWT karena memikirkan kebutuhan hidup ruhaninya
saja. Bahkan kebutuhannya kepada Allah SWT di akhirat akan lebih besar dari
kebutuhannya di dunia. Karena kehidupan dan kebutuhan fisik itu secara
bersamaan juga dilakukan oleh binatang yang tidak dapat berpikir, sementara
kebutuhnan ruhani adalah sisi yang menjadi ciri pembeda manusia dari hewan dan
binatang.
Allah
SWT telah menciptakan manusia dari dua unsur. Di dalam tubuhnya terdapat unsur
tanah, juga unsur ruh. Inilah yang menjadikannya layak dijadikan objek sujud
oleh malaikat sebagai penghormatan dan pemuliaan kedudukannya. Allah SWT
berfirman:
"(Ingatlah)
ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: "Sesungguhnya Aku akan
menciptakan manusia dari tanah". Maka apabila telah Ku sempurnakan
kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan)Ku; maka hendaklah kamu
tersungkur dengan bersujud kepadanya." QS.
Shaad: 71-72..
Allah
SWT tidak memerintahkan malaikat untuk bersujud kepada Adam kecuali setelah
Allah SWT memperbagus bentuknya dan meniupkan ruh ke dalam tubuhnya.
Ketika
manusia ta'at kepada Rabbnya berarti tiupan ruh itu mengalahkan sisi tanahnya.
Atau dengan kata lain, sisi ruhani mengalahkan sisi materi. Dan sisi Rabbani
mengalahkan sisi tanah yang rendah. Maka manusia meningkat dan mendekat kepada
Rabbnya, sesuai dengan usahanya untuk meningkatkan sisi ruhaninya ini.
Ketika
manusia berbuat maksiat terhadap Rabbnya, maka posisi itu terbalik; sisi tanah
mengalahkan sisi ruh, dan sisi materi yang rendah mengalahkan sisi Rabbani yang
tinggi. Maka manusia merendah dan menjadi lebih hina, serta menjauh dari Allah
SWT sesuai dengan seberapa jauh dosa dan kemaksiatan yang ia lakukan.
Kemudian
taubat memberikan kesempatan kepadanya untuk mencapai apa yang tidak ia
dapatkan, serta meluruskan kembali perjalanan hidupnya. Maka manusia itupun
kembali menaik setelah kejatuhannya, dan mendekat kepada Rabbnya setelah ia
menjauhi-Nya, serta kembali kepada-Nya setelah memberontak dari-Nya.
Taubat Nasuha
Taubat
yang diperintahkan agar dilakukan oleh kaum mu'minin adalah taubat nasuha (yang
semurni-murninya) seperti disebut dalam Al Quran:
"Hai
orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang
semurni-murninya." QS. at-Tahrim: 8
Kemudian
apa makna taubat nasuha itu.
Al-Hafizh
Ibnu Katsir berkata dalam kitab tafsirnya: "artinya adalah, taubat yang
sebenarnya dan sepenuh hati, akan menghapus keburukan-keburukan yang dilakukan
sebelumnya, mengembalikan keaslian jiwa orang yang bertaubat, serta menghapus
keburukan-keburukan yang dilakukannya."
Sedangkan
nasuha adalah redaksi hiperbolik dari kata nashiih. Seperti kata syakuur dan
shabuur, sebagai bentuk hiperbolik dari syakir dan shabir. Dan terma
"n-sh-h" dalam bahasa Arab bermakna: bersih. Dikatakan dalam bahasa
Arab: "nashaha al 'asal" jika madu itu murni, tidak mengandung
campuran. Sedangkan kesungguhan dalam bertaubat adalah seperti kesungguhan
dalam beribadah. Dan dalam bermusyawarah, an-nush itu bermakna: membersihkannya
dari penipuan, kekurangan dan kerusakan, dan menjaganya dalam kondisi yang
paling sempurna. An nush-h (asli) adalah lawan kata al-gisysy-(palsu).
Pendapat
kalangan salaf berbeda-beda dalam mendefinisikan hakikat taubat nasuha itu.
Hingga Imam Al Qurthubi dalam tafsinrya menyebut ada dua puluh tiga pendapat.
(Lihat: Tafsir al Qurthubi ayat ke delapan dari surah at Tahrim). Namun
sebenarnya pengertian aslinya hanyalah satu, tetapi masing-masing orang
mengungkapkan kondisi masing-masing, atau juga dengan melihat suatu unsur atau
lainnya.
Ibnu
Jarir, Ibnu Katsir dan Ibnu Qayyim menyebutkan dari Umar, Ibnu Mas'ud serta
Ubay bin Ka'b r.a. bahwa pengertian taubat nasuha: adalah seseorang yang
bertaubat dari dosanya dan ia tidak melakukan dosa itu lagi, seperti susu tidak
kembali ke payudara hewan. Ahmad meriwayatkan dari Ibnu Mas'ud dengan marfu':
taubat dari dosa adalah: ia bertaubat darinya (suatu dosa itu) kemudian ia
tidak mengulanginya lagi." Sanadnya adalah dha'if. Dan mauquf lebih tepat,
seperti dikatakan oleh Ibnu Katsir.
Hasan
Al Bashri berkata: taubat adalah jika seorang hamba menyesal akan perbuatannya
pada masa lalu, serta berjanji untuk tidak mengulanginya.
Al
Kulabi berkata: Yaitu agar meminta ampunan dengan lidah, menyesal dengan
hatinya, serta menjaga tubuhnya untuk tidak melakukannnya lagi.
Sa'id
bin Musayyab berkata: taubat nasuha adalah: agar engkau menasihati diri kalian
sendiri.
Kelompok
pertama menjadikan kata nasuha itu dengan makna maf'ul (objek) yaitu orang yang
taubat itu bersih dan tidak tercemari kotoran. Maknanya adalah, ia dibersihkan,
seperti kata raquubah dan haluubah yang berarti dikendarai dan diperah. Atau
juga dengan makna fa'il (subjek), yang bermakna: yang menasihati, seperti
khaalisah dan shaadiqah.
Muhammad
bin Ka'b al Qurazhi berkata: taubat itu diungkapkan oleh empat hal:
beristighfar dengan lidah, melepaskannya dari tubuh, berjanji dalam hati untuk
tidak mengerjakannya kembali, serta meninggalkan rekan-rekan yang buruk.
(Madaarij Saalikiin : 1/ 309, 310. Cetakan As Sunnah Al Muhammadiyyah, dengan
tahqiq Syaikh Muhammad Hamid al Faqi. Dan tafsir Ibnu Katsir : 4/ 391, 392).
Sekadar Bicara Taubat dengan Lidah Bukan Taubat
Taubat
tidak sekadar mengucapkan dengan lidah, seperti dipahami oleh kalangan awam.
Ketika salah seorang dari mereka datang kepada seorang tokoh agama ia berkata
kepadanya: "Pak kiyai, berilah taubat kepada saya". Kiyai itu akan
menjawab: "ikutilah perkataanku ini!": "aku taubat kepada Allah
SWT, aku kembali kepada-Nya, aku menyesali dosa yang telah aku lakukan, dan aku
berjanji untuk tidak melakukan maksiat lagi selamanya, serta aku membebaskan
diri dari seluruh agama selain agama Islam".
Dan
ketika ia telah mengikuti ucapan kiyai itu dan pulang, ia menyangka bahwa ia
telah selesai melakukan taubat!.
Ini
adalah bentuk kebodohan dua pihak sekaligus: kebodohan orang awam itu, serta
sang kiyai juga. Karena taubat bukan sekadar ucapan dengan lidah saja, karena
jika taubat hanya sekadar berbuat seperti itu, alangkah mudahnya taubat itu.
Taubat
adalah perkara yang lebih besar dari itu, dan juga lebih dalam dan lebih sulit.
Ungkapan lisan itu dituntut setelah ia mewujudkannya dalam tindakannya. Untuk
kemudian ia mengakui dosanya dan meminta ampunan kepada Allah SWT. Sedangkan
sekadar istighfar atau mengungkapkan taubat dengan lisan --tanpa janji dalam
hati-- itu adalah taubat para pendusta, seperti dikatakan oleh Dzun Nun al
Mishri. Itulah yang dikatakan oleh Sayyidah Rabi'ah al 'Adawiyah:
"istighfar kita membutuhkan istighfar lagi!" Hingga sebagian mereka
ada yang berkata: "aku beristighfar kepada Allah SWT dari ucapanku: 'aku
beristighfar kepada Allah SWT'". Atau taubat yang hanya dengan lisan,
tidak disertai dengan penyesalan dalam hati!
Sementara
hakikat taubat adalah perbuatan akal, hati dan tubuh sekaligus. Dimulai dengan
perbuatan akal, diikuti oleh perbuatan hati, dan menghasilkan perbuatan tubuh.
Oleh karena itu, al Hasan berkata: "ia adalah penyesalan dengan hati,
istighfar dengan lisan, meninggalkan perbuatan dosa dengan tubuh, dan berjanji
untuk tidak akan mengerjakan perbuatan dosa itu lagi."
Taubat Seperti Dijelaskan oleh Al Ghazali
Taubat
seperti dijelaskan oleh Imam Ghazali dalam kitabnya "Ihya ulumuddin"
adalah sebuah makna yang terdiri dari tiga unsur: ilmu, hal dan amal. Ilmu
adalah unsur yang pertama, kemudian yang kedua hal, dan ketiga amal.
Ia
berkata: yang pertama mewajibkan yang kedua, dan yang kedua mewajibkan yang
ketiga. Berlangsung sesuai dengan hukum (ketentuan) Allah SWT yang berlangsung
dalam kerajaan dan malakut-Nya.
Ia
berkata: "Sedangkan ilmu adalah, mengetahui besarnya bahaya dosa, dan ia
adalah penghalang antara hamba dan seluruh yang ia senangi. Jika ia telah
mengetahui itu dengan yakin dan sepenuh hati, pengetahuannya itu akan
berpengaruh dalam hatinya dan ia merasakan kepedihan karena kehilangan yang dia
cintai. Karena hati, ketika ia merasakan hilangnya yang dia cintai, ia akan
merasakan kepedihan, dan jika kehilangan itu diakibatkan oleh perbuatannya,
niscaya ia akan menyesali perbuatannya itu. Dan perasaan pedih kehilangan yang
dia cintai itu dinamakan penyesalan. Jika perasaan pedih itu demikian kuat
berpengaruh dalam hatinya dan menguasai hatinya, maka perasaan itu akan
mendorong timbulnya perasaan lain, yaitu tekad dan kemauan untuk mengerjakan
apa yang seharusnya pada saat ini, kemarin dan akan datang. Tindakan yang ia
lakukan saat ini adalah meninggalkan dosa yang menyelimutinya, dan terhadap
masa depannya adalah dengan bertekad untuk meninggalkan dosa yang
mengakibatkannya kehilangan yang dia cintai hingga sepanjang masa. Sedangkan
masa lalunya adalah dengan menebus apa yang ia lakukan sebelumnya, jika dapat
ditebus, atau menggantinya.
Yang
pertama adalah ilmu. Dialah pangkal pertama seluruh kebaikan ini. Yang aku
maksudkan dengan ilmu ini adalah keimanan dan keyakinan. Karena iman bermakna
pembenaran bahwa dosa adalah racun yang menghancurkan. Sedangkan yakin adalah
penegasan pembenaran ini, tidak meragukannya serta memenuhi hatinya. Maka
cahaya iman dalam hati ini ketika bersinar akan membuahkan api penyesalan,
sehingga hati merasakan kepedihan. Karena dengan cahaya iman itu ia dapat
melihat bahwa saat ini, karena dosanya itu, ia terhalang dari yang dia cintai.
Seperti orang yang diterangi cahaya matahari, ketika ia berada dalam kegelapan,
maka cahaya itu menghilangkan penghalang penglihatannya sehingga ia dapat
melihat yang dia cintai. Dan ketika ia menyadari ia hampir binasa, maka cahaya
cinta dalam hatinya bergejolak, dan api ini membangkitkan kekuatannya untuk
menyelamatkan dirinya serta mengejar yang dia cintai itu.
Ilmu
dan penyesalan, serta tekad untuk meninggalkan perbuatan dosa saat ini dan masa
akan datang, serta berusaha menutupi perbuatan masa lalu mempunyai tiga makna
yang berkaitan dengan pencapaiannya itu. Secara keseluruhan dinamakan taubat.
Banyak pula taubat itu disebut dengan makna penyesalan saja. Ilmu akan dosa itu
dijadikan sebagai permulaan, sedangkan meninggalkan perbuatan dosa itu sebagai
buah dan konsekwensi dari ilmu itu. Dari itu dapat dipahami sabda Rasulullah
Saw : " Penyesalan adalah taubat" (Hafizh al 'Iraqi dalam takhrij
hadits-hadits Ihya Ulumuddin berkata: hadits ini ditakhrijkan oleh Ibnu Majah,
Ibnu Hibban, dan al Hakim. Serta ia mensahihkan sanadnya dari hadits Ibnu
Mas'ud. Dan diriwayakan pula oleh Ibnu Hibban dan Al Hakim dari hadits Anas
r.a. dan ia berkata: hadits ini sahih atas syarat Bukhari dan Muslim), karena
penyesalan itu dapat terjadi dari ilmu yang mewajibkan serta membuahkan
penyesalan itu, dan tekad untuk meninggalkan dosa sebagai konsekwensinya. Maka
penyesalan itu dipelihara dengan dua cabangnya, yaitu buahnya dan apa yang
membuahkannya." (Ihya Ulumuddin (4: 3,4), cetakan: Darul Ma'rifah,
Beirut).
Penjelasan Tentang Unsur-unsur
yang Menciptakan Hakikat Taubat (1)
Dari
penuturan Al Gazhali dan ulama lainnya dapat ditarik pengertian: bahwa hakikat
taubat yang diperintahkan Allah SWT bagi seluruh kaum mu'minin agar mereka
beruntung, serta memerintahkan agar mereka bertaubat dengan taubat nasuha,
terdiri dari beberapa unsur dan faktor yang tiga itu: tersusun secara berurutan
satu sama lain. Seperti dijelaskan oleh Al Ghazali.
1. Unsur pengetahuan dalam taubat
Unsur
atau faktor pertama dari unsur-unsur itu adalah unsur pengetahuan. Yang tampak
dalam pengetahuan manusia akan kesalahannya dan dosanya ketika ia melakukan kemaksiatan
kepada Rabbnya, serta matanya terbuka sehingga ia dapat melihat kesalahannya
itu, melepaskan sumbatan dari telinganya sehingga ia dapat mendengar, dan
mengusir kegelapan dari akalnya sehingga ia dapat berpikir, dalam setiap
kesempatan kembalinya diri kepada fithrahnya. Saat itu ia akan mengetahui
keagungan Rabbnya, kemuliaan maqam-Nya dan kebesaran hak-Nya. Juga mengetahui
kekurangan dirinya, mengapa ia mengikuti syaitan, serta kerugiannya yang jelas
di dunia dan akhirat jika ia terus berjalan mengikuti perilaku Iblis dan
tentaranya.
Saat
itu, manusia butuh untuk memusatkan pikirannya, menggunakan akalnya, serta
merenungi dengan dalam tentang dirinya dan apa yang berada di sekelilingnya,
nilai-nilai yang ia miliki, perjalanan dirinya, akhir perjalanannya kemana,
makna kehidupannya, kematian dan apa setelah kematiannya, tentang ni'mat Allah
yang demikian besar baginya, sikapnya terhadap ni'mat-ni'mat itu, tentang
ni'mat Allah yang terus turun kepadanya, dan kejahatan dirinya akan dilaporkan
kepada Allah. Allah SWT akan menghidupkan cintanya dengan memberikan ni'mat
kepadaanya walaupun Allah SWT tidak butuh kepadanya. Ia mendorong kemarahan
Allah dengan melakukan maksiat, sedangkan ia adalah orang yang amat membutuhkan
Allah, dan Allah tidak menutup pintu-Nya bagi hamba-hambaNya, meskipun mereka
telah melampaui batas terhdap diri mereka sendiri, dan Allah terus memanggil
mereka:
"Janganlah
kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa
semuanya". (QS. az-Zumar: 53)
Kesadaran
jiwa adalah pangkal pertama bagi bangunan taubat. Dialah yang akan mendorong
hati untuk menyesal, kemudian bertekad untuk meninggalkan dosa itu, lidahnya
beristihgfar, kemudian tubuhnya mencegah dari melakukan dosa itu.
Inilah
yang diperingatkan oleh Al Quran dalam firman Allah SWT:
"Dan
orang -orang yang telah diberi ilmu, meyakini bahwasanya Al Qur'an itulah yang
hak dari Tuhanmu lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka kepadanya" (QS. al Hajj: 54.). Dengan runtutan ini yang
ditunjukkan oleh hurup sambung "fa".
Yang
pertama adalah pengetahuan, yang dengannya manusia mengetahui bahwa kebenaran
adalah dari Rabb mereka. Dan itu akan menyebabkan mereka mengimaninya. Dengan
demikian, ilmu pengetahuan adalah petunjuk dan pemimpin keimanan. Kemudian
keimanan itu akan mengantarkan pada ketundukan dan khusyunya hati.
Allah
SWT berfirman tentang sifat kaum muttaqin:
"Dan
(juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri
sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampunan terhadap dosa-dosa
mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? - Dan
mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui". (QS. Ali Imran: 135)
Mereka
itu menyebut Allah, dan meminta ampunan dari dosa mereka kepadaNya. Istighfar
itu terjadi akibat dzikir atau mengingat Allah SWT. Dan dzikir di sini adalah
suatu macam pengetahuan. Karena yang dimaksud di sini bukan dzikir dengan
lidah, seperti disangka orang. Namun ia adalah kebalikan dari lupa dan
kealpaan. Dan ia adalah bagian dari macam-macam pengetahuan. Seperti firman
Allah SWT:
"Dan
ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa." (QS.
al Kahfi: 24)
Ilmu
pengetahuan dalam Islam didahulukan dari keadaan jiwa dan perbuatan tubuh. Oleh
karena itu, tidak aneh jika ayat yang pertama diturunkan dalam Al Quran adalah:
"Bacalah
dengan nama Tuhan-mu yang telah menciptakan." (QS.
al 'Alaq: 1)
dan
membaca adalah kunci ilmu pengetahuan.
Imam
Al Bukhari berkata dalam shahihnya: bab: "Ilmu sebelum beramal". Ia
berdalil dengan firman Allah SWT:
"Maka
ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang Haq) melainkan Allah dan
mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang Mu'min, laki-laki dan
perempuan". (QS. Muhammad: 19)
Maka
di sini didahulukan perintah untuk berilmu dari perintah untuk beristighfar.
Al
Qusyairi berkata dalam kitabnya "Risalah Qusyairiah": taubat yang
pertama adalah: bangunnya hati dari kelalaian, serta sang hamba melihat kondisi
yang buruk akibat dosa yang ia poerbuat. Dan itu akan mendorongnya untuk mengikuti
dorongan hati nuraninya agar tidak melanggar perintah Allah SWT. Karena dalam
khabar disebutkan: "penasehat dari Allah SWT terdapat dalam hati setiap
orang muslim". (Hadits diriwayatkan oleh Ahmad dari An Nuwas bin Sam'an).
Dan dalam khabar:
"Sesungguhnya
di dalam tubuh terdapat segumpal daging, jika ia baik maka baiklah seluruh
tubuh, dan jika ia rusak maka rusaklah seluruh tubuh, ketahuilah itulah
hati". (Hadits muttafaq alaih dari Nu'man bin Basyir).
Jika
hatinya merenungkan keburukan perbuatannya, serta ia menyadari dosa-dosa yang
ia perbuat itu, niscaya daam hatinya akan terdetik keinginan untuk bertaubat,
dana menjauhkan diri dari melakukan tindakan-tindakan yang buruk itu. Kemudian
Allah SWT akan membantunya dengan menguatkan tekadnya itu, melakukan tindakan
koreksional atas dosa-dosanya, serta melakukan perbuatan-perbuatan yang
seharusnya dalam bertaubat. (Risalah Qusyairiah dengan tahqiq Dr. Abdul Halim
Mahmud, dan Dr. Mahmud bin Syarif, (juz 1/ 254, 255))
2. Unsur Hati dan Keinginan
Unsur
kedua dalam taubat adalah: unsur jiwa, yang berhubungan dengan hati dan
keinginan diri. Atau dengna kata lain: emosi dan inklinasi.
Dari
unsur ini ada yang berhubungan dengan masa lalu, dan ada yang berhubungan
dengan masa depan.
a. Menyesal dengan sangat
Yang
berkaitan dengan masa lalu adalah apa ang kita kenal dengan penyesalan. Tentang
ini terdapat hadits: "penyesalan adalah taubat". Karena ia adalah
bagian yang paling penting dari taubat. Seperti dalam hadits "Hajji adalah
Arafah". Karena ia adalah rukun yang paling penting dalam hajji itu. al
Qusyairi mengutip dari beberapa ulama: penyesalan itu cukup untuk mewujudkan
taubat. Karena penyesalan itu akan menghantarkan kepada dua rukun lainnya,
yaitu tekad dan meninggalkan perbuatan dosa. Adalah mustahil jika ada seseorang
yang menyesali tindakan yang masih terus ia lakukan atau ingin ia lakukan
kembali.
Penyesalan
adalah: perasaan, emosi atau gerak hati. Yaitu suatu bentuk penyesalan dalam
diri manusia atas perbuatan dosa yang ia lakukan terhadap Rabbnya, terhadap
makhluk yang lain dan bagi dirinya sendiri. Ini adalah penyeslan yang mirip
dengan api yang membakar hati dengan sangat. Malah ia akan merasakannya seperti
dipanggang ketika ia mengingat dosanya, sikap pelanggarannya serta hak Rabbnya
atasnya. Itu adalah kondisi "terbakar di dalam" yang diungkapkan oleh
sebagian kaum sufi ketika mereka mendefinisikan taubat: melelehkan lemak (yang
terkumpul) karena kesalahan masa lalu. Dan yang lain berkata: ia adalah api
hati yang membakar, serta sakit dalam hati yang tidak terobati!.
Al
Quran telah mendeskripsikan sisi jiwa ini bagi beberapa orang yang melakukan
taubat, dengan deskripsi yang amat bagus. Yaitu dalam kisah tiga sahabat yang
absen dari mengikuti perang yang besar bersama Rasulullah Saw, yaitu perang Tabuk.
Yang merupakan peperangan pertama Rasulullah Saw dengan negara yagn paling kuat
di dunia saat itu: negara Romawi. Mereka tidak mengungkapkan alasan bohong
seperti kaum munafik, maka Rasulullah Saw memerintahkan untuk mengucilkan
mereka. Kemudian mereka menyesali perbuatan mereka itu dengan sangat, dan
dilukiskan oleh Al Quran sebagai berikut:
"Dan
terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat ) mereka, hingga
apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa
merekapun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui
bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja.
Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya.
Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang". (QS. at-Taubah: 118)
Oleh
karena itu Dzun-Nun al Mishri berkata: hakikat taubat adalah: engkau merasakan
bumi yuang luas ini menjadi sempit karena dosamu, hingga engkau tidak dapat
lari darinya, kemudian kesempitan itu engkau rasakan dalam dirimu. Seperti
diungkapkan oleh al Quran: "dan jiwa merekapun telah sempit (pula terasa)
oleh mereka".
Di
antara bentuk penyesalan adalah: mengakui dosa, dan tidak lari dari
pertanggungjawaban dosa itu, serta meminta ampunan dan maghfirah dari Allah
SWT.
Seperti
kita temukan dalam kisah Adam setelah beliau dan istirnya memakan pohon yang
dilarang itu:
"Keduanya
berkata: "Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika
Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah
kami termasuk orang-orang yang merugi". (QS.
al A'raf: 23)
Dan
seperti kita temukan dalam kisah Nuh ketika ia meminta ampunan kepada Rabbnya
atas anaknya yang kafir. Dan jawaban Ilahi terhadapnya adalah:
"Hai
Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan
diselamatkan), sesungguhnya (perbuatannya) perbuatan yang tidak baik. Sebab itu
janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakekat)
nya. Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk
orang-orang yang tidak berpengetahuan". (QS.
Huud: 46)
Di
sini Nuh a.s. merasakan kesalahannya, dan iapun menyesalinya. Serta berkata:
"Ya
Tuhanku, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari memohon kepada Engkau
sesuatu yang aku tiada mengetahui (hakekatnya) . Dan sekiranya Engkau tidak
memberi ampun kepadaku, dan (tidak) menaruh belas kasihan kepadaku, niscaya aku
akan termasuk orang-orang yang merugi". (QS.
Huud: 47)
Dan
seperti kita lihat dalam kisah Musa, ketika beliau memukul seorang laki-laki
dari Koptik dan menewaskannya:
Musa
berkata: 'Ini adalah perbuatan syaitan sesungguhnya syaitan itu adalah musuh
yang menyesatkan lagi nyata (pemusuhannya)'. (QS.
al Qashash: 15-16)
Juga
kita lihat dalam kisah nabi Yunus:
"Ketika
ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan
mempersempitnya (menyulitkannya), maka dia menyeru dalam keadaan yang sangat
gelap: "Bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Engkau. Maha
Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim." (QS. al Anbiyaa: 87)
Meskipun
jika kita perhatikan dosa-dosa yang diperbuat oleh para Rasul itu adalah
dosa-dosa kecil, terutama jika kita perhatikan situasi dan kondisi terjadinya
dosa itu, maka dosa-dosa itu memang ringan. Namun para Rasul itu, karena
halusnya perasaan mereka, hati mereka yang hidup, serta perasaan mereka yang
kuat akan hak Rabb mereka, maka mereka melihat dosa itu sebagai dosa yang amat
besar, mereka mengakui kesalahan diri mereka, dan merekapun segera memohon
ampunan dan maghfirah dari Rabb mereka, karena Dia adalah Maha Pengampun dan
Maha Penyayang.
b. Tekad yang kuat
Jika
penyesalan itu berkaitan dengan masa lalu dan kesalahan yang telah ia perbuat;
ada dimensi dalam taubat yang berkaitan dengan masa depan, dan tentang
probabilitas ia melakukan pengulangan perbuatan dosa itu kembali, serta
bagaimana mengganti kesalahan yang telah ia perbuat. Yaitu dengan bertekad
untuk meninggalkan maksiat itu dan bertaubat darinya secara total, dan tidak
akan kembali melakukannya selama-lamanya. Seperti susu yang tidak mungkin
kembali ke puting hewan setelah diperah. Ini semua berpulang pada keinginan dan
tekad orang itu. Dan tekad itu harus kuat betul, bukan keinginan yang dilandasi
oleh keragu-raguan. Tidak seperti mereka yang pada pagi harinya bertaubat
sementara pada sore harinya kembali mengulangi lagi dosanya!
Yang
terpenting dalam masalah tekadnya ini adalah agar tekad itu kuat dan
betul-betul, saat bertaubat. Dengan tanpa disertai oleh keraguan atau kerinduan
untuk kembali melakukan kemaksiatan, atau juga berpikir untuk mengerjakannya
kembali. Taubat itu tidak batal jika suatu saat tekadnya itu sedikit melemah
kemudian ia terlena oleh dirinya, tertipu oleh syaitan sehingga ia terpeleset,
dan kembali melakukan kemaksiatan.
Dalam
kasus seperti ini, ia harus segera melakukan taubat, menyesal dan menyusun
tekad lagi. Dan ia tidak perlu putus-asa takut taubatnya tidak diterima jika
memang tekadnya tulus. Allah SWT berfirman:
"Maka
sesungguhnya Dia Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertaubat" [QS. al Isra: 25].
Al-Awwaab
adalah orang yang sering meminta ampunan kepada Allah SWT; setiap kali ia
melakukan dosa ia mengetahui bahwa ia memiliki Rabb Yang Maha Mengampuni dosa,
maka dia segera melakukan istighfar dan diapun mendapatkan ampunan.
Imam
Ibnu Katsir berkata: "Sedangkan jika ia bertekad untuk bertaubat dan
memegang teguh tekadnya, maka itu akan menghapuskan kesalahan-kesalahannya pada
masa lalu. Seperti terdapat dalam hadits sahjih "Islam menghapuskan apa
yang sebelumnya, dan taubat menghapuskan dosa yang sebelumnya".
Ibnu
Katsir berkata: "apakah syarat taubat nasuha itu orang harus tetap
bersikap seperti itu hingga ia mati, seperti diungkapkan dalam hadits dan
atsar: "kemudian ia tidak kembali melakukannya selama-lamanya",
ataukah cukup bertekad untuk tidak mengulangi lagi, untuk menghapus dosa yang
telah lalu, sehingga ketika ia kembali melakukan dosa setelah itu, maka ia
tidak merusak taubatnya dan menghidupkan kembali dosa yang telah terhapuskan,
dengan melihat generalitas pengertian hadits: "Taubat menghapus dosa yang
sebelumnya" [Tafsir Ibnu Katsir: 4/ 392 , cet. Al Halabi.]?.
Ibnu
Qayyim membicarakan hal ini dalam kitabnya "Madarij Salikin" dan
menyebut dua pendapat:
Satu
pendapat mengharuskan agar orang itu tidak mengulangi kembali dosanya sama
sekali. Dan berkata: ketika ia kembali melakukan dosa, maka jelaslah taubatnya
yang dahulu itu batal dan tidak sah.
Sedangkan
menurut pendapat kalangan mayoritas, hal itu tidak menjadi syarat. Kesahihan
taubat hanya ditentukan oleh tindakannya meninggalkan dosa itu, dan bertaubat
darinya, serta bertekad dengan kuat untuk tidak mengulanginya lagi. Dan jika ia
mengulanginya lagi padahal ia dahulu telah bertekad untuk tidak mengulang
dosanya itu, maka saat itu ia seperti orang yang melakukan kemaksiatan dari
permulaan sekali, sehingga taubatnya yang lalu tidak batal.
Ia
berkata: masalah ini dibangun di atas dasar pertanyaan: "Apakah seorang
hamba yang bertaubat dari suatu dosa kemudian ia mengulanginya dosanya itu, ia kembali
menanggung dosa yang telah ia mintakan taubatnya sebelumnya, sehingga ia harus
menanggung dosa yang lalu dan sekarang ini, jika ia mati saat masih melakukan
maksiat? Ataukah itu telah terhapus, sehingga ia tidak lagi menanggung dosanya,
namun hanya menanggung dosa yang terakhir itu?"
Dalam
masalah ini ada dua pendapat:
Satu
kelompok berpendapat: ia kembali menanggung dosa yang telah ia mintakan
taubatnya dahulu itu, karena taubatnya telah rusak dan batal ketika ia
mengulangi dosanya. Mereka berkata: karena taubat dari dosa adalah seperti
keislaman dengan kekafiran. Seorang yang kafir ketika ia masuk Islam maka
keislamannya itu akan menghapuskan seluruh dosa kekafiran dan dosa yang pernah
dilakukannya. Kemudian jika ia murtad, dosanya yang lalu itu kembali ia
tanggung ditambah dengan dosa murtad. Seperti terdapat dalam hadits Nabi Saw:
"Barangsiapa
yang beramal baik dalam Islam (setelah masuk ke dalamnya dari kejahiliyahan)
maka ia tidak akan dipertanyakan akan apa yang telah diperbuatnya pada masa jahiliah.
Dan siapa yang berbuat buruk dalam Islam, maka ia akan dimintakan
pertanggungjawaban akan dosanya pada yang pertama (saat masih jahiliah) dan
yang lainnya (setelah Islam)".
Ini
adalah orang yang masuk Islam namun merusakan keislamannya itu. Dan telah
diketahui bersama bahwa kemurtadan adalah perusakan yang paling besar terhadap
keislaman seseorang. Maka ia akan kembali menanggung dosa yang telah ia lakukan
dalam kekafirannya sebelum ia masuk Islam, dan keislaman yang pernah ia rasakan
itu tidak menghapuskan dosa-dosa yang lama iu. Demikian juga dosa orang yang
taubatnya ia langgar, maka dosa yang dilakukan sebelum taubat yang ia langgar
itu kembali ia tanggung. Juga tidak menghalangi dosa yang ia lakukan kemudian.
Mereka
berkata: karena kesahihan taubat disyaratkan kontinuitasnya dan terus dijalani,
maka sesuatu yang tergantung dengan suatu syarat akan hilang ketika syarat itu
lenyap. Seperti kesahihan Islam disayaratkan kontinuitasnya dan terus
dijalaninya. Mereka berkata: taubat adalah wajib secara ketat sepanjang usia
seseorang. Masanya adalah sepanjang usia orang itu. Oleh karena itu,
hukumnya-pun harus terus ditaati sepanjang usianya. Maka bagi dia, masa
sepanjang usianya itu adalah seperti orang yang menahan diri dari melakukan
hal-hal yang membatalkan puasa ketika ia berpuasa pada hari itu. Maka jika
sepanjang hari ia menahan diri dari yang membatalkan puasa, kemudian ia
melakukan perbuatan yang membatalkan puasa pada sore harinya, niscaya seluruh
puasanya yang telah ia jalani dari pagi hari itu otomaits batal, dan tidak
dinilai sebagai puasa. Dan ia sama seperti orang yang tidak puasa sama sekali.
Mereka
berkata: ini didukung oleh hadits sahih, yaitu sabda Rasulullah Saw:
"Sesungguhnya
seorang hamba telah beramal dengan amal penghuni surga, hingga antara dirinya
dengan surga itu sekadar satu lengan, kemudian ketentuan takdirnya datang
hingga akhirnya ia beramal dengan amal penghuni neraka sehingga iapun masuk ke
neraka itu".
Ini
lebih umum dari amal yang kedua itu, suatu kekafiran yang menghantarkan kepada
neraka selamanya, atau kemaksiatan yang menghantarkannya ke neraka. Karena
Rasulullah Saw tidak mensabdakan: "maka ia murtad dan iapun meninggalkan
Islam". Namun menghabarkan bahwa: ia beramal dengan amal yang
menghantarkannya ke neraka. Dan dalam sebagian kitab sunan terdapat: "Ada
seorang hamba yang telah melakukan ketaatan kepada Allah SWT selama enam puluh
tahun, dan ketika ia menjelang kematiannya ia melakukan kecurangan dalam
berwasiat maka iapun masuk neraka".
Penutup
yang buruk lebih umum dari penutup dengan kekafiran atau kemaksiatan. Dan
seluruh amal perbuatan dinilai dengan akhir amal itu.
Sedangkan
kelompok kedua -- yaitu mereka yang berkata bahwa dosa yang lama yang telah ia
mintakan taubatnya tidak kembali ditanggungnya jika ia melanggar taubatnya
itu-- berdalil bahwa dosa itu telah terhapus dengan taubat. Maka ia seperti
orang yang tidak melakukannya sama sekali, sehingga ia seperti tidak ada.
Sehingga ia tidak kembali ke situ setelahnya. Namun yang harus ia tanggung
hanya dosa yang baru itu, bukan dosa yang lama.
Mereka
berkata: tidak disyaratkan dalam kesahihan taubat itu ia tidak pernah berdosa
hingga mati. Namun jika ia telah menyesal dan meninggalkan dosa serta bertekad
untuk meninggalkan sama sekali perbuatannya itu, niscaya dosanya segera
terhapuskan. Dan jika ia kembali melakukannya, ia memulai dari baru catatan
dosanya itu.
Mereka
berkata: ini tidak seperti kekafiran yang menghancurkan seluruh amal kebaikan.
Karena kekafiran itu lain lagi masalahnya. Oleh karenanya ia menghapuskan
seluruh kebaikan. Sedangkan kembali berdosa tidak menghapuskan amal kebaikan
yang telah dilakukannya.
Mereka
berkata: taubat adalah termasuk kebaikan yang paling besar. Maka jika taubat
itu dibatalkan dengan melakukan dosa kembali, niscaya pahala-pahala itu juga
terhapuskan. Pendapat itu tidak benar sama sekali. Itu sama seperti mazhab kaum
khawarij yang mengkafirkan orang karena dosa yang ia perbuat. Dan kaum
Mu'tazilah yang memasukkan orang yang berdosa besar dalam neraka, meskipun ia
telah melakukan banyak amal yang baik. Kedua kelompok itu sepakat memasukkan
orang-orang yang melakukan dosa-dosa besar dalam neraka. Namun khawarij
mengkafirkan mereka, dan mu'tazilah menilai mereka fasik. Dan kedua mazhabn itu
adalah batil dalam Islam. Bersebrangan dengan nash-nash, akal serta keadilan:
"Sesungguhnya
Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar dzarrah, dan jika ada
kebajikan sebesar dzarrah, niscaya Allah akan melipat gandakannya, dan
memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar" [QS.
an-Nisa: 40].
Mereka
berkata: Imam Ahmad menyebutkan dalam musnadnya secara marfu' kepada Nabi Saw:
"Sesungguhnya
Allah SWT mencintai hamba yang terfitnah (hingga melakukan dosa) dan sering
meminta ampunan" [Hadits ini sanadnya dha'if jiddan/lemah sekali].
Aku
berkata: ia adalah orang yang setiap kali melakukan dosa ia segera bertaubat
dari dosa itu. Kalaulah mengulang dosa itu membatalkan taubatnya niscaya ia
tidak disenangi oleh Rabbnya, malah menimbulkan kebencian-Nya.
Mereka
berkata: Allah SWT mengaitkan diterimanya taubat dengan istighfar, tidak terus
melakukan dosa, dan tidak mengulanginya. Allah SWT berfirman:
"Dan
(juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri
sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka
dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? - Dan mereka
tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui" [QS. Ali Imran: 135].
Terus
melakukan dosa adalah: membiasakan hati dan diri untuk melakukan dosa setiap
kali ada kesempatan untuk itu. Inilah yang menghalangi maghfirah dari Allah
SWT.
Mereka
berkata: Sedangkan kontinuitas taubat adalah syarat keabsahan kesempurnaan dan
kemanfaatan taubat itu, bukan syarat keabsahan taubat atas dosa yang
sebelumnya. Namun tidak demikian halnya dengan ibadah, seperti puasa selama
satu hari penuh, serta bilangan raka'at dalam shalat. Karena ia adalah suatu
ibadah secara utuh, sehingga ibadah itu tidak dapat diterima jika tidak
terpenuhi seluruh rukun dan bagian-bagiannya. Sedangkan taubat, ia adalah
adalah ibadah yang beragam sesuai dengan ragam dosa. Setiap dosa memiliki cara
taubat tersendiri. Jika seseorang melakukan suatu ibadah dan tidak melakukan
yang lain, itu tidak berarti ibadah yang dilakukannya itu tidak sah karena ia
tidak mengerjakan ibadah yang lain, seperti telah disebutkan sebelumnya.
Namun,
sama dengan ini adalah: orang yang puasa pada bulan Ramadlan kemudian ia
membatalkan puasanya itu tanpa adanya uzur, maka apakah puasa yang ia batalkan
itu membatalkan pahala puasa yang telah ia lakukan?
Contoh
yang lain adalah orang yang shalat namun ia tidak berpuasa , atau yang yang
menunaikan zakat namun tidak pernah melaksanakan ibadah hajji (padahal ia
mampu).
Pokok
masalah: taubat sebelumnya adalah kebaikan, sedangkan mengulang dosa itu adalah
keburukan, maka pengulangan dosa itu itidak menghapus kebaikan itu, juga tidak
membatalkan kebaikan yang dilakukan bersamaan dengannya.
Mereka
berkata: ini dalam pokok-pokok (ushul) ahli sunnah lebih jelas. Mereka sepakat
bahwa seseorang bisa mendapat perlindungan dari Allah SWT dan pada saat yang
sama juga dibenci oleh-Nya. Atau ia dicintai Allah SWT namun ia juga sekaligus
dibenci dari segi lain. Atau ada orang yang beriman namun masih mempunyai
kemunafikan, juga keimanan dan kekafiran. Dan orang itu dapat lebih dekat
kepada suatu sisi dari sisi yang lain. Sehingga ia menjadi kelompok sisi itu.
Seperti firman Allah SWT: "Mereka pada hari itu lebih dekat kepada
kekafiran dari padi keimanan"[QS. Ali Imran: 167]. Dan berfirman:
"Dan
sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan
mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain)" [QS. Yusuf: 106].
Allah
SWT mengakui keimanan mereka, sambil menyebut kemusyrikan mereka. Namun jika
bersama kemusyrikan ini juga terdapat pengingkaran terhadap Rasul-rasul Allah
maka keimanannya kepada Allah SWT itu tidak bermakna lagi. Sedangkan jika
mereka membenarkan apa yang dibawa oleh Rasulullah Saw, sementara mereka tetap
melakukan beragam tindakan musyrik, itu tidak mengeluarkan mereka dari keimanan
kepada para Rasul dan hari kiamat. Dan mereka berhak mendapatkan ancaman yang
lebih besar daripada pelaku dosa-dosa besar.
Kemusyrikan
mereka adalah dua macam: musyrik yang tersembunyi dan yang terang-terangan.
Yang tersembunyi dapat diampuni, sedangkan yang terang-terangan tidak diampuni
oleh Allah SWT kecuali dengan melakukan taubat dari pebuatannya itu. Karena
Allah SWT tidak mengampuni kemusyrikan.
Dengan
dasar ini, ahli sunnah mengatakan bahwa para pelaku dosa besar masuk neraka,
namun setelah merasakan siksa neraka itu mereka akan keluar darinya dan masuk
surga, karena adanya dua unsur pada dirinya.
Jika
demikian, maka orang yang mengulang melakukan dosa setelah bertaubat adalah
orang yang dibenci Allah SWT karena ia mengulangi dosanya, namun juga dicintai
karena ia telah melakukan taubat dan amal ang yang baik sebelumnya. Dan Allah
SWT telah menetapkan bagi segala seuatu sebab-sebabnya, dengan adil dan penuh
hikmah, dan Allah SWT tidak sedikitpun melakukan kezhaliman.
"Dan
sekali-kali tidaklah Tuhanmu menganiaya hamba-hamba (Nya)" [QS. Fushilat: 46].
Penjelasan Tentang Unsur-unsur
yang Menciptakan Hakikat Taubat (2)
3. Sisi Praktis dalam Taubat
Jika
dalam taubat ada sisi atau unsur pengetahuan; yang terwujudkan dalam ilmu
tentang maqam Allah SWT dan kebesaran hak-Nya atas hamba-hamba-Nya, serta
nikmat-nikmat-Nya yang banyak atas mereka pada satu segi, dan pada segi lain
pengetahuan tentang bahaya kemaksiatan dan kesalahan serta pengaruhnya di dunia
dan akhirat, serta ia akan menjadi penghalang antara manusia dan Rabbnya, dan
akan menghalangi manusia untuk mencapai keberuntungan dan keselamatan yang
dicarinya:
"Barangsiapa
dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga maka sungguh ia telah
beruntung." (QS. Ali Imran: 185)
Dalam
taubat juga ada sisi atau unsur hati, emosi dan hasrat. Terwujudkan dalam
penyesalan yang membakar kayu-kayu dosa. Air mata penyesalan yang mencuci
kotoran kesalahan. Dan cahaya semangat dan tekad yang benar untuk tidak kembali
melakukan kemaksiatan yang telah ia mintakan taubatnya, sebesar apapun godaan
yang ia jumpai.
Dalam
taubat juga terdapat sisi atau unsur praksis yang harus dijalankan, hingga
hakikat taubat dapat dipenuhi, serta ia dapat memberikan hasilnya bagi jiwa
dalam kehidupan.
Sisi
praksis ini mempunyai dasar, dan darinya keluar dua cabang, atau barangkali
beberapa cabang.
a. Meninggalkan Kemaksiatan Secepatnya
Pokoknya
adalah: meninggalkan kemaksiatan secepatnya. Suatu taubat tidak bermakna jika
orang yang bertaubat itu masih tetap menjalankan kemaksiatan yang ia sesali
itu, serta tiddak meinggalknanya; karena, kalau begitu, apa yang ia taubatkan,
jadinya? Meninggalkan taubat itu dinilai sebagai pekerjaan, karena ia menahana
diri dari kemaksiatan yang ia ingin lakukan, untuk tetap dalam ketaatan. Tidak
diragukan lagi, menahan diri ini adalah pekerjaan, gerak tubuh, serta jihad fi
sabilillah. Allah SWT berfirman:
"Dan
orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan ) Kami, benar-benar akan
Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami." (QS. al 'Ankabut: 69).
b. Istighfar
Sedangkan
dua cabang asal itui adalah, pertama: istighfar. Dengan pengertian, memintah
maghfirah dan ampunan dari Allah SWT. Seperti dikatakan oleh bapak yang
pertama, Adam, dan ibu yang pertama, Hawa; setelah keduanya makan pohon yang
dilarang itu:
"Ya
Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak
mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk
orang-orang yang merugi." (QS. al A'raaf:
23)
Seluruh
orang yang bertaubat amat membutuhkan untuk beristighfar, seperti diperintahkan
oleh Al Quran dan sunnah serta dijelaskan oleh kaum salaf saleh.
Mengingat
pentingnya istighfar, dan diulangnya perintah untuk istighfar itu, serta
dorongan untuk melakukannya dalam al Quran dan hadits, maka kami akan khususkan
suatu pasal tesendiri tentang hal itu.
c. Mengubah Lingkungan dan Teman
Cabang
kedua adalah: merubah lingkungan masyarakat yang penuh dengan kotoran, yang ia
tempati saat ia melakukan kemaksiatan dan penyelewengan. Kemudian mencari
lingkungan yang bersih dan suci yang bebas dari penyakit yang berbahaya. Yang
kami maksud dengan penyakit-penyakit itui adalah: penyakit kesalahan, dosa dan
penyelewengan. Dan ini lebih berbahaya dari penyakit badan, dan lebih cepat
pengaruhnya.
Jika
pengaruh penyakit anggota badan berbahaya bagi seorang individu, maka bahaya
penyelewengan dan kemaksiatan mengancam individu dan masyarakat secara
bersamaan. Ia tidak hanya bahaya bagi materi yang tangible (terindera) saja,
namun juga terhadap sisi maknawi dan etika (yang intangible). Ia tidak hanya
berbahaya bagi dunia saja, namun juga terhadap dunia dan akhirat secara
bersamaan.
Ini
artinya, orang yang bertaubat hendaknya meninggalkan teman-temannya yang jahat
yang mengajaknya untuk melakukan kemaksiatan dan menarik kakinya ke arah itu.
Yang membuat ia terjatuh seperti mereka. Sehingga ia kemudian turut meminum
minuman keras, berjudi, menggunakan obat bius, memperjual belikan barang yang
haram, menerima sogokan, jatuh dalam tipu daya wanita, bekerja dengan musuh
sebagai mata-mata, atau meninggalkan shalat serta mengikuti syahwat... dan
macam-macam kesalahan lainnya. Oleh karena itu, ia harus mengganti teman-teman
yang jahat itu dengan teman-teman yang baik. Yang dengan melihat mereka saja ia
akan mengingat Allah SWT, pembicaraan mereka mengajak kepada ketaatan kepada
Allah SWT , dan perbuatan mereka menunjukkan kepada jalan Allah SWT.
Orang
yang bertaubat harus meninggalkan menemani "tukang tiup api" untuk
kemudian memilih teman "tukang jual minyak wangi", seperti diajarkan
oleh pengajar yang pertama, Rasulullah Saw.
Pengaruh
teman dan shabat bagi manusia amat besar, seperti diungkapkan oleh para bijak
bestari dan para penyair dari semenjak dahulu kala. Hingga ada penyair yang
berkata:
"Tentang
seseorang maka janganlah tanyakan dirinya sendiri, namun tanyakan temannya
Karena setiap teman dengan temannya adalah sama. "
dan
penyair lain berkata:
"Hati-hatilah
dan jangan temani orang yang pencela, karena ia akan menularkan seperti orang
sehat tertularkan orang berpenyakit kusta."
Teman
ada dua macam: teman yang membawa engkau menuju surga, dan teman yang
menjerumuskan engkau ke dalam neraka. Al Quran telah menceritakan kepada kita
akan bahaya teman jenis terakhir ini. Karena ia dapat menyesatkan dan
menghalangi dari jalan Allah. Dan mungkin korban-korban mereka baru diketahui
di akhirat nanti, ketika tabir kegaiban telah dibuka, dan manusia melihat
hakikat sejara jelas. Allah berfirman:
"Dan
(ingatlah) hari (ketika itu) orang-orang yang zalim menggigit dua tangannya,
seraya berkata: "Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama-sama
Rasul". Kecelakaan besarlah bagiku; kiranya aku (dulu) tidak menjadikan si
fulan itu teman akrab (ku). Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari Al
Qur'an ketika Al Qur'an itu telah datang kepadaku. Dan adalah syaitan itu tidak
mau menolong manusia." (QS. al Furqan:
27-29).
Oleh
karena itu, kita melihat seluruh teman di dunia menjadi musuh di akhirat.
Masing-masing mencela yang lain, dan satu orang melaknat temannya yang lain,
serta mereka saling membebaskan diri dari masing-masing. Seluruh mereka berkata
kepada sahabatnya: engkaulah yang telah menyesatkan dan membuatku sesat.
Kecuali ada satu jenis teman dan kekasih yang tetap saling mencintai, yaitu
orang-orang yang taqwa, yang takut kepada Rabb mereka, dan azab yang buruk.
Allah SWT berfirman:
"Teman-teman
akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali
orang-orang yang bertakwa." (QS.
az-Zukhruf: 67)
Dari
sini, sebagian ahli suluk dari kalangan salaf memperingatkan untuk mengganti
sahabat. Ketika ia berkata, "taubat adalah: menyesal dengan hati, bertekad
untuk meninggalkan maksiat, meminta ampunan dengan lisan, menjauhkan maksiat
dengan badan, serta menjauhi teman-teman yang buruk." Ini adalah pandangan
pendidikan yang benar dan telah teruji. Inilah yang telah diperingatkan oleh al
Qusyairi dan ia menasehati orang yang taubat untuk memulai dengan perbuatan
ini, yaitu menjauhi teman-teman yang buruk. Merekalah yang mendorongnya untuk
menggagalkan niatnya untuk bertaubat, serta menganggu tekadnya untuk melakukan
ketaatan. [Risalah Qusyairiah : 1/255.].
Ini
diperkuat oleh hadits sahih: yaitu hadits yang berbicara tentang orang yang
telah membunuh seratus orang, kemudian ia bertanya siapa orang yang paling
pandai di dunia. Kemudian ia diberitahukan untuk menemui seorang alim ia
berkata kepadanya: bahwa ia telah membunuh seratus orang, maka apakah ia masih
mempunyai kesempatan untuk bertaubat? Orang alim itu menjawab: ya, siapa yang
yang menghalangi orang untuk bertaubat? Pergilah engkau ke daerah ini dan ini,
karena di sana terdapat orang-orang yang menyembah Allah SWT, maka beribadahlah
kepada Allah SWT bersama mereka, dan jangan engkau kembali ke kampungmu, karena
ia adalah kampung yang buruk... hadits. [Hadits itu muttafaq alaih dari Abi
Sa'id al Khudri. Disebutkan oleh al Mundziri dalam Targhib wa Tarhib. Lihatlah
: al Muntaqa (1936) dan telah disebutkan hadits ini dengan lengkap pada halaman
sebelumnya.]
d. Mengiringi Perbuatan Buruk dengan Perbuatan Baik
Ini
adalah cabang lain yang menyempurnakan dua cabang itu dan memperkuat taubat.
Yaitu: mengiringi keburukan dengan kebaikan, sehingga dapat menghapus
pengaruhnya dan membersihkan kotorannya. Inilah yang diperintahkan oleh
Rasulullah Saw kepada Abu Dzarr r.a. ketika beliau mewasiatkan kepadanya dengan
wasiat yang agung ini, dan bersabda:
"Bertakwalah
di manapun engkau berada, dan ikutilah perbuatan buruk dengan perbuatan baik
niscaya ia akan menghapusnya, dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang
baik." [Hadits diriwayatkan oleh Ahmad dan Tirmizi dari Abi Dzar. Tirmizi
berkata: hadits ini hasan sahih. Dan Al Hakim mensahihkannya atas syarat
Bukhari dan Muslim, dan disetujui oleh Adz Dzahabi dan Al Baihaqi dalam Asy-Syu'ab.
Dan Ahmad serta Tirmizi dan Al Baihaqi juga Thabrani meriwayatkannya pula
Mu'adz. Adz Dzahabi berkata dalam kitab Muhadz-dzab: sanadnya adalah hasan. (Al Faidl: 1/121)]
Yang
dimaksud adalah: seorang muslim, jika ia melakukan maksiat, hendaknya segera
mengiringinya dengan kebaikan. Seperti shalat, shadaqah, puasa, perbuatan yang
baik, istighfar, dzikr, tasbih dan lainnya, dari macam-macam perbuatan yang
baik. Seperti firman Allah SWT :
"Dan
dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada
bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik
itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk." [QS. Huud: 114]
Ibnu
Arabi berkata: kebaikan akan menghapus keburukan, baik sebelumnya atau
setelahnya. Pelaksanaan kebaikan setelah keburukan itu lebih baik, karena
perbuatan itu lahir dari hati, dan berpengaruh dengannya. Maka jika ia
melakukan kebaikan, itu menunjukkan hatinya yang baik. Dan jika ia melakukan
perbuatan yang baik, itu timbul dari pilihan hati, sehingga menghapus keburukan
yang dilakukan sebelumnya. Pengertian literer sabda beliau: 'tamhuha'
"akan menghapusnya", artinya dosa itu akan lenyap dari catatan. Ada
yang berpendapat: maksudnya adalah, tidak diancam dengan hukuman atas dosanya
itu. [Lihatlah: Faidlul Qadir: 1/120]
Jika
kesalahannya itu adalah membicarakan keburukan orang lain di hadapan seesorang
tertentu, maka kebaikan itu adalah memuji orang tadi dihadapan orang yang
diajak berghibah sebelumnya, atau ia beristighfar kepada Allah SWT baginya.
Jika
keburukannya itu adalah mencela seseorang di hadapan manusia, maka kebaikannya
itu adalah menghormatinya, memuliakannya serta menyebutnya dengan kebaikan.
Orang
yang kejahatannya adalah membaca buku-buku yang buruk, maka kebaikannya adalah
membaca al Quran, kitab hadits serta ilmu-ilmu Islam. Orang yang keburukannya
adalah menghardik kedua orang tua, maka kebaikannya itu adalah dengan berlaku
sebaik-sebaiknya dengan keduanya dan memuliakannya serta berbuat baik
kepadanya, terutama saat mereka dalam usia lanjut.
Orang
yang keburukannya adalah memutuskan silaturahmi, serta berbuat buruk kepada
saudara, maka kebaikannya adalah berbuat baik kepada mereka serta berusaha
menjaga persaudaraan, walaupun mereka memutuskannya, dan memberi mereka
walaupun mereka belum pernah memberi.
Jika
keburukannya adalah duduk dalam tempat hiburan, main-main dan melakukan yang
haram, maka kebaikannya itu adalah duduk di tempat kebaikan, dzikr dan ilmu
yang bermanfaat.
Jika
keburukannya itu adalah bekerja di koran yang memusuhi Islam dan para da'inya,
maka kebaikannya itu adalah bekerja di koran yang melawan musuh-musuh Islam
itu, dengan menyebarkan berita yang jujur, serta pendapat yang lurus.
Jika
keburukannya adalah mengarang kitab yang menyesatkan, serta mengajak kepada
kemungkaran dalam perkataan dan perbuatan, menyebarakan pemikiran yang
menyesatkan serta mengajak kepada syahwat, maka kebaikannya itu adalah
mengarang kitab yang melawan kecenderungan itu, mengajak kepada kebaikan,
memerintahkan kepada yang ma'ruf, serta melarang dari kemunkaran.
Barang
siapa yang kebaikannya adalah menyebarkan nyanyian yang merangsang, serta
mengundang nafsu yang rendah dengan segala cara, maka kebaikannya adalah
menyebarkan kebaikan, serta mengajak kepada sifat malu dan menjaga kehormatan
diri.
Barangsiapa
keburukannya adalah menzhalimi manusia, memusuhi orang-orang lemah, serta
mengganggu kehormatan mereka dan hak-hak material atau immaterial mereka, maka
kebaikan mereka itu adalah berusaha menegakkan keadilan, berlaku jujur kepada orang
yang zhalim, membela orang-orang yang lemah, dan berusaha memperjuangkan
hak-hak mereka.
Jika
keburukannya adalah bergabung dengan kelompok penguasa yang despotis dan
mendukung kebohongan mereka, serta membantu mereka menjalankan kezaliman mereka
terhadap rakyat, maka kebaikannya adalah membantah orang-orang yang zalim itu
sedapat mungkin, serta membuka kebobrokan mereka di hadapan massa, membongkar
kelakuan buruk mereka serta korupsi yang mereka lakukan, sehingga manusia
menjauh dari mereka.
Inilah
kebaikan yang dapat menghapuskan dosa orang yang melakukan keburukan semampu ia
lakukan. Yaitu dengan melawannya, menghilangkan pengaruhnya, serta membersihkan
diri dari pengaruhnya. Yaitu dengan meniti jalan yang berlawanan dari perbuatan
buruk itu, seperti dijelaskan oleh imam Al Ghazali. Karena orang yang sakit
diobati dengan lawannya penyakit itu.
Seluruh
kezaliman yang naik ke hati dengan kemaksiatan, maka ia tidak dapat dihapuskan
kecuali dengan cahaya yang naik dengan perbuatan baik, yang berlawanan dengan
perbuatan buruk itu. Yang berlawanan adalah yang berpasangan (baik-buruk).
Demikianlah hendaknya, seluruh keburukan dihapuskan dengan kebaikan yang
sejenisnya, semampu mungkin. Cara seperti ini dalam menghapus keburukan, lebih
dipercaya dan lebih diyakini dari pada secara terus menerus menjalankan suatu
macam ibadah tertentu saja, meskipun itu juga pada gilirannya akan menghapus
dosanya.
Cara
penghapusan dosa dengan lawannya ini, diperkuat oleh syari'ah. Yaitu al Quran
mewajibkan dalam kasus pembunuhan karena kealpaan dengan membebaskan budak.
Karena perbudakan adalah semacam kematian seseorang, karena ia tidak mempunyai
kebebasan. Dengan membebaskan budak maka terdapat penghidupan maknawi di
dalamnya. Karena manusia tidak mungkin menghidupkan orang secara material dan
langsung, maka ia dapat menghidupkannya secara maknawi, yaitu dengan
membebaskannya.
Penjelasan Tentang Unsur-unsur
yang Menciptakan Hakikat Taubat (4)
Syarat-syarat Istighfar dan Etika-etikanya
Istighfar
yang diterima oleh Allah SWT harus memenuhi syarat-syarat dan etikanya; yaitu,
antara lain:
1.
Syarat yang pertama adalah: niat yang benar dan ikhlas semata ditujukan kepada
Allah SWT. Karena Allah SWT tidak menerima amal perbuatan manusia kecuali jika
amal itu dilakukan dengan ikhlas semata untuk-Nya. Allah SWT berfirman:
"Padahal
mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta'atan
kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus" [QS. Al Bayyinah: 5].
Dan
sabda Rasulullah Saw :
"Seluruh
amal perbuatan manusia ditentukan oleh niatnya. Dan orang yang beramal
mendapatkan balasan atas amalnya itu sesuai dengan apa yang diniatkannya".
Hadits muttafaq alaih.
2.
Syarat kedua adalah: agar hati dan lidah secara serempak melakukan istighfar.
Sehingga tidak boleh lidahnya berkata: aku beristighfar kepada Allah SWT,
sementara hatinya ingin terus melakukan maksiat. Dari Ibnu Abbas r.a.
diriwayatkan, ia berkata: "orang yang beristighfar kepada Allah SWT dari
suatu dosa sementara ia masih terus menajalankan dosa itu maka ia seperti orang
yang sedang mengejek Rabbnya!"
Rabi'ah
berkata: istighfar kita butuh kepada istighfar lagi! Jika istighfar kita hanya
dengan lidah saja, tidak disertai dengan hati.
3.
Di antara adab yang melengkapi istighfar itu adalah: agar ia berada dalam
keadaan suci, sehingga ia berada dalam kondisi yang paling sempurna, zhahir dan
bathin. Seperti dalam hadits Ali bin Abi Thalib, ia berkata: Abu Bakar
Ash-Shiddiq r.a. (dan apa yang diucapkan oleh Abu Bakar itu adalah benar
adanya) meriwayatkan kepadaku bahwa ia mendengar Rasulullah Saw bersabsda:
"Tidak
ada seseorang yang berbuat dosa, kemudian ia bangun dan bersuci serta
memperbaiki bersucinya, kemudian ia beristighfar kepada Allah SWT, kecuali
Allah SWT pasti mengampuninya" [Al Hafizh berkata: hadits ini diriwaytkan
oleh Ahmad dan yang empat dan Ibnu Hibban mensahihkannya. Fathul Bari: 11/ 98.
Sedangkan dalam Jami' Shagir dinisbahkan kepada Abi Daud dan Tirmizi. Sementara
Al Albani menyebutkannya dalam Dha'if al Jami' (5006)]. Kemudian Rasulullah Saw
membaca ayat :
"Dan
(juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri
sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka
dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak
meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui" [QS. Ali Imran: 135].
Dalam
hadits Abu Bakar secara marfu' dikatakan:
"Tidak
ada orang yang dianggap terus melakukan dosa jika ia langsung beristighfar dan
meminta taubat, meskipun dalam satu hari ia dapat mengulang (dosa itu) sampai
tujuh puluh kali " [Dalam Fathul Bari: Hadits dikeluarkan oleh Abu Daud
dan Tirmizi juga].
4.
Di antara adab itu adalah: agar ia ber istighfar kepada Allah SWT, dan ia
berada dalam kondisi takut dan mengharap. Karena Allah SWT menyifati diri-Nya
dengan firman-Nya:
"Yang
Mengampuni dosa dan Menerima taubat lagi keras hukuman-Nya" [QS. Ghafir: 3].
Dan
firman Allah SWT :
"Ketahuilah,
bahwa sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya dan bahwa sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang" [QS. Al
Maidah: 98].
"Sesungguhnya
Tuhanmu benar-benar mempunyai ampunan (yang luas) bagi manusia sekalipun mereka
zhalim, dan sesungguhnya Tuhanmu benar-benar sangat keras siksaan-Nya" [QS. ar-Ra'd: 6].
"Kabarkanlah
kepada hamba-hamba-Ku, bahwa sesungguhnya Aku-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang" [QS. al Hijr: 49].
Ayat-ayat
semacam ini banyak, dan seluruhnya menanamkan keseimbangan dalam hati antara
takut dan mengharap. Tidak ada yang merasa aman dari balasan Allah SWT, kecuali
mereka yang merugi. Dan tidak ada yang putus asa dari rahmat Allah SWT kecuali
orang-orang kafir.
Oleh
karena itu orang yang melakukan dosa tidak seharusnya meninggalkan istighfar,
sebanyak dan sebesar apapun dosa yagn telah ia perbuat. Karena ampunan Allah
SWT lebih besar dari dosanya itu, rahmat-Nya lebih luas, dan ampunanNya lebih
besar.
Dalam
hadits qudsi yang terkenal, yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abi Dzar dari
Nabi Saw dari Rabbnya Azza wa Jalla:
"Wahai
hamba-Ku, sesungguhnya kalian berbuat dosa pada malam dan siang hari, dan Aku
mengampuni dosa-dosa seluruhnya, maka minta ampunlah kepada-Ku niscaya Aku
ampuni kalian ".
5.
Di antara adab itu adalah: agar ia memilih waktu yang utama. Seperti saat
menjelang subuh. Seperti firman Allah SWT :
"
Dan yang memohon ampun di waktu sahur" [QS.
Ali Imran: 17].
"Dan
di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah)" [QS. adz-Dzariaat: 18].
Dan
ketika anak-anak Ya'qub berkata kepada ayah mereka: "Wahai ayah kami,
mohonkanlah ampun bagi kami terhadap dosa-dosa kami, sesungguhnya kami adalah
orang-orang yang bersalah (berdosa)". Ya'qub berkata: "Aku akan
memohonkan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang" [QS. Yusuf:
97-98].
Para
mufassir berkata: beliau menunda istighfar itu hingga waktu menjelang subuh,
karena pada saat itu, doa lebih dekat untuk dikabulkan, jauh dari ria, lebih
bersih bagi hati, dan ia adalah waktu tajalli Ilahi pada sepertiga terakhir
dari waktu malam.
6. Di
antara adab itu adalah: istighfar dalam shalat. Pada saat bersujud, sebelum
salam atau setelah salam.
Rasulullah
Saw telah mengajarkan Abu Bakar untuk mengucapkan sebelum salam: "Wahai
Allah, sesungguhnya aku telah berbuat zalim kepada diriku dengan kezaliman yang
banyak, dan tidak ada yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Engkau, maka
ampunilah daku dengan ampunan dari-Mu, dan kasihilah aku, sesungguhnya Engkau
adalah Maha Pemberi ampunan dan Maha Penyayang ".
7.
Di antara adab itu adalah: agar ia berdo'a bagi dirinya sendiri dan bagi kaum
mu'minin, sehingga ia masuk dalam kelompok mereka, semoga Allah SWT
menyayanginya dan mengampuninya dengan berkah mereka dan dengan masuk dalam
kelompok mereka.
Oleh
karena itu kita dapati para nabi tidak hanya ber istighfar kepada diri mereka.
Namun juga bagi diri mereka, bagi kedua orang tua mereka, serta bagi kaum
mu'minin dan mu'minat seperti terdapat dalam do'a Nur dan Ibrahim serta
nabi-nabi lainnya.
Di
antara do'a Nuh itu adalah:
"Ya
Tuhanku! Ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke rumahku dengan beriman
dan semua orang yang beriman laki-laki dan perempuan" [QS. Nuuh: 28].
Dan
dari do'a Ibrahim adalah:
"Ya
Tuhan kami, beri ampunlah aku dan kedua ibu bapakku dan sekalian orang -orang
mu'min pada hari terjadinya hisab (hari kiamat)" [ QS. Ibrahim: 41].
8.
Di antara adab itu adalah: agar ia berdo'a dan ber istighfar dengan redaksi
yang disebutkan dalam al Quran dan sunnah. Karena ia adalah redaksi yang
terbaik, paling besar nilainya, paling luas maknanya serta paling merasuk dalam
hati. Berbeda halnya dengan redaksi-redaksi doa dan wirid lain yang dibuat oleh
manusia, di sana tidak ada kemanusiaan susunan kalimat al Quran serta keindahan
kata-kata yang digunakan dalam hadits.
Dan
dalam ber istighfar dan berdo'a dengan al Quran dan hadits itu mendapatkan dua
balasan:
a. Balasana
doa dan istighfar.
b. Balasan
mengikuti al Quran dan sunnah.
Di
antara redaksi-redaksi doa al Quran adalah; doa yang diucapkan oleh Adam, Nuh,
Ibrahim dan nabi-nabi serta rasul-rasul yang lain. Di antaranya adalah:
"Ya
Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak
mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk
orang-orang yang merugi" [QS. al A'raaf:
23].
"Ya
Tuhan kami hanya kepada Engkaulah kami bertawakkal dan hanya kepada Engkaulah
kami bertaubat dan hanya kepada Engkaulah kami kembali, " Ya Tuhan kami,
janganlah Engkau jadikan kami (sasaran) fitnah bagi orang-orang kafir. Dan
ampunilah kami Ya Tuhan kami. Sesungguhnya Engkau, Engkaulah Yang Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana" [QS. al Mumtahanah:
4-5].
"Ya
Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami dan tindakan-tindakan kami yang
berlebih-lebihan dalam urusan kami dan tetapkanlah pendirian kami, dan
tolonglah kami terhadap kaum kafir " [QS.
Ali Imran: 147].
"Ya
Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman
lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati
kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha
Penyantun lagi Maha Penyayang" [QS. Al
Hasyr: 10].
"Ya
Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman,
(yaitu): "Berimanlah kamu kepada Tuhanmu"; maka kamipun beriman. Ya
Tuhan kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami
kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang
berbakti" [QS. Ali Imran: 193].
Dan
dalam hadits terdapat do'a dengan redaksi yang bermacam-macam. Di antaranya
adalah sayyidul istihgfar yang telah kami sebutkan sebelumnya. Di antaranya
adalah:
"Wahai
Tuhanku, ampunilah kesalahanku, kebodohanku serta tindakanku yang berlebihan
dalam urusanku".
Di
antaranya adalah:
"Ya
Allah, jauhkanlah daku dari kesalahanku sebagaimana Engkau jauhkan antara Timur
dan Barat. Ya Allah, sucikanlah aku dari kesalahanku dengan air, salju dan
embun. Ya Allah, bersihkanlah aku dari kesalahan-kesalahan seperti baju yang
putih dibersihkan dari kotoran". Diriwayatkan oleh Bukhari dari Abi
Hurairah dan diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim dari A'isyah. Dan adalah
Rasulullah Saw berdo'a dengan do'a itu setelah takbiratul ihram dalam shalat,
serta sebelum membaca surah Al Fatihah.
Di
antaranya adalah:
"Ya
Allah, ampunilah kesalahanku, luaskanlah rumahmu dan berilah keberkahan dalam
rezekiku". diriwayatkan oleh Ahmad dan Tirmizi serta ia menilainya sebagai
hadits hasan, dan Abu Ya'la serta periwayat yang lain dari Abi Musa.
Apakah Istighfar Bermanfaat Jika Dilakukan Sambil Terus Berbuat Dosa?
Di
antara pertanyaan yang timbul dalam topik ini adalah: "apakah istighfar
bermanfaat bagi orang yang melakukannya, jika ia tetap menjalankan dosa, yang
besar maupun kecil?
Para
ahli suluk berbeda pendapat dalam masalah ini: Di antara mereka ada yang
berpendapat: istighfar itu akan bermanfaat baginya secara mutlak, meskipun ia
tidak mempunyai tekad untuk bertaubat. Di antara mereka ada juga yang berkata:
istighfarnya tersebut tidak bermanfaat sama sekali, hingga ia benar-benar
bertaubat. Dan pihak yang lain memerinci ketentuan-ketentuan dan kondisi
masing-masing.
Aku
adalah termasuk dalam kelompok yang ketiga ini. Menurutku: istighfar yang hanya
diucapkan dengan lidah saja bermanfaat bagi orang yang beristighfar itu, jika
diiringi dengan kesungguhan, kekhusyu'an dalam berdo'a, memohon dengan sangat
dan merasakan kebutuhan yang amat besar akan maghfirah Allah SWT di waktu
berikutnya. Ia meminta kepada Allah SWT sebagai seorang hamba yang fakir,
meminta kepada Tuannya yang Maha Kaya, dengan permintaan makhluk yang lemah
kepada Sang Pencipta Yang Maha Perkasa, permohonan sosok yang kecil kepada
Rabbnya yang Maha Besar, Yang rahmat-Nya mencakup segala hal, dan maghfirah-Nya
menyelimuti semua orang. Ketaatan manusia tidak membuat-Nya untung, dan maksiat
mereka tidak mengurangi kekuasaan Allah SWT. Seorang hamba, jika ia beristighfar
dengan semangat dan ruh seperti itu, maka istighfarnya tidak akan sia-sia. Di
antara dalil-dalilnya adalah sebagai berikut:
Pertama: seperti telah
diungkapkan dari al Qur'an dan hadits tentang keutamaan istighfar, ia
ditampilkan dalam beragam bentuk dan secara mutlak tanpa pembatas, sehingga
mencakup orang yang masih tetap menjalankan kemaksiatan dan pelanggaran
lainnya, maka mengapa kita kemudian membatasinya dengan batasan: "sambil
tidak terus menjalankan maksiat?"
Kedua: istighfar --meskipun
hanya dengan lidah-- adalah kebaikan yang dapat menghapus keburukan, apalagi
jika disertai dengan permohonan yang sangat.
Imam
Ghazali berkata: menurutku: istighfar dengan lidah juga merupakan suatu
kebaikan. Karena gerakan lidah beristighfar lebih baik dari pada ia melakukan
ghibah atau berkata-kata yang tidak ada manfaatnya. Ia juga lebih utama dari
pada sekadar diam. Keutamaannya itu akan tampak jika dibandingkan dengan diam
itu. Namun ia akan nampak kurang nilainya jika dibandingkan dengan amal hati.
Oleh karena itu ada orang yang berkata kepada syeikhnya, Abi Utsman al
Maghribi, sebagai berikut: lidahku sibuk berdzikir dan membaca al Quran, namun
hatiku lalai! Mendengar hal itu ia berkomentar: bersyukurlah kepada Allah SWT,
karena Dia menggerakan salah satu anggota badanmu untuk melakukan kebaikan,
teruskanlah lidahmu untuk berdzikir, jangan gunakan untuk keburukan , atau
berkata yang tidak berguna! [Ihya Ulumuddin: 4.]
Ketiga: Allah SWT berjanji
--dan janji Allah SWT adalah pasti-- bahwa Dia tidak akan menyia-nyiakan amal
seorang, dan balasan bagi orang yang berbuat kebajikan. Seperti firman Allah
SWT:
"Kami
tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengerjakan amalan (nya)
dengan baik."[QS. al Kahfi: 30]
"Sesungguhnya
Allah tiada menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat kebaikan." [QS.
Huud: 115]
"Barangsiapa
yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya."
[QS. az-Zilzalah: 7]
"Sesungguhnya
Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar dzarrah, dan jika ada
kebajikan sebesar dzarrah, niscaya Allah akan melipat gandakannya dan
memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar." [QS. an-Nisa: 40]
Maka
Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman):
"Sesungguhnya
Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik
laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian
yang lain." [QS. Ali Imran: 195]
Dan
istighfar --seperti telah kami katakan-- adalah amal, dan secara inheren ia
adalah amal yang baik.
Sedangkan
hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dunya dan Al Baihaqi dalam Asy-Sya'b
dari Ibnu Abbas secara marfu': "orang yang beristighfar dari dosanya
--sementara ia masih terus melakukan dosa tersebut-- adalah seperti orang yang
mengejek Rabb-nya," adalah hadits dha'if. Dan yang rajihnya ia adalah
hadits mauaquf pada Ibnu Abbas dan bukan hadits nabi [Hafizh Ibnu Hajar
menyebutkan dalam kitab Fathul Bari hadits Ibnu Abbas dan lafazhnya adalah:
"Orang
yang bertaubat dari dosanya adalah seperti orang yang tidak berdosa, dan orang
yang meminta ampunan dari dosa sementara ia masih terus melakukan dosa itu
adalah seperti orang yang mengejek Rabb-nya." Ia berkata: yang rajih
adalah redaksi: "...wal mustaghfir (orang yang beristifghfar) ...dan
seterusnya itu adalah mauquf. Sedangkan bagian pertama dari hadits itu adalah
diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Thabarani dari hadits Ibnu Mas'ud dan sanadnya
adalah Hasan. (Fathul Bari: 13/ 471)]
Meskipun
seandainya kita terima keberadaan hadit itu, maka ia dapat dipahami sebagai
ucapan istighfar yang dilafalkan sebagai suatu kebiasaan saja, sambil
memikirkan yang lain, serta tidak memahami maknanya, dan tidak pula dengan
merajuk dan menangis.
Seperti
itu pula perkataan sebagian orang yang mengatakan: istighfar tanpa meninggalkan
diri dari dosa adalah taubat orang-orang pembohong! Dan perkataan yang lain:
aku ber istighfar kepada Allah SWT dari istighfarku! Ini dapat dipahami bahwa
istighfarnya itu semata dengan ucapan lidahnya saja, tanpa diiringi dengan
gerakan hati yang merupakan rekan dalam amal itu.
Sedangkan
perkataan Rabi'ah al Adawiah: istighfar kita butuh kepada istighfar lagi yang
banyak! Jangan disangka bahwa ia mencela gerakan lidah yang sedang berdzikir
kepada Allah SWT. Namun ia mencela hati yang lalai. Dan kelalaian hati seperti
itu butuh kepada istighfar lagi dari kelalaian itu sendiri, bukan dari gerakan
lidahnya. Dengan demikian, orang yang berdiam saja, tidak ber istighfar dengan
lidahnya, dengan demikian membutuhkan dua macam istighfar, bukan hanya satu
istighfar!
Seperti
inilah seharusnya dipahami pujian orang yang memuji dan celaan orang yang
mencela. Jika tidak maka ia berarti tidak memahami perkataan ini:
"kebaikan orang-orang biasa adalah keburukan kaum muqarrabin! Karena ini
adalah masalah yang nisbi, sehingga tidak dapat dipahami secara sederhana. Oleh
karenanya tidak selayaknya kita menganggap ringan ketaatan dan perbuatan buruk
yang amat kecil sekalipun.
Imam
Ja'far ash-Shadiq berkata: Allah SWT menyembunyikan tiga hal dari tiga hal.
1.
Menyembunyikan ridha-Nya dalam
ketaatan kepada-Nya, oleh karena itu janganlah engkau cela ketaatan itu sekecil
apapun, karena barangkali di situ terletak ridha Allah SWT.
2.
Menyembunyikan kemarahan-Nya dari
kemaksiatan terhadap-Nya, oleh karena itu janganlah engkau menganggap ringan
suatu kemaksiatan sekecil apapun, karena barangkali di situ terletak
kemarahan-Nya. Dan
3.
Dia menyembunyikan wali-Nya dari
sekalian hamba-hamba-Nya, oleh karena itu janganlah engkau menganggap rendah
seorang hamba Allah SWT , karena barangkali dia adalah wali Allah.
Sahl
bin Abdullah (at Tustary) berkata: seorang hamba dalam segala keadaan pasti
membutuhkan Tuhannya, oleh karena itu ia harus memperbaiki keadaannya, yaitu
dengan selalu mengembalikan kepada-Nya segala sesuatu yang diputuskan dan
ditentukan untuknya. Maka jika ia bermaksiat kepada Allah SWT, hendaklah ia
berkata: "wahai Rabbku tutupilah keburukanku itu". Dan jika ia telah
membebaskan diri dari maksiat, maka hendaklah ia berkata: "wahai Rabbku
ampunilah dosaku!" Dan jika ia telah melakukan taubat hendaknlah ia
berkata: "wahai Rabbku, berikanlah aku halangan dari melakukan
kemaksiatan!" Dan jika ia telah mengerjakan ketaatan hendaklah ia berkata:
"wahai Rabbku terimalah amal baik saya ini!"
Al
Ghazali berkata dalam kitabnya Ihya Ulumuddin: janganlah engkau menghina
ketaatan sekecil apapun hingga membuat engkau tidak mengerjakannya, dan
kemaksiatan sekecil apapun hingga membuat engkau tidak meninggalkannya. Seperti
wanita pemintal yang malas untuk memintal benang, karena ia hanya mampu
mengerjakan satu benang saja dalam satu jam, dan ia berkata: apa manfaatnya
satu benang itu? dan kapan akan dapat menghasilkan satu baju? Ia tidak
menyadari bahwa seluruh baju di dunia ini diciptakan dari satu-benang dengan
benang lainnya, dan seluruh dunia yang luas ini di susun dari atom-atom kecil,
maka berdo'a dengan menangis dan istighfar dengan hati adalah kebaikan yang
tidak akan sia-sia di sisi Allah SWT! [Dari Ihya Ulumuddin, Kitab Taubat,
dikutip dengan ringkas.]
Disebutkan
dalam kitab al Adzkaar dari Rabi' bin Khaitsam ia berkata: jangan engkau
katakan: aku beristighfar kepada Allah SWT dan aku bertaubat kepadaNya".
Karena itu dapat menjadi dosa jika ia tidak benar-benar menjalankannya. Namun
katakanlah: "wahai Rabbku ampunilah daku dan berilah hamba taubat".
An nawawi berkata: ini baik. Sedangkan ia tidak senang mengatakan "aku ber
istighfar kepada Allah SWT " dan ia menamakannya sebagai kebohongan, an
Nawawi tidak setuju dengan itu. Karena makna "astaghfirullah" adalah
aku memohon ampunan-Nya, dan itu bukanlah kebohongan. Ia berkata: untuk menolak
pendapat itu cukup dengan hadits Ibnu Mas'ud dengan lafazh:
"Barangsiapa
yang mengucapkan: Aku meminta ampunan kepada Allah Yang tidak ada tuhan selain
Dia, Yang Hidup kekal dan selalu mengatur (makhluk-Nya) dan aku bertaubat
kepadanya: niscaya diampunkan segenap dosa-dosanya meskipun ia pernah melarikan
diri dari medan perang". Hadits diriwayatkan oleh Abu Daud dan Tirmizi
serta disahihkan oleh Hakim. Al Hafizh ibnu Hajar berkata: ini adalah dalam
lafazh "Aku meminta ampunan kepada Allah Yang tidak ada tuhan selain Dia,
Yang Hidup kekal dan Maha mengatur (sekalian makhluk-Nya) sedangkan kata
"aku bertaubat kepadanya " inilah yang dimaksudkan oleh Rabi' bahwa
itu adalah kebohongan. Dan demkkian juga jika ia mengucapkan taubat namun ia
tidak menjalankan taubat itu".
Dalam
berdalil dengan menggunakan hadits Ibnu Mas'ud itu patut diteliti kembali, karena
dapat saja yang dimaksudkan adalah: jika ia mengatakan taubat dan mengerjakan
syarat-syarat taubat itu. Dan dapat pula Rabi' ingin menggabungkan dua lafazh,
tidak sekadar kata "astaghfirullah" sehingga seluruh perkataannya
adalah benar. Wallahu a'lam.
Al
Hafizh berkata: aku membaca dalam al Halabiat karya Taqiyyuddin as-Subki
sebagai berikut: istighfar adalah meminta ampunan, baik dengan lidah, atau
dengan hati atau juga dengan keduanya. Dengan yang pertama itu akan
mendatangkan manfaat karena itu lebih baik dari sekadar diam, dan ia dapat
dimasukkan sebagai perkataan yang baik. Yang kedua amat baik sekali, dan yang
ketiga lebih baik lagi. Namun keduanya itu tidak menghapus dosa hingga terdapat
taubat yang sebenarnya. Karena orang yang berbuat maksiat dan tidak juga
meninggalkannya itu meminta diampuni, dan itu tidak harus ada taubat dalam
dirinya. Hingga ia berkata: yang aku katakan bahwa makna istighfar adalah
berlainan dengan makna taubat, adalah jika ditinjau berdasarkan redaksional.
Namun menurut banyak ulama, lafazh "astaghfirullah" itu maknanya
adalah taubat. Jika ada orang yang seperti itu keyakinannya, maka ia berarti
menginginkan taubat. Kemudian ia berkata: dan sebagian ulama ada yang
mengatakan bahwa taubat tidak sempurna kecuali dengan istighfar, dengan dalil
firman Allah SWT:
"Dan
mohonlah ampun kepada Tuhanmu lalu bertobatlah kepada-Nya,"
sedangkan
menurut pendapat yang masyhur, hal itu tidak disyaratkan. [Fathul Bari: 13/
472]
Penjelasan Tentang Unsur-unsur
yang Menciptakan Hakikat Taubat (5)
Apakah Istighfar Bermanfaat Jika Dilakukan Sambil Terus Berbuat Dosa?
Di
antara pertanyaan yang timbul dalam topik ini adalah: "apakah istighfar
bermanfaat bagi orang yang melakukannya, jika ia tetap menjalankan dosa, yang
besar maupun kecil?
Para
ahli suluk berbeda pendapat dalam masalah ini: Di antara mereka ada yang berpendapat:
istighfar itu akan bermanfaat baginya secara mutlak, meskipun ia tidak
mempunyai tekad untuk bertaubat. Di antara mereka ada juga yang berkata:
istighfarnya tersebut tidak bermanfaat sama sekali, hingga ia benar-benar
bertaubat. Dan pihak yang lain memerinci ketentuan-ketentuan dan kondisi
masing-masing.
Aku
adalah termasuk dalam kelompok yang ketiga ini. Menurutku: istighfar yang hanya
diucapkan dengan lidah saja bermanfaat bagi orang yang beristighfar itu, jika
diiringi dengan kesungguhan, kekhusyu'an dalam berdo'a, memohon dengan sangat
dan merasakan kebutuhan yang amat besar akan maghfirah Allah SWT di waktu
berikutnya. Ia meminta kepada Allah SWT sebagai seorang hamba yang fakir,
meminta kepada Tuannya yang Maha Kaya, dengan permintaan makhluk yang lemah
kepada Sang Pencipta Yang Maha Perkasa, permohonan sosok yang kecil kepada
Rabbnya yang Maha Besar, Yang rahmat-Nya mencakup segala hal, dan maghfirah-Nya
menyelimuti semua orang. Ketaatan manusia tidak membuat-Nya untung, dan maksiat
mereka tidak mengurangi kekuasaan Allah SWT. Seorang hamba, jika ia
beristighfar dengan semangat dan ruh seperti itu, maka istighfarnya tidak akan
sia-sia. Di antara dalil-dalilnya adalah sebagai berikut:
Pertama: seperti telah
diungkapkan dari al Qur'an dan hadits tentang keutamaan istighfar, ia
ditampilkan dalam beragam bentuk dan secara mutlak tanpa pembatas, sehingga
mencakup orang yang masih tetap menjalankan kemaksiatan dan pelanggaran
lainnya, maka mengapa kita kemudian membatasinya dengan batasan: "sambil
tidak terus menjalankan maksiat?"
Kedua: istighfar --meskipun
hanya dengan lidah-- adalah kebaikan yang dapat menghapus keburukan, apalagi
jika disertai dengan permohonan yang sangat.
Imam
Ghazali berkata: menurutku: istighfar dengan lidah juga merupakan suatu
kebaikan. Karena gerakan lidah beristighfar lebih baik dari pada ia melakukan
ghibah atau berkata-kata yang tidak ada manfaatnya. Ia juga lebih utama dari
pada sekadar diam. Keutamaannya itu akan tampak jika dibandingkan dengan diam
itu. Namun ia akan nampak kurang nilainya jika dibandingkan dengan amal hati.
Oleh karena itu ada orang yang berkata kepada syeikhnya, Abi Utsman al
Maghribi, sebagai berikut: lidahku sibuk berdzikir dan membaca al Quran, namun
hatiku lalai! Mendengar hal itu ia berkomentar: bersyukurlah kepada Allah SWT,
karena Dia menggerakan salah satu anggota badanmu untuk melakukan kebaikan,
teruskanlah lidahmu untuk berdzikir, jangan gunakan untuk keburukan , atau
berkata yang tidak berguna! [Ihya Ulumuddin: 4.]
Ketiga: Allah SWT berjanji
--dan janji Allah SWT adalah pasti-- bahwa Dia tidak akan menyia-nyiakan amal
seorang, dan balasan bagi orang yang berbuat kebajikan. Seperti firman Allah
SWT:
"Kami
tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengerjakan amalan (nya)
dengan baik."[QS. al Kahfi: 30]
"Sesungguhnya
Allah tiada menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat kebaikan." [QS.
Huud: 115]
"Barangsiapa
yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat
(balasan)nya." [QS. az-Zilzalah: 7]
"Sesungguhnya
Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar dzarrah, dan jika ada
kebajikan sebesar dzarrah, niscaya Allah akan melipat gandakannya dan
memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar." [QS. an-Nisa: 40]
Maka
Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman):
"Sesungguhnya
Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik
laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian
yang lain." [QS. Ali Imran: 195]
Dan
istighfar --seperti telah kami katakan-- adalah amal, dan secara inheren ia
adalah amal yang baik.
Sedangkan
hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dunya dan Al Baihaqi dalam Asy-Sya'b
dari Ibnu Abbas secara marfu': "orang yang beristighfar dari dosanya
--sementara ia masih terus melakukan dosa tersebut-- adalah seperti orang yang
mengejek Rabb-nya," adalah hadits dha'if. Dan yang rajihnya ia adalah
hadits mauaquf pada Ibnu Abbas dan bukan hadits nabi [Hafizh Ibnu Hajar
menyebutkan dalam kitab Fathul Bari hadits Ibnu Abbas dan lafazhnya adalah:
"Orang
yang bertaubat dari dosanya adalah seperti orang yang tidak berdosa, dan orang
yang meminta ampunan dari dosa sementara ia masih terus melakukan dosa itu
adalah seperti orang yang mengejek Rabb-nya." Ia berkata: yang rajih
adalah redaksi: "...wal mustaghfir (orang yang beristifghfar) ...dan
seterusnya itu adalah mauquf. Sedangkan bagian pertama dari hadits itu adalah
diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Thabarani dari hadits Ibnu Mas'ud dan sanadnya
adalah Hasan. (Fathul Bari: 13/ 471)]
Meskipun
seandainya kita terima keberadaan hadit itu, maka ia dapat dipahami sebagai
ucapan istighfar yang dilafalkan sebagai suatu kebiasaan saja, sambil
memikirkan yang lain, serta tidak memahami maknanya, dan tidak pula dengan
merajuk dan menangis.
Seperti
itu pula perkataan sebagian orang yang mengatakan: istighfar tanpa meninggalkan
diri dari dosa adalah taubat orang-orang pembohong! Dan perkataan yang lain:
aku ber istighfar kepada Allah SWT dari istighfarku! Ini dapat dipahami bahwa
istighfarnya itu semata dengan ucapan lidahnya saja, tanpa diiringi dengan
gerakan hati yang merupakan rekan dalam amal itu.
Sedangkan
perkataan Rabi'ah al Adawiah: istighfar kita butuh kepada istighfar lagi yang
banyak! Jangan disangka bahwa ia mencela gerakan lidah yang sedang berdzikir
kepada Allah SWT. Namun ia mencela hati yang lalai. Dan kelalaian hati seperti
itu butuh kepada istighfar lagi dari kelalaian itu sendiri, bukan dari gerakan
lidahnya. Dengan demikian, orang yang berdiam saja, tidak ber istighfar dengan
lidahnya, dengan demikian membutuhkan dua macam istighfar, bukan hanya satu
istighfar!
Seperti
inilah seharusnya dipahami pujian orang yang memuji dan celaan orang yang
mencela. Jika tidak maka ia berarti tidak memahami perkataan ini:
"kebaikan orang-orang biasa adalah keburukan kaum muqarrabin! Karena ini
adalah masalah yang nisbi, sehingga tidak dapat dipahami secara sederhana. Oleh
karenanya tidak selayaknya kita menganggap ringan ketaatan dan perbuatan buruk
yang amat kecil sekalipun.
Imam
Ja'far ash-Shadiq berkata: Allah SWT menyembunyikan tiga hal dari tiga hal.
1.
Menyembunyikan ridha-Nya dalam
ketaatan kepada-Nya, oleh karena itu janganlah engkau cela ketaatan itu sekecil
apapun, karena barangkali di situ terletak ridha Allah SWT.
2.
Menyembunyikan kemarahan-Nya dari
kemaksiatan terhadap-Nya, oleh karena itu janganlah engkau menganggap ringan
suatu kemaksiatan sekecil apapun, karena barangkali di situ terletak
kemarahan-Nya. Dan
3.
Dia menyembunyikan wali-Nya dari
sekalian hamba-hamba-Nya, oleh karena itu janganlah engkau menganggap rendah
seorang hamba Allah SWT , karena barangkali dia adalah wali Allah.
Sahl
bin Abdullah (at Tustary) berkata: seorang hamba dalam segala keadaan pasti
membutuhkan Tuhannya, oleh karena itu ia harus memperbaiki keadaannya, yaitu
dengan selalu mengembalikan kepada-Nya segala sesuatu yang diputuskan dan
ditentukan untuknya. Maka jika ia bermaksiat kepada Allah SWT, hendaklah ia
berkata: "wahai Rabbku tutupilah keburukanku itu". Dan jika ia telah
membebaskan diri dari maksiat, maka hendaklah ia berkata: "wahai Rabbku
ampunilah dosaku!" Dan jika ia telah melakukan taubat hendaknlah ia
berkata: "wahai Rabbku, berikanlah aku halangan dari melakukan
kemaksiatan!" Dan jika ia telah mengerjakan ketaatan hendaklah ia berkata:
"wahai Rabbku terimalah amal baik saya ini!"
Al
Ghazali berkata dalam kitabnya Ihya Ulumuddin: janganlah engkau menghina
ketaatan sekecil apapun hingga membuat engkau tidak mengerjakannya, dan
kemaksiatan sekecil apapun hingga membuat engkau tidak meninggalkannya. Seperti
wanita pemintal yang malas untuk memintal benang, karena ia hanya mampu
mengerjakan satu benang saja dalam satu jam, dan ia berkata: apa manfaatnya
satu benang itu? dan kapan akan dapat menghasilkan satu baju? Ia tidak
menyadari bahwa seluruh baju di dunia ini diciptakan dari satu-benang dengan
benang lainnya, dan seluruh dunia yang luas ini di susun dari atom-atom kecil,
maka berdo'a dengan menangis dan istighfar dengan hati adalah kebaikan yang
tidak akan sia-sia di sisi Allah SWT! [Dari Ihya Ulumuddin, Kitab Taubat,
dikutip dengan ringkas.]
Disebutkan
dalam kitab al Adzkaar dari Rabi' bin Khaitsam ia berkata: jangan engkau
katakan: aku beristighfar kepada Allah SWT dan aku bertaubat kepadaNya".
Karena itu dapat menjadi dosa jika ia tidak benar-benar menjalankannya. Namun
katakanlah: "wahai Rabbku ampunilah daku dan berilah hamba taubat".
An nawawi berkata: ini baik. Sedangkan ia tidak senang mengatakan "aku ber
istighfar kepada Allah SWT " dan ia menamakannya sebagai kebohongan, an
Nawawi tidak setuju dengan itu. Karena makna "astaghfirullah" adalah
aku memohon ampunan-Nya, dan itu bukanlah kebohongan. Ia berkata: untuk menolak
pendapat itu cukup dengan hadits Ibnu Mas'ud dengan lafazh:
"Barangsiapa
yang mengucapkan: Aku meminta ampunan kepada Allah Yang tidak ada tuhan selain
Dia, Yang Hidup kekal dan selalu mengatur (makhluk-Nya) dan aku bertaubat
kepadanya: niscaya diampunkan segenap dosa-dosanya meskipun ia pernah melarikan
diri dari medan perang". Hadits diriwayatkan oleh Abu Daud dan Tirmizi
serta disahihkan oleh Hakim. Al Hafizh ibnu Hajar berkata: ini adalah dalam
lafazh "Aku meminta ampunan kepada Allah Yang tidak ada tuhan selain Dia,
Yang Hidup kekal dan Maha mengatur (sekalian makhluk-Nya) sedangkan kata
"aku bertaubat kepadanya " inilah yang dimaksudkan oleh Rabi' bahwa
itu adalah kebohongan. Dan demkkian juga jika ia mengucapkan taubat namun ia
tidak menjalankan taubat itu".
Dalam
berdalil dengan menggunakan hadits Ibnu Mas'ud itu patut diteliti kembali,
karena dapat saja yang dimaksudkan adalah: jika ia mengatakan taubat dan
mengerjakan syarat-syarat taubat itu. Dan dapat pula Rabi' ingin menggabungkan
dua lafazh, tidak sekadar kata "astaghfirullah" sehingga seluruh
perkataannya adalah benar. Wallahu a'lam.
Al
Hafizh berkata: aku membaca dalam al Halabiat karya Taqiyyuddin as-Subki
sebagai berikut: istighfar adalah meminta ampunan, baik dengan lidah, atau
dengan hati atau juga dengan keduanya. Dengan yang pertama itu akan
mendatangkan manfaat karena itu lebih baik dari sekadar diam, dan ia dapat dimasukkan
sebagai perkataan yang baik. Yang kedua amat baik sekali, dan yang ketiga lebih
baik lagi. Namun keduanya itu tidak menghapus dosa hingga terdapat taubat yang
sebenarnya. Karena orang yang berbuat maksiat dan tidak juga meninggalkannya
itu meminta diampuni, dan itu tidak harus ada taubat dalam dirinya. Hingga ia
berkata: yang aku katakan bahwa makna istighfar adalah berlainan dengan makna
taubat, adalah jika ditinjau berdasarkan redaksional. Namun menurut banyak
ulama, lafazh "astaghfirullah" itu maknanya adalah taubat. Jika ada
orang yang seperti itu keyakinannya, maka ia berarti menginginkan taubat.
Kemudian ia berkata: dan sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa taubat tidak
sempurna kecuali dengan istighfar, dengan dalil firman Allah SWT:
"Dan
mohonlah ampun kepada Tuhanmu lalu bertobatlah kepada-Nya,"
sedangkan
menurut pendapat yang masyhur, hal itu tidak disyaratkan. [Fathul Bari: 13/
472]
Penyempurnaan Taubat dan Kontinuitasnya
Imam
al Ghazali berkata:
Telah
kami katakan sebelumnya bahwa taubat adalah suatu penyesalan yang membawa
kepada tekad dan keinginan kuat untuk tidak melakukan dosa lagi. Dan penyesalan
itu dihasilkan oleh ilmu atau pengetahuan bahwa kemaksiatan yang ia lakukan itu
menjadi penghalang antara dia dengan yang dicintainya. Dan seluruh pengetahuan,
penyesalan dan tekad itu harus terus dipertahankan dan dengan sempurna pula.
Tentang kesempurnaan dan kontinuitasnya itu ada tanda-tandanya. Oleh karena itu
harus dijelaskan.
Sedangkan
ilmu pengatahuan itu, didapatkan dengan memperhatikan sebab taubat yang akan
kami jelaskan nanti.
Penyesalan
adalah sesuatu yang menyakitkan hati ketika menyadari kehilangan yang ia
senangi. Tanda-tandanya adalah terus merasa menyesal dan sedih, air mata
berlinang dan terus menangis dan merenung. Jika suatu ketika ia mendengar vonis
yang dijatuhkan oleh pengadilan kepada anaknya atau salah seorang yang ia
cintai, niscaya ia akan merasakan kepedihan dan tangis yang mendalam. Kemudian,
siapa lagi yang lebih ia cintai selain dirinya sendiri? Dan hukuman apa lagi
yang lebih berat dari neraka? Tanda apa lagi yang lebih menunjukkan akan
turunnya hukuman itu selain kemaksiatan yang ia lakukan? Serta siapa lagi yang
lebih benar dari Allah SWT dan Rasul-Nya dalam memberikan berita? Jika seorang
dokter memberitahukannya: bahwa penyakit anaknya adalah penyakit yang tidak
dapat disembuhkan, dan ia akan mati karena sakitnya itu, tentunya ia akan
segera merasakan kesedihan yang sangat. Walaupun anaknya itu tidak ia cintai
lebih dari dirinya sendiri. Dan tidak ada dokter yang lebih tahu dan ahli dari
Allah SWT dan Rasul-Nya. Serta kematianpun tidak lebih pedih dari neraka. Juga
sakit itu tidak lebih valid menunjukkan akan kematian daripada kemaksiatan yang
menunjukkan akan kemurkaan Allah SWT, dan yang akan menyeretnya ke neraka.
Penyesalan itu, selama dirasakan lebih keras, maka dosanya itu lebih mempunyai
harapan untuk diampuni. Tanda kesungguhan penyesalan itu adalah: hati yang
menjadi peka, serta air mata yang deras mengalir. Dalam atsar disebutkan:
"Bertemanlah
dengan orang-orang yang suka bertaubat, karena mereka mempunyai hati yang
paling halus".
Dan
di antara tanda-tandanya adalah: kepedihan dosa itu menempati perasaan
kenikmatan melaksanakan dosa dalam hati. Sehingga kecenderungan untuk
bermaksiat itu akan menjadi kebencian terhadapnya, serta keinginan itu menjadi
penghindaran. Dalam Israiliat dikatakan: bahwa Allah SWT berfirman kepada
sebagian nabi-Nya. Ia meminta kepada Allah SWT untuk mengabulkan taubat seorang
hamba, setelah ia selama beberapa tahun beribadah dengan khusyu', namun
taubatnya tak kunjung diterima. Dan Allah SWT berfirman: "demi kemuliaan
dan keagungan-Ku, meskipun seluruh penghuni langit dan bumi meminta agar Aku
terima taubatnya, niscaya tidak akan Aku penuhi, selama perasaan kenikmatan melakukan
dosa dalam hatinya masih bersemayam." Sedangkan keinginan yang timbul
darinya itu, adalah keinginan untuk menebus apa yang telah ia langgar. Dan ia
mempunyai hubungan dengan keadaan saat ini, yaitu ia harus meninggalkan
seluruhnya apa yang dilarang yang masih ia lakukan, serta melakukan seluruh
kewajiban yang menjadi kewajibannya, secepatnya. Ia juga mempunyai kaitan
dengan masa lalu, yaitu menebus apa yang telah ia langgar. Sedangkan bagi masa
depannya, ia harus dalam ketaatan, serta selalu meninggalkan kemaksiatan hingga
akhir hayatnya.
***
Menyelesaikan Hak-hak Allah SWT.
Syarat
keabsahan taubat yang berkaitan dengan masa lalu adalah: agar ia melayangkan
padangannya kembali ke masa lalunya, pada hari pertama ia mencapai usia baligh,
kemudian ia meneliti masa-masa lalu dari usianya itu tahun pertahun, bulan
perbulan, hari perhari dan setiap tarikan nafas yang telah ia lakukan. Kemudain
ia melihat ketaatan yang menjadi kewajibannya: apa yang tidak ia kerjakan?
Kemudian kepada kemaksiatan: apa yang telah ia lakukan dari kemaksiatan itu?
Jika
ia pernah meninggalkan shalat atau tidak melengkapi suatu syarat keabsahan
shalat itu, hendaklah ia mengqadha shalatnya itu. Dan jika ia ragu bilangan
shalat yang telah ia tinggalkan, maka ia dapat menghitung dari masa balighnya,
kemudian menghitung yang yang telah ia tunaikan, dan mengqadha sisa shalat yang
pernah ia tinggalkan. Dalam hal ini hendaknya ia mengambil prasangka kuatnya.
Dan itu dapat dicapai dengan betul-betul meneliti dengan serius.
Sedangkan
puasa, jika ia telah meninggalkan puasa itu dalam perjalanan atau saat ia
sakit. Atau jika perempuan, ia membatalkan puasanya karena mengalami haidh
(atau nifas) dan belum ia tunaikan, maka hendaknya ia menghitung jumlah yang
telah ia tinggalkan itu dengan betul-betul, kemudian mengqadhanya. Tentang
zakat, hendaknya ia menghitung seluruh hartanya dan bilangan tahun dia mulai
memiliki harta itu -- tidak dari masa balighnya, karena zakat itu telah wajib
semenjak dimilikinya harta itu, meskipun orang itu adalah seorang bayi [Ini
adalah pendapat jumhur imam-imam dan ini pula yang aku rajihkan dalam kitabku:
Fiqhu Zakat.] -- kemudian ia menunaikan apa yang ia yakini sebagai
kewajibannya.
Sedangkan
masalah hajji, jika ia pernah memiliki kemampuan untuk menunaikan hajji itu
dalam beberapa tahun yang lalu, namun saat itu ia tidak mengerjakannya, sedangkan
saat ini ia tidak memiliki harta yang cukup, maka ia tetap harus
mengerjakannya. Jika ia tidak mampu karena hartanya memang sudah habis, maka
harus mengusahakannya dengan usaha yang halal sekadar biaya hajji itu. Jika ia
tidak memiliki pekerjaan, juga harta, maka ia hendaknya meminta kepada manusia
agar memberikan jatah dari zakat atau shadaqah sehingga ia dapat menunaikan
hajji. Dan jika ia mati sebelum melaksanakan hajji maka ia mati dalam keadaan
maksiat. Karena ketidak mampuan yang datang setelah adanya kemampuan untuk
hajji itu, tidak menghapus kewajiban hajji baginya. Inilah cara ia meneliti
kewajiban yang menjadi tugasnya serta bagaimana menebusnya.
Tentang
kemaksiatan, ia harus meneliti dari awal balighnya: kemaksiatan apa yang
dilakukan oleh pendengarannya, matanya, lidahnya, perutnya, tangannya, kakinya,
kemaluannya, dan seluruh anggota badannya. Kemudian ia teliti seluruh jam dan
waktu-waktu yang telah ia lewati, kemudian ia menguraikan secara terperinci
kemaksiatan yang pernah dilakukannya. Baik yang kecil maupun yang besar.
Kemudian
di antara kemaksiatan yang dia lakukan itu, ia menelitinya kembali; jika
kemaksiatan yang ia lakukan itu adalah antara dia dan Allah SWT saja serta
tidak berkaitan dengan kezaliman kepada manusia, seperti melihat wanita bukan
mahram, duduk di masjid dalam keadaan junub, menyentuh mushaf tidak dengan
wudhu, beri'tiqad dengan i'tiqad bid'ah, meminum khamar, mendengarkan perkataan
yang buruk dan lainnya yang tidak berkaitan dengan kezhaliman kepada manusia;
Taubat
untuk kemaksiatan ini adalah dengan menyesal dan merasa rugi atas perbuatannya
itu, dan dengan mengukur kadar kebesaran dan masa yang telah ia lakukan,
kemudian ia melakukan bagi setiap kemaksiatan itu suatu kebaikan yang setarap
dengannya. Dan ia melakukan kebaikan itu sesuai dengan jumlah kemaksiatan yang
telah ia lakukan. Berdasarkan sabda Rasulullah Saw :
"Bertaqwalah
kepada Allah SWT di manapun engkau berada, dan ikutilah perbuatan buruk (dosa)
dengan perbuatan yang baik niscaya ia akan menghapusnya" [Hadits
diriwaytkan oleh Tirmizi dari Abi Dzar dan ia mensahihkannya dan sebelumnya
hadits ini telah disebut.]
Juga
firman Allah SWT :
"Sesungguhnya
perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa)perbuatan-perbuatan yang
buruk" [QS. Huud: 114.].
Dosa
mendengar sesuatu yang haram, dapat dihapuskan dengan mendengarkan al Qur'an
dan majlis dzikir. Dosa duduk di mesjid dalam keadaan junub dihapuskan dengan
beri'tikaf di dalamnya sambil beribadah. Dosa menyentuh mushaf dengn tanpa
wudhu ditebus dengan memuliakan mushaf dan banyak membacanya. Juga dengan
menulis mushaf dan memberikan wakaf mushaf. Dosa meminum khamar ditebus dengan
bersadaqah dengan minuman yang halal yang lebih baik dan lebih ia sukai.
Menyebutkan
seluruh kemaksiatan adalah tidak mungkin di sini. Namun yang dimaksud adalah
mengerjakan kebaikan yang sebaliknya dengan dosa itu. Karena suatu sakit
diobati dengan lawannya. Dan suatu kegelapan yang bercokol dalam hati karena
kemaksiatan yang ia kerjakan tidak dapat dihapus kecuali oleh cahaya yang naik
ke hati itu dengan kebaikan yang sebaliknya. Dan yang sebaliknya itu adalah
lawan yang sejajar keburukan itu. Oleh karena itu, setiap keburukan harus
dihapuskan dengan kebaikan yang sejenisnya, namun yang sebaliknya.
Karena
sesuatu yang putih dihilangkan dengan warna hitam, bukan dengan dingin atau
panas. Cara seperti ini, jika dilaksanakan dengan tekun untuk menghapus dosa,
maka akan mempunyai kesempatan besar untuk berhasil. Dibandingkan hanya
menekuni satu macam bentuk ibadah tertentu, meskipun itu juga dapat turut
menghapus dosamya. Ini adalah hukum antara dia dengan Allah SWT. Sebagai dalil
bahwa sesuatu dihapuskan dengan lawannya adalah: cinta dunia adalah pangkal
seluruh kesalahan. Dan pengaruh cinta dunia dalam hati adalah: menyenangi dunia
itu serta merindukannya. Maka tidak aneh jika suatu kesulitan yang membebani
seorang muslim sehingga hatinya membenci dunia, menjadi kaffarat (penghapus)
cinta dunia itu. Karena dengan kesulitan dan kesusahan itu hatinya akan menjauh
dari dunia.
Kezhaliman Kepada Manusia
Sedangkan
kezhaliman kepada manusia, di dalamnya juga terdapat kemaksiatan dan
pelanggaran terhadap hak Allah SWT. Karena Allah SWT juga melarang melakukan
kezhaliman kepada manusia. Yang berkaitan dengan hak Allah SWT dapat dihapuskan
dengan penyesalan, merasakan kerugian, serta tidak akan melakukan perbuatan
semacama itu lagi nantinya. Kemudian ia mengerjakan kebaikan yang menjadi lawan
keburukan itu. Tindakan aniaya yang ia lakukan terhadap manusia dihapus dengan
berbuatan baik kepada mereka. Dan tindakan mengambil harta mereka dihapuskan
dengan bersadaqah dengan hartanya yang halal. Ghibah dan celaan yang ia
lontarkan atas mereka diganti dengan memuji mereka. Serta menampilkan kebaikan
mereka dan orang-orang semacamnya. Membunuh manusia ditebus dengan membebaskan
budak, karena itu adalah suatu bentuk penghidupan. Karena hamba yang menjadi
budak adalah: ia hilang bagi dirinya sendiri dan ada bagi tuannya. Pembebasan
budak adalah suatu pengadaan yang dapat dilakukan oleh manusia, dan ia tidak
dapat melakukan yang lebih dari itu. Pelenyapan ditebus dengan pengadaan yang
telah ditentukan.
Dari
ini diketahui, cara penghapusan dosa dengan melakukan kebalikannya itu,
mempunyai landasan syari'atnya. Yaitu syari'at memerintahkan menghapus dosa
membunuh dengan membebaskan budak. Kemudian jika ia telah melakukan itu semua,
tetap tidak mencukupi untuk menebus dosanya jika ia belum mengeluarkan hak
orang lain yang ada padanya akibat kezaliman yang ia lakukan. Kezaliman
terhadap orang lain itu dapat berupa jiwa, harta, kehormatan diri, dan hati,
maksudnya tindakan aniaya.
Sedangkan
jiwa, jika ia melakukan pembunuhan dengan tidak sengaja, maka taubatnya itu
adalah dengan memberikan diyat [Dosa ini juga mempunyai cara penghapusan yang
lain, yaitu membebaskan hamba sahaya yang mu'min, dan jika ia tidak menemukan
hamba itu maka ia dapat pula melakukan puasa sebanyak dua bulan
berturut-turut.], dan menyampaikan diyat itu kepada orang yang berhak. Diyat
itu dikeluarkan darinya atau dari keluarganya. Dan ia masih belum bebas selama
diyat itu belum sampai kepada yang berhak. Namun jika pembunuhan itu dilakukan
dengan sengaja dan mengharuskan ia diqishash maka penebusan itu adalah dengan
qisas. Jika ia tidak diketahui, maka ia harus mengakuinya kepada keluarganya, dan
meminta agar mereka menghukumnya. Jika mereka mau maka mereka memaafkannya, dan
jika mereka mau dapat pula mereka membunuhnya. Dan tanggungannya itu tidak
jatuh kecuali dengan cara itu, dan ia tidak boleh menyembunyikan diri.
Tidak
demikian halnya jika ia berzina, atau minum minuman keras, mencuri, merampok,
atau melakukan tindakan yang mewajibkannya menanggung had Allah SWT. Dalam hal
seperti ini, ketika ia ingin taubat, ia tidak harus membuka rahasia pribadinya
itu, kemudian meminta kepada pihak yang berwenang untuk menunaikan hak Allah
SWT. Namun sebaliknya, ia harus menutupi dirinya itu, dan melakukan hukum Allah
atas dirinya sendiri dengan berbagai macam mujahadah dan penyiksaan diri.
Karena ampunan dari pelanggaran terhadap hak-hak Allah SWT amat dekat dengan
orang-orang yang menyesal dan bertaubat.
Namun
jika perbuatannya itu kemudian ia laporkan kepada pihak yang berwenang, dan ia
kemudian dikenakan had sebagai hukumannya, maka taubatnya menjadi sah dan
diterima oleh Allah SWT. Dengan dalil dari hadits sahih bahwa Ma'iz bin Malik
datang kepada Rasulullah Saw dan berkata: wahai Rasulullah Saw, aku telah
berlaku zhalim terhadap diriku dan aku telah berzina, saat ini aku ingin agar
baginda membersihkan saya! Kemudian Rasulullah Saw menyuruhnya pulang. Pada
keesokan harinya ia kembali berkata: wahai Rasulullah Saw, aku telah berzina!
Kemudian Rasulullah Saw kembali menyuruhnya pulang. Dan pada kesempatan yang
ketiga Rasulullah Saw memerintahkan agar menggali sebuah lobang dan merajamnya.
Saat itu manusia mempunyai dua pendapat: satu kelompok berpendapat: ia telah
binasa, dan kesalahannya itu menghancurkannya! Sementara pihak yang lain
berkata: tidak ada taubat yang lebih lurus dari taubatnya. Kemudian Rasulullah
Saw bersabda:
"Sesungguhnya
ia telah bertaubat dengan taubat yang jika dibagi kepada seluruh umat niscaya
akan mencukupinya " [Hadits dikeluarkan oleh Muslim dari hadits Buraidah
bin Khashib]
Kemudian
tentang qishash dan had qadzaf (menuduh zina orang baik-baik), harus diteliti
orang yang berhak atas had itu.
Dan
jika yang ia lakukan berkaitan dengan harta, seperti melakukan ghashab, khianat
atau menipu dalam berjual beli dengan bermacam cara pengelabuan, seperti
beriklan dengan tidak benar, menutupi kekurangan barang yang ia jual,
mengurangi bayaran terhadap orang yang ia sewa atau tidak memberikan uang
lelahnya sama sekali... seluruh perkara itu harus ia teliti kembali, tidak dari
masa balighnya, tapi dari awal keberadaannya di muka bumi. Maka jika ada suatu
kewajiban yang terdapat dalam harta seorang anak kecil, maka saat baligh
kewajiban itu harus ia tunaikan, jika orang yang menjadi walinya tidak
melaksanakannya.
Jika
ia tidak menunaikannya maka ia menjadi orang yang zalim dan terus harus
menunaikannya. Karena dalam masalah harta, hak orang dewasa dengan anak-anak
adalah sama. Maka ia harus menghitung hingga harta sekecil biji beras
sekalipun, dari semenjak awal kehidupannya hingga hari taubatnya. Sebelum ia
ditanyakan di hari kiamat nanti. Hendaklah ia berdialog secara terbuka dengan
dirinya sendiri sebelum ia diteliti nanti. Siapa yang tidak memperhitungkan
dirinya di dunia, maka perhitungannya itu akan dijalankan di akhirat.
Jika
ia telah mencapai suatu pendapat yang kuat, disertai semacam ijtihad sedapat
mungkin, maka hendaklah ia menulisnya, dan menulis orang-orang yang mempunyai
hak atasnya satu-persatu. Kemudian ia mencari mereka ke seluruh penjuru dunia,
dan meminta maaf serta meminta dihalalkan oleh mereka, atau ia menunaikan
hak-hak mereka. Taubat seperti ini sulit untuk dilakukan oleh orang yang biasa
berlaku zhalim, juga bagi para pedagang, karena mereka tidak dapat meminta maaf
kepada seluruh orang yang berinteraksi dengan mereka, juga kepada para ahli
warisnya. Namun masing-masing mereka dapat melakukan sejauh apa yang mereka
dapat kerjakan. Dan jika mereka tidak dapat melakukannya maka tidak ada jalan
lagi baginya, kecuali hanya dengan memperbanyak kebaikan, hingga pada hari
kiamat nanti kebaikan itu dapat diambil oleh orang-orang yang ia zalimi. Dan
hendaknya kebaikannya itu sebanyak kezaliman yang telah ia lakukan. Karena jika
kebaikan itu tidak mencukupi untuk membayar kezaliman yang telah ia lakukan,
maka ia akan dibebani dengan dosa orang-orang yang ia zalimi itu, maka ia pun
binasa karena keburukan orang lain itu!!
Inilah
cara seluruh orang yang melakukan taubat dalam mengembalikan kezaliman yang
mereka kerjakan. Dan itu akan menghabiskan seluruh usia mereka untuk melakukan
kebaikan, jika usianya memang panjang, sesuai dengan panjangnya masa dan
luasnya kezaliman mereka. Padahal ia tidak tahu kapan ia mati? Dan barangkali
ajalnya sudah dekat? Usaha keras dia untuk melakukan kebaikan itu amat
dituntut, karena waktu yang ia miliki amat sempit, dibandingkan waktu saat ia
melakukan keburukan. Ini adalah hukum kezaliman yang masih berada dalam
tanggungannya.
Sedangkan
harta yang saat ini ada di tangannya, hendaklah ia kembalikan kepada
pemiliknya, jika ia mengetahui siapa pemiliknya. Dan jika ia tidak mengetahuui
siapa pemiliknya, maka hendaklah ia mensedekahkan harta itu. Jika yang halal
bercampur dengan yang haram, maka hendaklah ia mengetahui kadar harta yang
haram semampu dia. Kemudian mensedekahkan jumlah itu seperti telah dijelaskan
dalam buku al halal wa al haram.
Sedangkan
kesalahan menyakiti hati orang adalah dengan meminta maat kepada orang yang ia
sakiti atau ia bicarakan keburukannya (ghibah). Hendaklah ia meminta maaf
kepada semua orang yang ia telah sakiti dengan lidahnya, atau ia sakiti hatinya
dengan suatu perbuatannya, secara satu persatu. Sedangkan orang yang telah mati
atau tidak ia temukan, maka ia hanya dapat menutup kesalahannya kepada mereka
itu dengan memperbanyak kebaikan, dan nnantinya kebaikan itu akan diambil
sebagai ganti tindakan aniayanya oleh orang yang ia aniaya tadi, pada hari
kiamat. Sedangkan orang yang dapat ia temukan, kemudian orang itu memaafkannya
dengan ridha, maka ia telah mendapatkan penghapus kesalahannya. Dan ia harus
memberitahukan kesalahan yang telah ia lakukan kepadanya. Karena meminta maaf
dari kesalahan yang tidak jelas adalah tidak cukup. Karena kalau ia tahu
tindakan buruk dan aniaya yang ia lakukan kepadanya, barangkali orang itu tidak
akan memaafkannya. Dan ia akan menyimpan itu pada hari kiamat, hingga nanti ia
mengambil kebaikan orang yang berbuat jahat kepadanya itu atau ia nanti membebani
kesalahannya.
Sedangkan
kesalahan kepada orang lain yang jika ia beritahukan akan membuat orang lain
itu teraniaya, seperti ia telah berzina dengan budaknya, atau keluarganya, atau
ia menyebutkan salah satu aibnya yang tersembunyi, yang akan membuatnya amat
marah, maka pintu untuk maaf kepadanya baginya telah tertutup. Namun ia tetap
harus mendapatkan maafnya, dan kezaliman yang ia lakukan itu ia tebus dengan
amal kebaikan, seperti kezaliman terhadap orang yang telah mati atau tidak ada.
Sedangkan
jika ia menyebutnya dan mengakuinya, itu akan menjadi keburukan baru yang harus
ia mintakan maaf lagi. Meskipun ia telah menyebutkan kesalahannya dan ia
mengakuinya kepada orang yang telah menjadi korbannya, kemudian orang itu tidak
memaafkannya maka ia tetap menanggung kesalahan itu. Karena itu adalah haknya,
dan ia harus siap menghadapinya. Dan berusaha untuk menjalankan kepentingan dan
tujuannya. Serta menunjukkan cinta dan sayang kepadanya, sehingga hatinya
senang. Karena manusia adalah hamba dari kebaikan. Orang yang lari dari
keburukan akan mendekat karena kebaikan. Dan jika hatinya telah senang karena
ia telah berusaha terus berbuat baik kepadanya, maka dirinya dapat
memaafkannya. Jika ia terus tidak memaafkan, maka usaha berbaik-baik dengannya
itu akan menjadi bagian dari kebaikan yang mungkin dapat menebus kesalahannya
pada hari kiamat nanti. Dan usaha untuk berbuat baik dengannya itu hendaklah
sama dengan kadar usaha yang telah ia lakukan untuk membuatnya teraniaya.
Sehingga keduanya ditimbang, dan keburukannya masih lebih banyak, maka Allah
SWT akan mengambil kebaikannya itu sebagai ganti keburukan pada hari kiamat
nanti. Seperti orang yang telah mencuri harta orang lain, kemudian ia ingin
mengganti dengna jumlah yang sama, namun orang yang ia curi tidak mau menerima
dan tidak pula memaafkannya, maka hakim memutuskan baginya untuk menangkap
orang yang mencuri itu. Baik ia mau atau tidak. Begitu pula hukum pada hari
kiamat nanti oleh Allah Yang Mengadili dan Yang Maha Adil.
Sedangkan
tekad yang berkaitan dengan masa depan, adalah ia berjanji kepada Allah SWT
dengan janji yang kuat, serta bersumpah dengan setinggi-tinggi sumpah, bahwa ia
tidak akan kembali menjalankan dosa itu atau sejenisnya. Seperti orang yang
tahu saat ia sakit bahwa apel akan membuat sakitnya makin parah, maka ia
bertekad untuk tidak memakan apel itu selama ia sakit. Dan tekad itu ia
pancangkan saat itu juga, meskipun ia tahu bahwa ia dapat dikalahkan oleh
syahwatnya untuk memakannya. Namun orang tidak mungkin bertaubat jika ia belum sepenuhnya
bertekad saat itu juga [Ihya Ulumuddin: juz 4 hal. 34-38, dengan sedikit
peringkasan dalam pengutipan]
Penjelasan
al Ghazali tentang perkara yang berkaitan dengan hak-hak hamba, secara global
dapat diterima bersama. Namun Ibnu Qayyim mempunyai penjelasan terperinci
tentang beberapa hal, seperti akan kami sebutkan nanti.
Sedangkan
yang berkaitan dengan hak-hak Allah SWT, ada pendapat lain berkaitan dengan
shalat, dan qadhanya. Menurut pendapat madzhab yang empat: harus diqadha shalat
yang telah ia tinggalkan itu, meskipun telah lewat puluhan tahun, ia
mengqadhanya sebanyak yang telah ia tinggalkan sepanjang waktu itu.
Pendapat
kedua mengatakan: shalat yang dapat diqadha adalah shalat yang ia tinggalkan
karena tidur atau terlupa saja, seperti disebutkan dalam hadits sahih.
Sedangkan shalat yang sengaja ia tinggalkan, maka ia tidak mempunyai kesempatan
lagi untuk mengqadhanya. Ia hanya dapat menebusnya dengan memperbanyak shalat
sunnah, menjalankan shalat waktu dengan baik sesuai dengan yang disenangi Allah
SWT, dalam ruku', sujud dan khusyu'.
Pendapat
ini melihat orang yang baru mulai shalat setelah lama tidak mengerjakannya,
seperti orang yang baru masuk Islam. Ia memulai lembaran barunya dengan Allah
SWT, dan mengejar untuk melakukan perbuatan baik, serta dengan segera mencapai
ampunan Rabbnya dan surga yang seluas langit dan bumi.
Tentang
masalah ini terdapat banyak pendapat. Dapat dilihat pada juz 1 dari kitab
"madarij Salikin" karya Ibnu Qayyim. Ibnu Qayyim dan syeikhnya Ibnu
Taymiah menguatkan pendapat yang mengatakan tidak dapat diqadha. Dan pendapat
itu pula yang aku condong untuk memilihnya, bagi orang yang telah telah
menghabiskan usianya yang panjang namun ia tidak pernah melakukan shalat.
Kemudian
mari kita teliti sejenak tentang hak-hak manusia.
*
* *
Taubat dari Pelanggaran Hak-hak ManusiaManusia
Karena
beratnya hak-hak manusia, dan biasanya ia terjadi diiringi pertengkaran dan
permusuhan, maka taubat dari dosa ini dilakukan dengan dua cara: pertama ia
mengembalikan hak itu kepada orangnya, jika orang itu masih haidup, atau kepada
pewarisnya, jika ia telah mati. Cara kedua adalah dengan meminta dihalalkan
olehnya, setelah ia memberitahukannya, jika itu adalah hak harta, aniaya atas
tubuhnya atau tubuh orang yang ia warisi. Seperti disabdakan oleh Rasulullah
Saw:
"Barangsiapa
yang telah melakukan kezaliman kepada saudaranya, baik harta maupun harga diri,
maka pada hari ini hendaklah ia meminta dibebaskan, sebelum datang hari tidak
berguna padanya dinar dan dirham, kecuali amal kebaikan dengan tanggungan dosa
keburukan. (Hadits diriwayatkan oleh Bukhari)
Taubat Orang yang Tidak Dapat Mengembalikan Hak-hak Harta
Orang
yang memegang hak harta orang lain, ia harus mengembalikan harta itu kepada
mereka, atau kepada ahli warisnya. Jika ia tidak memiliki harta yang cukup
untuk itu, hendaklah ia berusaha untuk mencari gantinya, sepanjang hidupnya,
sesuai kemampuannya. Tiap kali ia mendapatkan suatu harta, hendaklah ia segera
membayarkan sebagian dari kewajibannya itu. Setiap orang sesuai dengan haknya.
Barangsiapa yang menanggung hutang harta, kemudian ia bertaubat dan menyesal
dari perbuatannya itu, maka ia harus mengembalikannya kepada para pemiliknya,
atau kepada ahli warisnya.
Kemudian,
jika ia tidak mengetahui mereka, atau mereka telah wafat, atau karena masalah
lain, maka taubat dalam kasus seperti ini berbeda aturannya:
Satu
kelompok ulama berpendapat: tidak ada taubat baginya, kecuali dengan
mengembalikan kezaliman ini kepada para pemiliknya. Jika ia tidak dapat
melakukan itu maka taubatnya pun tidak dapat ia raih. Dan nantinya pada hari
kiamat, menanti balasan dengan diambilnya kebaikannya untuk menebus
keburukannya itu. Tidak ada jalan lain.
Mereka
berkata: ini adalah hak manusia yang tidak sampai kepadanya. Dan Allah SWT
tidak membiarkan satu hak hamba untuk dilanggar oleh orang lain sedikitpun. Dan
Dia menyampaikan hak masing-masing orang kepada orang tersebut. Dia sama sekali
tidak membiarkan suatu kezaliman manusia kepada manusia lain terjadi tanpa
konsekwensi. Maka Dia akan mengambil hak orang yang dizalimi dari orang yang
menzaliminya, meskipuin itu sebuah tamparan, kata-kata atau satu lemparan batu.
Mereka
berkata: tindakan yang paling mudah dilakukan untuk menutupi kesalahannya itu
adalah dengan memperbanyak kebaikan, sehingga ia dapat membayar kejahatannya
pada hari kiamat nanti dengan kebaikannya itu. Dan tindakan yang paling
bermanfaat baginya adalah bersabar atas kezaliman dan aniaya yang dilakukan
orang lain kepadanya, serta ghibah dan qadzaf (tuduhan zina) yang dilontarkan
mereka kepadanya. Hendaklah ia tidak meminta haknya dari mereka di dunia, serta
tidak menemuinya, sehingga musuhnya itu akan menutupi kekurangan timbangannya
nanti di akhirat, jika memang kebaikannya telah habis. Karena jika ia akan
diambil kebaikannya untuk membayar kezaliman yang telah ia lakukan kepada orang
lain, maka iapun akan dibayarkan dari orang lain atas kezaliman yang dilakukan
mereka kepadanya. Sehingga diharapkan itu dapat memenuhi kekurangannya, atau
malah akan menambah timbangannya.
Kemudian
mereka berselisih pendapat tentang orang yang memegang uang yang didapatkan
dari hasil kezaliman.
Sekelompok
ulama berkata: hendaknya ia tetap menyimpan uang itu, dan tidak boleh
menggunakannya sama sekali.
Sekelompok
ulama yang lain berkata: hendaknya ia berikan uang tersebut kepada imam atau
pejabat yang berwenang, karena ia adalah wakil dari rakyatnya, sehingga ia
menyimpankannya untuk mereka. Dan hukum harta itu menjadi harta yang ditemukan
dijalan (luqathah).
Sementara
sekelompok ulama yang lain berkata: pintu taubat masih terbuka bagi orang ini,
dan tidak ditutup oleh Allah SWT baginya serta bagi orang yang berdosa. Taubat
orang ini adalah dengan mensedekahkan harta itu kepada orang-orang yang berhak,
seperti kepada para fakir-miskin, orang-orang yang membutuhkan, lembaga-lembaga
sosial, dan untuk kepentingan kaum muslimin.
Di
antaranya adalah untuk: pasukan jihad fi sabilillah dan pusat-pusat dakwah.
Jika nanti datang hari pembalasan hak-hak, maka para pemilik uang dapat memilih
antara memaafkan apa yang diperbuatnya itu, dan pahala sedekah itu untuk
mereka. Atau mereka tidak memaafkannya, sehingga mereka mengambil dari
kebaikannya menurut jumlah uang mereka, dan pahala sedekah itu untuknya
sendiri. Karena Allah SWT tidak membatalkan pahala sadaqahnya itu. Dan Allah
SWT tidak menyatukan antara pengganti dan yang digantikan. Kemudian dimintakan
kepadanya, dan Allah SWT menjadikan pahala sedekah itu bagi mereka, atau juga
dengan mengambil dari kebaikannya sesuai dengan kadarnya untuk diberikan kepada
orang yang pernah dizhaliminya itu.
Ibnu
Qayyim berkata:
Ini
adalah mazhab sekelompok shahabat, seperti diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud,
Mu'awiyah dan Hajjaj bin Sya'ir.
Diriwayatkan
bahwa Ibnu Mas'ud membeli seorang hamba sahaya wanita dari seseorang, kemudian
ia masuk untuk menimbang harganya, namun ketika ia kembali pemilik budak itu
telah pergi, dan iapun menunggunya hingga ia lemas menunggu, maka iapun
mensadaqahkan harga itu dan berkata: ya Allah, sadaqah ini bagi pemilik hamba
sahaya ini, jika ia merelakannya maka pahala sadaqah itu untuk saya, dan jika
ia tidak rela maka pahalanya untuk saya, dan ia dapat mengambil dari kebaikan
saya sesuai dengan haknya.
Seorang
laki-laki telah berlaku curang terhadap ghanimah, kemudian ia bertaubat, dan
membawa ghanimah yang telah ia curi itu kepada kepala tentara, namun ia menolak
untuk menerimanya, dan berkata: "bagaimana aku dapat menyampaikannya
kepada seluruh tentara itu, padahal mereka telah berpencar dan pulang ke rumah
masing-masing?" Kemudian orang itu mendatangi Hajjaj bin Sya'ir, dan ia
pun berkata kepadanya: "Hai bung, sesungguhnya Allah SWT mengetahui
tentara itu serta nama mereka dan keturunan mereka. Maka berikanlah seperlima
harta itu kepada orang-orang yang berhak atasnya, kemudain sedekahkan sisanya
dan pahalanya diniatkan untuk mereka, karena Allah SWT akan menyampaikan itu
kepada mereka", dan orang itupun melakukan nasehat itu. Ketika Mu'awiyah
diberitahukan tentang hal itu ia berkata: "aku berfatwa dengan fatwa itu
lebih aku senangi dari pada setengah kerajaanku!"
Mereka
berkata: demikian juga halnya dengan barang temuan jika tidak ditemukan
pemiliknya, setelah diumumkan, sementara ia tidak ingin memilikinya, maka ia
dapat mensedekahkannya, dan jika kemudian datang pemiliknya ia dapat memberikan
pilihan antara mendapatkan pahalanya atau diganti.
Mereka
berkata: hal ini karena, dalam syari'ah, orang yang tidak diketahui dianggap
seperti orang yang tidak ada. Jika pemiliknya tidak ada maka itu seperti tidak
ada pemiliknya. Ini berkaitan dengan harta yang tidak diketahui siapa
pemiliknya dengan pasti. Sementara harta itu tidak boleh disia-siakan. Karena
itu akan menciptakan mudarat bagi pemiliknya, para fakir-miksin, dan orang yang
berada dalam tanggungannya. Bagi pemiliknya, itu akan membuat mudarat baginya
karena manfaatnya tidak sampai kepadanya. Demikian juga bagi para fakir miskin.
Sedangkan bagi orang yang berada dalam tanggungannya: karena ia tidak dapat
membebaskannya dari dosanya, sehingga ia dituntut diakhirat tanpa mengambil
manfaat darinya, dan itu tidak dibenarkan oleh syari'ah, apalagi sampai
memerintahkannya dan mewajibkannya. Karena syari'ah berdasarkan pada
"menghasilkan" kemaslahatan sedapat mungkin dan menyempurnakannya.
Serta menahan kemafsadatan sedapat dan sedikit mungkin. Dengan menyia-nyiakan
uang itu, tidak memanfaatkannya dan melarang orang untuk mempergunakannya
adalah kemafsadatan yang jelas, dan tidak ada kemaslahatan sama sekali.
Seperti
diketahui --sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Qayyim-- orang yang tidak
mendapatkan hartanya yang seharusnya menjadi miliknya di dunia, tentu ia akan
amat senang ketika mendapatkan manfaat dari hartanya itu di akhirat. Tentu ia
akan amat tidak senang jika ia kemudian tidak dapat memanfaatkan hartanya itu
di dunia dan akhirat. Jika pahala hartanya itu sampai di akhirat, tentu
kebahagiaannya akan lebih dari pada kebahagiaannya saat mendapatkannya di
dunia. Maka mengapa ada yang berpendapat: maslahat tidak mempergunakan harta
ini -- bagi orang yang telah meninggal, orang-orang miskin dan orang-orang yang
berada dalam tanggungannya-- lebih besar dari maslahat menginfakkannya secara
syar'i? Bahkan apa maslahatnya bagi agama atau dunia dalam penyia-nyiaan harta
tersebut? Bukankah tindakan penyia-nyiaan itu semata suatu kemafsadatan?
Ibnu
Taimiah pernah ditanya seorang tua: "aku lari dari tuanku saat aku berusia
kecil, dan hingga saat ini aku tidak mendengar khabarnya lagi. Aku adalah
seorang hamba sahaya, dan takut terhadap azab Allah SWT atas perbuatanku itu.
Aku ingin terbebas dari hak tuanku atas diriku. Aku telah bertanya kepada
sekelompok mufti, dan mereka berkata kepadaku: pergilah dan duduklah di
gudang!" Mendengar hal itu Ibnu Taimiah tertawa dan berkata:
"hendaklah engkau bersedekah --sebisa dan sedapat mungkin -- dan pahalanya
untuk tuanmu itu, dan engkau tidak perlu ke gudang, duduk tanpa menghasilkan
manfaat, serta memberi mudarat bagi engkau, serta menghalangi maslahat engkau.
Sedangkan tuanmu juga tidak mendapatkan manfaat dari tindakanmu berdiam di
gudang itu, juga tidak bagimu dan bagi kaum muslimin. Wallahu a'lam."
(Lihat: Madarij as Salikin: 1/387 - 390).
Orang-orang yang Mendapatkan Uang dari Transaksi yang Haram
Masalah
ketiga: jika ia memperoleh uang dari orang lain dengan cara yang haram, dan
saat itu ia memegang uang tersebut -&endash;seperti uang yang didapatkan
oleh seorang pelacur dari langganannya, seorang penyanyi dari hasil
nyanyiannya, penjual khamar dari pembelinya, orang yang memberikan saksi palsu
dari penyogoknya, dan semacamnya-- kemudian ia taubat, dan uang yang ia
dapatkan dengan cara haram itu masih berada pada dirinya; kemana seharusnya ia
berikan uang tersebut?
Satu
kelompok ulama berkata: uang agar dikembalikan kepada orang yang memberikannya
semula, karena itu memang hartanya, dan ia tidak dapat memilikinya dengan izin
dari Allah SWT, dan pemberinya pun tidak mendapatkan manfaat yang halal dari
uang yang ia berikan itu.
Satu
kelompok ulama lainnya berkata: taubatnya adalah dengan bersedekah dengan harta
itu, dan ia tidak memberikannya kepada orang yang telah memberikannya. Pendapat
ini adalah pendapat yang dipilih oleh syeikh IbnuTaimiah, dan itu adalah
pendapat yang paling bagus. Karena jika ia tetap memegangnya, seharusnya uang
itu ia dapatkan dari pemberinya sebagai pemberian tanpa pamrih dan suka rela,
bukan sebagai pembayaran sesuatu yang haram. Lantas bagaimana mungkin ia
mengembalikan uang itu kepada si pemberinya, yang nantinya dapat dipergunakan
oleh orang itu untuk bermaksiat kepada Allah SWT, dan mengembalikannya uangnya
itu kepadanya akan membantunya untuk melakukannya untuk kedua dan ketiga
kalinya? Bukankah itu berarti membantunya untuk melakukan dosa dan pelanggaran
syari'at? Apakah sesuai dengan kebaikan syari'at jika: para pelacur
diperintahkan untuk mengembalikan seluruh penghasilannya yang ia dapatkan dari
pelacuran kepada para lelaki hidung belang yang pernah mengajaknya tidur dan
membayarnya, dan si hidung belang diperbolehkan untuk mengambil kembali uang
itu dari si pelacur dengan cara baik-baik maupun paksaan?
Katakanlah
harta itu tidak dimiliki orang yang mengambilnya, namun kepemilikan si
pemiliknya yang pertama telah hilang ketika ia memberikannya kepada orang yang
bertransaksi dengannya secara haram itu, dan ia pun sudah mendapatkan apa yang
ditransaksikan itu. Lantas bagaimana mungkin setelah itu ada yang mengatakan
bahwa kepemilikkan si orang pertama itu masih tetap ada dalam harta itu, dan
uang itu harus dikembalikan kepadanya? Ini berbeda halnya jika ia mensedekahkan
uang tersebut. Karena ia mendapatkan uang itu dari pemiliknya dengan suka rela,
dan pemiliknya itu pun bisa tidak keberatan jika uang itu kemudian ia
sedekahkan, dan tidak dikembalikan kepadanya. Dengan demikian, dalam kasus
seperti ini, cara yang paling benar adalah: agar harta tersebut dipergunakan
untuk suatu kemaslahatan yang dapat diambil manfaatnya oleh orang yang
memegangnya, dan dapat mengurangi dosanya, yakni dengan mensedekahkannya, dan
tidak digunakan untuk membantu si pembuat dosa untuk melakukan perbuatan
dosanya. Dengan begitu, berarti ia telah mencapai dua kemaslahatan sekaligus.
Demikianlah
taubat orang yang hartanya bercampur antara yang halal dan haram, yang keduanya
tidak dapat ia bedakan: yaitu dengan mensedekahkan kadar harta yang haram yang
berada padanya, dan menggunakan harta sisanya yang halal untuk dirinya. Wallahu
a'lam.
Berlaku Zhalim Kepada Manusia Secara Etika,
Seperti Ghibah dan Mencerca
Tadi
kita berbicara tentang taubat dari pelanggaran atas hak-hak harta orang lain.
Kemudian bagaimana kita bertaubat dari hak-hak maknawi dan etis mereka. Seperti
melakukan penghinaan terhadapnya dengan ghibah, qadzaf (menuduh zina),
mengecam, mencela, menghinanya atau tindakan lainnya. Apakah taubat dalam dosa
seperti ini disyaratkan agar memberitahukan orang yang ia zalimi itu, atau ia
meminta maaf dan ampunan darinya?. Ataukah juga ia memberitahukannya bahwa ia
telah berbuat zalim kepadanya, namun tidak disyaratkan menyebutkan secara
detail kezhalimannya itu?. Ataukah kedua hal tadi tidak disyaratkan untuk
mencapai taubat dalam dosa seperti ini, namun cukup ia bertaubat kepada Allah
SWT tanpa memberitahukan dan tanpa meminta maaf kepada orang yang ia tuduh dan
ia kecam itu?
Dalam
hal ini ada tiga pendapat:
Dari
imam Ahmad ada dua riwayat pendapatnya dalam masalah hukum qadzaf. Apakah orang
yang menuduh zina (qadzif) itu ketika bertaubat disyaratkan melakukan hal ini:
memberitahukan tindakannya kepada orang yang ia tuduhkan, dan kemudian meminta
maaf dari perbuatannya itu atau tidak? Dan nantinya disimpulkan pula dari kedua
hal itu tentang cara taubat orang yang berghibah dan mencela
Dalam
mazhab Syafi'i, Abi Hanifah dan Malik, disyaratkan untuk memberitahukan detail
kezhalimannya dan meminta maaf atas perbuatannya itu. Seperti disebutkan oleh
sahabat-shahabat mereka dalam kitab-kitab mereka.
Orang
yang mensyaratkan pemberitahuan dan meminta maaf itu berdalil: karena dosa itu
adalah hak manusia, maka hak itu tidak hilang kecuali dengan meminta maaf dari
dosa tertentu itu dan meminta dibebaskan darinya.
Kemudian
kelompok ulama yang tidak menganggap sah pembersihan diri tanpa menjelaskan
detail kesalahannya itu, mensyaratkan agar ia memberitahukan masalahnya secara
jelas. Seperti ia berkata: aku telah mengecam dan mencela dirimu, aku telah
mengejekmu, atau juga aku telah berghibah dan menyebut keburukanmu. Terutama
jika orang yang melanggar hak orang lain itu mengetahui kadar haknya, maka ia
harus memberitahukan orang yang ia zhalimi itu kadar haknya itu. Karena orang
itu mungkin tidak akan memaafkanya jika ia tahu kadar kejahatan yang telah
dilakukan orang itu terhadapnya. Dan ia berkata kepadanya: aku telah berlaku
zalim kepadamu dan aku telah mengghibah dirimu selama sepuluh tahun. Ia mungkin
dapat memaafkannya atas ghibahnya sekali atau beberapa kali, namun ia tidak
dapat memaafkannya jika ia mengghibahnya sampai bertahun-tahun.
Mereka
berdalil atas pendapat itu dengan sabda Rasulullah Saw : "Barangsiapa yang
telah melakukan kezaliman kepada suadaranya, baik harta maupun harga diri, maka
pada hari ini hendaklah ia meminta dibebaskan, sebelum datang hari tidak
berguna padanya dinar dan dirham, kecuali kebaikan dengan keburukan".
Mereka
berkata: karena dalam suatu dosa ada dua hak: hak Allah SWT dan hak manusia.
Maka taubat dari dosa itu adalah dengan meminta maaf kepada manusia karena hak
orang itu atasnya; dan dengan menyesali perbuatan itu untuk menghapus dosa di
hadapan Allah SWT, karena hak Allah SWT atasnya.
Mereka
berkata: oleh karena itu, dosa orang yang membunuh tidak dapat sempurna kecuali
dengan memberikan dirinya kepada wali korbannya; jika mereka mau, mereka dapat mengqishashnya;
dan jika tidak, mereka dapat memaafkannya. Demikian juga taubat perampok.
Pendapat
yang lain mengatakan: tidak disyaratkan dalam taubat itu memberitahukan
kejahatan apa yang telah ia lakukan kepadanya, apakah itu tentang kehormatan
diri, mengqazafnya atau mengghibahnya. Namun ia cukup bertaubat kepada Allah
SWT, kemudian menyebutkan orang yang pernah ia ghibahkan atau ia qadzaf dengan
kebalikan ghibah dan qadzaf itu, sehingga ghibahnya berganti dengan pujian, dan
menyebutkan kebaikan-kebaikannya. Dari qadzaf berganti menjadi menyebut
kebersihan dirinya, dan menjaga kehormatan dirinya, serta ia memintakan
istighfar baginya sesuai dengan kadar ghibahnya atasnya.
Ini
adalah pendapat yang dipilih oleh Ibnu Taimiah.
Orang
yang berpendapat dengan pendapat ini berdalil bahwa dengan memberitahukannya
hanya akan membawa kemafsadatan yang lebih besar, dan tidak pula menjamin akan
tercapai kemaslahatan, karena hal itu hanya akan menambah kesal dan sakit hati
saja. Barangkali orang itu berada dalam ketentraman sebelum mendengar itu,
namun ketika ia mendengarnya, justru ia menjadi gelisah dan marah hingga tidak
mampu menahannya, dan akhirnya membuat bahaya bagi diri dan tubuhnya.
Jika
demikian, maka syari'ah tidak membenarkannya, apalagi sampai mewajibkan dan
memerintahkannya.
Mereka
berkata:
Dapat
juga keterusterangannya itu akan menjadi pangkal permusuhan antara dia dengan
orang yang membeberkan kesalahannya itu, dan ia tidak akan ridha terhadapnya
selama-lamanya. Dari tahunya itu akan melahirkan permusuhan dan kemarahan yang
mengakibatkana kejahatan yang lebih besar dari kejahatan ghibah dan qadzaf. Ini
tentu bertentangan dengan tujuan syari'ah untuk menyatukan hati dan saling
kasih- sayang antara mereka.
Mereka
berkata: perbedaan antara hak itu dengan hak-hak harta dan hak atas tubuh ada
dua segi:
Pertama: ia dapat mengambil
manfaat darinya jika dikembalikan kepadanya, oleh karena itu tidak boleh
disembunyikan darinya, karena itu adalah haknya, dan harus diberikan kepdanya.
Berbeda dengan ghibah dan qadzaf, dalam hal ini tidak ada yang dapat memberikan
manfaat baginya, malah akan membuatnya sulit dan sakit hati saja. Dan jika di
antara keduanya dilakukan qiyas, itu adalah qiyas yang paling buruk.
Kedua: karena tentang harta
itu, jika ia memberitahukan orang yang berhak itu, maka itu tidak membuatnya
teraniaya, serta tidak pula menimbulkan marah dan sakit hati, malah itu dapat
membuatnya gembira dan senang. Berbeda halnya jika ia memberitahukannya apa
yang merobek harga dirinya sepanjang usinya, siang dan malam, seperti qadzaf,
ghibah dan celaan. Maka mengukur masalah terakhir ini dengan yang pertama
adalah tidak benar. Ini adalah pendapat yang benar dari dua pendapat. Wallahu
a'lam. (Madarij Salikin: 1/289, 291).
Taubat Dari Suatu Dosa Sambil Tetap
Melakukan Dosa yang Lain
Di
antara pertanyaan yang penting yang menuntut untuk dijawab dan dijelaskan
hukumnya di sini adalah pertanyaan: apakah taubat dari suatu dosa sah, jika
sambil tetap melakukan dosa yang lain?
Dalam
hal ini ada dua pendapat ulama, dan keduanya adalah dua riwayat dari imam
Ahmad. Orang yang mengatakan di situ ada ijma', tidak mengetahui ikhtilaf
pendapat yang terjadi, seperti an-Nawawi yang berpendapat lain dan ulama
lainnya.
Abu
Thalib al Makki dalam kitabnya "Qutul Qulub" meriwayatkan pendapat
berikut ini dari beberapa ulama: orang yang telah taubat dari sembilan puluh
sembilan dosa, namun ia tidak bertaubat dari satu dosa, maka ia menurut kami
bukan kelompok orang yang bertaubat" [Qutul Qulub: 1/191]
Imam
Ibnu Qayyim berkata: Masalah ini pelik, dan memiliki kerumitan tersendiri.
Namun perlu memilih salah satu pendapat itu dengan diperkuat oleh dalil. Mereka
yang mengabsahkan taubat seperti itu berdalil bahwa keislaman seseorang jelas
sah --dan keislaman itu adalah taubat dari kekafiran-- meskipun ia masih tetap
melakukan maksiat yang ia belum bertaubat darinya. Maka demikian pula halnya
dengan taubat dari suatu dosa sambil masih tetap melaklukan dosa yag lain.
Sedangkan
kelompok ulama yang lain berkata: keislaman itu lain masalahnya dari yang lain,
karena kekuatannya, serta keislaman itu dapat terjadi --dengan keislaman kedua
orang tuanya atau salah satunya-- bagi anak kecil.
Sementara
kelompok ulama yang lain lagi berdalil, bahwa taubat itu adalah kembali kepada
Allah SWT dari melanggar aturan-Nya menuju ketaatan-Nya. Maka bagaimana ia
dapat dikatakan kembali jika ia hanya taubat dari satu dosa, sementara masih
terus melakukan seribu dosa lainnya?
Mereka
berkata: Allah SWT tidak menghukum orang yang telah bertaubat karena orang itu
telah kembali kepada ketaatan dan penghambaanNya, serta telah taubat dengan
taubat nasuha. Sedangkan orang yang masih terus melakukan dosa lain yang
sejenisnya --atau malah lebih besar lagi-- tidak dapat dikatakan telah kembali
kepada ketaatan, dan tidak pula telah taubat dengan taubat nasuha.
Mereka
berkata: karena orang yang bertaubat kepada Allah SWT, darinya telah hilang cap
"pelaku maksiat", seperti orang kafir ketika ia masuk Islam yang
hilang cap "kafir" itu darinya. Sedangkan orang yang tetap melakukan
dosa lain selain dosa yang ia mintakan taubat itu, maka cap "maksiat"
masih tetap melekat padanya, sehingga taubatnya tidak sah. Rahasia masalah ini
adalah: taubat itu memiliki macam-macam bagian, seperti kemaksiatan, sehingga
ia dapat taubat dari satu segi, tidak pada segi lainnya, seperti antara
keimanan dengan keislaman
Pendapat
yang kuat adalah: taubat itu dipecah-pecah, seperti perbedaan dalam
pelaksanaannya. Demikian juga dalam jumlahnya. Maka jika seorang hamba telah
menjalankan suatu kewajiban dan meninggalkan kewajiban yang lain, ia akan
menerima hukuman atas yang ditinggalkan itu tidak atas kewajiban yang telah
dilakukannya. Demikian juga halnya orang yang telah bertaubat dari satu dosa
dan tetap melakukan dosa yang lain. Karena taubat adalah kewajiban dari dua
dosa. Maka ia telah melakukan satu dari dua kewajiban dan meninggalkan yang
lain. Sehingga apa yang ditinggalkannya tidak membuat batal apa yang telah
dikerjakannya. Seperti orang yang tidak melaksanakan hajji, namun menjalankan
shalat, puasa dan zakat.
Kelompok
yang lain berkata: taubat adalah satu pekerjaan. Maknanya adalah meninggalkan
apa yang dibenci oleh Allah SWT serta menyesal dari perbuatannya yang buruk,
dan kembali kepada ketaatan kepada Allah SWT. Maka jika ia tidak melengkapinya,
taubatnya itu tidak sah, karena ia adalah satu kesatuan ibadah. Maka
melaksanakan sebagian taubat sementara meninggalkan taubat yang lain adalah
seperti orang yang melakukan sebagian ibadah dan meninggalkan bagian lainnya.
Dan ikatan bagian-bagian suatu ibadah satu sama lain lebih kuat dari ikatan
ibadah-ibadah yang bermacam-macam, satu sama lain.
Dan
kelompok yang berpendapat lain berkata: setiap dosa memiliki taubat yang khusus
baginya, dan taubat itu wajib dilakukannya. Namun taubat itu tidak berkaitan
dengan taubat dari perbuatan lainnya. Seperti tidak ada kaitan antara satu dosa
dengan dosa lainnya.
Ibnu
Qayyim berkata: menurutku dalam masalah ini adalah: suatu taubat atas suatu
dosa tidak sah jika orang itu tetap menjalankan dosa lainnya yang sejenis.
Sedangkan taubat dari satu dosa sambil masih melakukan dosa lain yang tidak
mempunyai hubungan dengan dosa pertama, juga bukan dari jenisnya, taubat itu
sah. Seperti orang yang bertaubat dari riba, dan belum bertaubat dari meminum
khamar misalnya. Karena taubatnya dari riba adalah sah. Sedangkan orang yang
bertaubat dari riba fadhl, kemudian ia tidak bertaubat dari riba nasi'ah dan
terus menjalankan riba ini, atau sebaliknya, atau orang yang taubat dari
menggunakan obat bius dan ia masih tetap minum minuman keras, atau sebaliknya,
maka taubatnya ini tidak sah. Ini adalah seperti orang yang bertaubat dari
berzina dengan seorang wanita, namun ia masih tetap berzina dengan
wanita-wanita lainnya, maka tidak sah taubatnnya. Demikian juga orang yang
bertaubat dari meminum juice anggur yang memambukkan, namun ia masih terus
meminum minuman lainnya yang memabukkan juga, maka orang ini sebetulnya belum
bertaubat. Namun ia hanya bnerpindah dari satu macam ke macam lainnya.
Berbeda
dengan orang yang meninggalkan satu jenis maksiat, sambil menjalankan maksiat
jenis lainnya. Karena dosanya lebih ringan, atau karena dorongannya baginya
lebih kuat, serta kekuatan syahwat untuk melakukan itu amat kuat baginya atau
juga faktor-faktor yang mendorongnya untuk terus melakukan itu masih tetap ada,
tidak perlu dicari. Berbeda dengan maksiat yang butuh dicari dahulu
perangkatnya untuk mengerjakannnya, atau juga karena teman-temannya
memilikinya, dan mereka tidak membiarkannhya untuk bertaubat darinya, dan ia
memiliki kehormatan di hadapan mereka, maka jiwanya tidak membiarkannya untuk
merusak penghormatan mereka atasnya itu dengan melakukan taubat [Madarij
Salikin: 1/273-275]
Pendapat
yang aku pilih dalam masalah ini adalah: seluruh orang yang bertaubat dari
suatu dosa dengan taubat yang benar, maka diharapkan Allah SWT menerima
taubatnya, dari dosa itu. Meskipun ia masih terus menjalankan dosa yang lain.
Barangsiapa yang bertaubat dari perbuatan kaum Luth (homoseksual) dengan benar,
niscaya Allah SWT akan menerima taubatnya, meskipun ia masih berat untuk
bertaubat dari zina. Orang yang bertaubat dari riba nasi'ah, maka Allah SWT
akan menerima tabatnya, meskipun ia masih menjalankan riba fadhl. Atau ia
taubat dari ghibah (menceritakan keburukan orang) dan namimah (mengadu domba),
meskipun ia masih sering menghina orang, berbohong ketika bicara atau dosa
lidah lainnya.
Taubat
itu sah karena taubat pada dasarnya adalah hasanah (kebaikan), bahkan kebaikan
yang besar. Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya
Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar dzarrah, dan jika ada
kebajikan sebesar dzarrah, niscaya Allah akan melipat gandakannya dan
memberikan dari sisiNya pahala yang besar"
[an Nisa: 40]
Kemudian
Allah SWT berjanji akan menerima taubat hamba-hamba-Nya secara umum. Dan tidak mengkhususkan
satu dosa dari dosa lainnya. Seperti dalam firman Allah SWT:
"Dan
Dialah yang menerima taubat dari hamba-hambaNya dan memaafkan
kesalahan-kesalahan" [QS. asy-Syuura: 25].
Orang
ini telah bertaubat dari dosanya, dan ia berhak untuk diterima taubatnya oleh
Allah SWT dan dimaafkan.
Kemudian
ini cocok dengan keluasan rahmat dan maghfirah Allah SWT yang mencakup seluruh
orang yang berdosa dan seluruh orang yuang bertaubat. Seperti firman Allah SWT:
"Sesungguhnya
Allah SWT mengampuni dosa-dosa seluruhnya".
Kemudian
itu juga akan mengobati kelemahan manusia, dan menuntunnya secara bertahap, dan
membuka kesempatan baginya meningkat setahap demi setahap. Sehingga ia dapat
meninggalkan maksiat sedikit demi sedikit, dan dari satu fase ke fase
selanjutnya. Hingga pada akhirnya Allah SWT memberikan hidayah kepadanya untuk
meninggalkan seluruh kemaksiatan itu. Dalam hadits sahih disabdakan:
"Kalian
diutus hanya untuk memberi kemudahan dan tidaklah kalian diutus untuk membuat
kesulitan".
Pendapat
yang mengatakan diterimanya taubat seseorang yang taubat ketika ia masih
berbuat dosa lagi, dan ia kemudian kembali bertaubat, didukung oleh hadits yang
diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abi Hurairah r.a. bahwa Rasulullah
Saw bersabda:
"Seorang
hamba melakukan dosa, dan berdo'a: Ya Tuhanku, aku telah melakukan dosa maka
ampunilah aku. Tuhannya berfirman: hamba-Ku mengetahui bahwa dia mempunyai
Tuhan yang akan mengampuni dan menghapus dosanya, maka Aku ampuni hamba-Ku itu.
Kemudian waktu berjalan dan orang itu tetap seperti itu hingga masa yang
ditentukan Allah SWT, hingga orang itu kembali melakukan dosa yang lain. Orang
itupun kembali berdo'a: Ya Tuhanku, aku kembali melakukan dosa, maka ampunilah
dosaku. Allah SWT berfirman: Hamba-Ku mengetahui bahwa dia mempunyai Tuhan Yang
mengampuni dan menghapus dosanya, maka Aku ampuni hamba-Ku itu. Kemudian ia
terus dalam keadaan demikian selama masa yang ditentukan Allah SWT, hingga
akhirnya ia kembali melakukan dosa. Dan ia berdo'a: Ya Tuhanku, aku telah
melakukan dosa, maka ampunilah daku. Allah SWT berfirman: Hamba-Ku mengetahui
bahwa ia mempunyai Tuhan Yang mengampuni dan menghapus dosanya. Maka Aku telah
berikan ampunan kepada hamba-Ku, (diulang tiga kali) dan silahkan ia melakukan
apa yang ia mau" [Hadits Muttafaq alaih: lihat: al Lu'lu wa al Marjan
(1754) dan lihatlah: Fathul Bari juz 13 hal. 46 dan setelahnya].
Al
Qurthubi berkata dalam kitabnya "al Mufhim fi syarhi Muslim": Hadits
ini menunjukkan kebesaran faedah istighfar, dan keagungan nikmat Allah SWT,
keluasan rahmat-Nya serta sifat pemaaf dan pemurah-Nya. Namun istighfar ini
adalah permohonan taubat yang maknanya tertanam dalam hati sambil diiringi
dengan ucapan lidah, sehingga ia tidak lagi menjalankan dosa itu, dan ia merasa
menyesal atas perbuatan masa lalunya. Sehingga itu adalah ungkapan praktekal
atas taubat. Seperti dikatakan oleh hadits: orang yang paling baik dari kalian
adalah setiap orang yang terfitnah (sehingga melakukan dosa) dan sering
bertaubat". Maknanya: yaitu orang yang terulang dosanya dan mengulang
taubatnya. Setiap kali ia jatuh dalam dosa ia mengulang taubatnya. Bukan orang
yang berkata dengan lidahnya: aku ber istighfar kepada Allah SWT, namun hatinya
masih terus ingin menjalankan maksiat itu. Inilah istighfar yang masih
membutuhkan kepada istighfar lagi!
Al
Hafizh ibnu Hajar berkata dalam kitab Fathul Bari ketika memberi komentar atas
hadits itu, sebagai berikut: hal ini diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan
oleh Ibnu Abi Dunya dari hadits Ibnu Abbas secara marfu':
"Orang
yang bertaubat adalah seperti orang yang tidak mempunyai dosa, dan orang yang
meminta ampunan dari dosa, sementara ia masih tetap melakukan dosa, adalah
seperti orang yang mengejek Tuhannya".
Ia
berkata: yang rajih adalah: redaksi dari "wal mustaghfir... hingga
akhirnya, adalah mauquf. Atau dari perkataan Ibnu Abbas, bukan hadits Nabi.
Yang pertama menurut Ibnu Majah dan Thabrani, dari hadits Ibnu Mas'ud. Dan
sanadnya hasan.
Al
Qurthubi berkata: faedah hadits ini adalah: kembali berbuat dosa adalah lebih
buruk dari ketika pertama kali melakukan dosa itu, karena dengan kembali
berdosa itu ia berarti melanggar taubatnya. Tapi kembali melakuian taubat
adalah lebih baik dari taubatnya yang pertama, karena ia berarti terus meminta
kepada Allah SWT Yang Maha Pemurah, terus meminta kepada-Nya, dan mengakui
bahwa tidak ada yang dapat memberikan taubat selain Allah SWT.
Imam
an Nawawi berkata: dalam hadits itu, suatu dosa --meskipun telah terulang
sebanyak seratus kali atau malah seribu dan lebih-- jika orang itu bertaubat
dalam setiap kali melakukan dosa-- niscaya taubatnya diterima, atau juga ia
bertaubat dari seluruh dosa itu dengan satu taubat, maka taubatnya juga sah.
Dan redaksi: "perbuatlah apa yang engkau mau" -- atau "Maka
silakan ia berbuat apa yang ia mau" - maknanya: selama engkau masih
melakukan dosa maka bertaubatlah, niscaya Aku akan ampuni dosamu" [Lihat:
Fathul Bari: 14/ 471. Cetakan: Darul Fikr al Mushawirah An Salafiyah]
Benar,
taubat yang sempurna adalah taubat dari seluruh dosa. Dan itulah yang akan
membawa kepada keberuntungan yang disinyalir dalam firman Allah SWT:
"Dan
bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya
kamu beruntung" [QS. an-Nur: 31]
Taubat
seperti itulah yang akan menghapus seluruh keburukan, dan menghilangkan seluruh
dosa, dan orangnya akan masuk dalam surga yang mengalir di bawahnya
sungai-sungai, pada hari Allah SWT tidak mengcewakan Nabi dan orang-orang yang
beriman bersamanya.
Inilah
yang akan menarik cinta Allah SWT kepadanya, juga kesenangan dan senyum-Nya
terhadap mereka.
Juga
taubat yang sempurna adalah taubat yang tidak hanya mencegah orang itu untuk
kembali melakukan maksiat saja, namun ia adalah taubat yang mendorongnya untuk
melakukan ketaatan, menjalankan perbuatan yang saleh, serta mematuhi
hukum-hukum syari'ah dan adab-adabnya, secara zahir dan bathin, antara dia
dengan Rabbnya, antara dirinya dengan dirinya sendiri, serta antara dirinya
dengan seluruh makhluk. Sehingga ia dapat mencapai keberuntungan di dunia dan
akhirat, dan mendapatkan kemenangan surga serta selamat dari neraka.
Oleh
karena itu, kita harus membedakan antara taubat yang menyeluruh yang akan
mengantarkan orang itu kepada kemenangan mendapatkan surga dan selamat dari
neraka, dengan taubat yang parsial yang memberikan keuntungan kepada orang yang
taubat itu serta membebaskannya dari suatu dosa tertentu, meskipun ia tetap
terikat dengan dosa yang lain. Kedua macam taubat itu mempunyai ketentuan
hukumnya masing-masing.
Taubat Orang yang Tidak Dapat Melakukan Maksiat
Di
antara pertanyaan yang timbul di sini adalah: apa hukum orang yang berbuat
maksiat, jika saat bertaubat ia sudah tidak dapat lagi melakukan kemaksiatan
yang ia taubatkan itu, atau ia sudah telah melemah sehingga tidak mungkin lagi
melakukannya; apakah taubatnya itu sah?
Seperti
orang yang berbohong, yang mengqadzaf orang lain, dan orang yang memberikan
kesaksian palsu, jika lidah orang itu telah terpotong (karena suatu kecelakaan
dan sebagainya). Orang yang berzina jika ia telah kehilangan nafsu untuk
berzina. Penguasa yang zalim jika ia telah diberhentikan dari kedudukannya, dan
ia tidak mampu lagi berbuat zhalim. Dan seluruh orang yang telah sampai pada
titik ia tidak mempunyai dorongan lagi untuk berbuat maksiat.
Ibnu
Qayyim berkata: dalam masalah ini ada dua pendapat.
Satu kelompok ulama berkata: taubatnya tidak sah. Karena
taubat itu seharusnya dilakukan oleh orang yang masih mungkin menjalankan atau
meninggalkan perbuatan maksiat yang ia taubatkan itu. Taubat dilakukan terhadap
sesuatu yang dapat dikerjakan, bukan terhadap sesuatu yang mustahil dikerjakan.
Oleh karena itu tidak dapat dibayangkan taubat atas memindahkan gunung dari
tempatnya, mengeringkan lautan, terbang di udara tanpa alat atau sejenisnya.
Mereka
berkata: karena taubat adalah mengalahkan dorongan nafsu, dan mengikuti
panggilan kebenaran. Sementara dalam masalah tadi tidak ada dorongan nafsu
lagi, karena ia tahu tidak akan mampu mengerjakannya.
Mereka
berkata: ini adalah seperti orang yang dipaksa untuk meninggalkan sesuatu
pekerjaan, dan ditugaskan secara paksa pula. Orang yang seperti ini tidak sah
taubatnya.
Mereka
berkata: yang diterima fitrah dan akal manusia adalah, taubat orang yang pailit
dan yang kejepit, adalah taubat yang tidak dapat diterima, dan tidak terpuji.
Malah mereka menamakannya sebagai taubat orang pailit dan taubat orang kejepit.
Seorang
penyair berkata: "Maka segera ku tanyakan tentang taubatnya ku dapati
ternyata taubatnya adalah taubat orang yang pailit"!
Mereka
berkata: ini juga menunjukkan bahwa teks-teks yang banyak dan jelas menunjukkan
bahwa taubat yang dilakukan ketika datang maut adalah tidak bermanfaat. Karena
itu adalah taubat orang yang kepepet dan tidak memiliki pilihan lain: Allah SWT
berfirman:
"Sesungguhnya
taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan
kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera,
maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya; dan Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Bijaksana. Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang
yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal seseorang di
antara mereka, (barulah) ia mengatakan: Sesungguhnya saya bertaubat sekarang.
Dan tidak (pula diterima taubat) orang-orang yang mati sedang mereka dalam
kekafiran. Bagi orang-orang itu telah Kami sediakan siksa yang pedih." [QS. an Nisa: 17-18]
Dan
"al-jahalah" di sini maksudnya adalah: ketidak tahuan kerja, meskipun
ia tahu akan keharaman itu. Qatadah berkata: para sahabat Rasulullah Saw
berijma' bahwa seluruh perbuatan yang di dalamnya Allah SWT dimaksiati adalah
kebodohan. Baik secara sengaja atau tidak. Dan seluruh orang yang maksiat
kepada Allah SWT adalah orang yang bodoh. Sedangkan taubat secepatnya adalah:
menurut mayoritas mufassir, taubat itu adalah taubat sebelum orang itu
menghadapi ajalnya. Ikrimah berkata: ia adalah taubat sebelum mati. Dhahhak
berkata: ia adalah taubat sebelum menjumpai malaikat maut. As-Sudi dan al
Kulabi berkata: yaitu agar orang bertaubat pada waktu sehatnya dan sebelum ia
sakit menjelang matinya.
[Sayyid
Rasyid Ridha memberikan komentar atas pendapat-pendapat itu: manusia banyak
tertipu dengan zhahir pendapat-pendapat ini dalam menafsirkan ayat-ayat al
Quran dan hadist-hadits itu, membuat mereka banyak menunda taubat, dan terus
melakukan kemaksiatan, sehingga kemaksiatan itu melekat kuat dalam hati mereka,
dan nafsu mereka menyenanginya. Hal itu kemudian menjadi instink dan kebiasaan
yang tidak dapat --atau sulit-- untuk mereka lepaskan, kecuali dalam kasus yang
langka saja. Hingga datang ajal mereka, sementara mereka masih bergelimang
dalam nafsu mereka. Makna ayat itu bukanlah: bahwa taubat yang diridhai dan
dijamin diterima oleh Allah SWT adalah taubat atas kemaksiatan yang terus
dilakukan oleh seseorang hingga menjelang sakratul maut, hingga beberapa jam
atau beberapa menit sebelumnya. Namun yang dimaksudkan adalah: bertaubat tidak
lama setelah melakukan sesuatu dosa, sambil tidak mengulanginya lagi, seperti
disebutkan pada ayat yang lain. Dan barangkali yang dimaksudkan Ikrimah,
Dhahhak dan yang lainnya untuk menyesuaikan dengan makna hadits; bahwa Allah
SWT akan menerima taubat seseorang yang berbuat maksiat selama orang itu belum
sekarat. Maksudnya, seandainya ia bertaubat pada suatu waktu, sebelum datang
sakratul maut dan ajal tiba, niscaya taubatnya akan diterima. Dan itu tidak
bertentangan dengan ayat. Karena manusia mungkin ada yang datang keinginan
taubatnya beberapa saat sebelum sakratul maut atau ajalnya tiba, terhadap
dosanya yang belum lama ia lakukan, namun jarang ada orang yang bertaubat dari
dosa yang telah ia lakukan semenjak lama dan terus menerus, dan jikapun ia
bertaubat dari macam dosa yang disebut terakhir itu, maka jarang sekali orang
seperti itu dapat memperbaiki apa yang telah ia rusak, disebabkan dosa yang ia
lakukan secara terus menerus itu. Sesuai dengan firman Allah SWT: "Dan
sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman, beramal
saleh, kemudian tetap di jalan yang benar. Kesimpulannya: Yang dimaksudkan
adalah terus menerus melakukan dosa dan menunda-nunda untuk bertaubat adalah
berbahaya, meskipun taubat dari dosa semacam itu masih dapat diterima jika
dilakukan dalam waktu ikhtiar (sebelum sakratul maut tiba), namun biasanya
orang mati dalam keadaan sebagaimana ia sehari-harinya, selama ini, oleh karena
itu orang-orang yang tertipu dengan menunda-nunda taubatnya hendaknya ia
berhati-hati ]
Dalam
musnad dan kitab lainya dari Ibnu Umar dari Nabi Saw bersabda:
"Sesungguhnya
Allah SWT akan menerima taubat seorang hamba selama ia belum sekarat mati
" .
Dalam
naskah darraj dari Abi Sa'id secara marfu' disebutkan:
"Sesungguhnya
syaitan berkata: demi kemuliaan-Mu ya Tuhan, aku akan terus berusaha menggoda
hamba-hamba-Mu selama ruh mereka berada dalam tubuh mereka. Allah SWT
berfirman: demi Kemuliaan-Ku, Keagungan-Ku dan Ketinggian kedudukan-Ku, Aku
akan terus memberikan ampunan kepada hamba-hamba-Ku selama mereka meminta
ampunan kepada-Ku." [Hadits ini dha'if, karena ia merupakan riwayat
Darraj, dan dia adalah dha'if, terutama riwayatnya dari Abi Haitsam.]
Ini
adalaah orang yang bertaubat secepatnya. Sedangkan orang yang bertaubat saat
sekarat, dan ia berkata: saat ini aku bertaubat! Maka taubatnya tidak dapat
diterima. Karena itu adalah taubat terpaksa bukan karena dorongan kesadararn
diri. Ia adalah seperti taubat setelah matahari terbit dari Barat, pada hari
kiamat, dan ketika menemui ajal.
Mereka
berkata: karena hakikat taubat adalah: mencegah diri dari mengerjakan sesuatu
yang dilarang. Dan tindakan itu dilakukan oleh orang yang mampu
mengerjakannya,. Sedangkan orang yang tidak mungkin mengerjakannya, adalah
tidak masuk akal jika nafsu dicegah untuk melakukan itu. Juga karena taubat
adalah dengan membebaskan diri dari dosa, dan orang yang memang tidak dapat
lagi mengerjakan dosa itu, bagaimana mungkin ia kemudian mencegah dirinya dari
menjalankan dosa itu.
Mereka
berkata: karena dosa adalah keinginan kuat untuk mengerjakan sesuatu yang
diharamkan, serta diikuti dengan kemampuannya. Dan taubat darinya berarti:
tekad yang kuat untuk meninggalkan perbuatan dosa yang dapat ia kerjakan itu,
dilanjutkan dengan meninggalkannya. Sedangkan tekad untuk mengerjakan sesuatu
yang tidak dapat ia kerjakan adalah mustahil. Karena tekad untuk meninggalkan
perbuatan yang memang ia tidak mampu mengerjakannya ini adalah sesuatu yang
pasti terjadi, bukan tekad sesuatu yang tidak mampu ia kerjakan. Itu tidak
lebih dari semisal meninggalkan keinginan terbang di udara, memindahkan gunung
dan sebagainya.
Pendapat kedua: (pendapat yang benar)
adalah taubatnya itu diterima, mungkin dan dapat terjadi. Karena rukun-rukun
taubat masih ada padanya. Yang dapat ia lakukan dari perbuatan itu adalah
penyesalan. Dalam musnad Ahmad secara marfu' diriwayatkan hadits:
"Penyesalan adalah taubat.
Maka
jika ia telah menyesal atas dosanya, serta mencela dirinya sendiri, itu adalah
taubat. Mengapa kemudian hak taubat itu diambil darinya, meskipun ia telah amat
menyesal atas dosanya, dan telah berulang kali menyalahkan dirinya sendiri.
Apalagi jika ia juga menangis, sedih dan takut, serta bertekad kuat dan berniat
jika ia sehat dan ia mempunyai kemampuan untuk mengerjakan perbuatan dosa itu
ia tidak akan mengerjakannya.
Juga
karena dalam syari'at, orang yang tidak dapat melakukan ketaatan dikelompokkan dalam
golongan orang yang mengerjakan ketaatan itu, jika niatnya benar. Seperti dalam
hadits sahih:
"Jika
seorang hamba sakit atau melakukan musafir, maka baginya ditulis pahala amal
yang biasa ia lakukan saat sehat dan diam di rumah."
Dan
dalam hadits sahih lainnya dari Rasulullah Saw:
"Sesungguhnya
di Madinah adalah sekelompok orang yang jika kalian melakukan perjalanan dan
menelusuri lembah ngarai niscaya mereka juga bersama kalian. Para sahabat
bertanya: "Dan saat itu mereka berada di Madinah"?. Rasulullah Saw
menjawab: mereka berada di Madinah, dan tidak dapat ikut bersama kalian semata
karena mereka mempunyai uzur".
Banyak
lagi terdapat hadits sejenis. Maka meletakkan orang yang tidak dapat melakukan
maksiat, yang meninggalkan maksiat itu secara terpaksa (sambil ia berniat akan
meninggalkan kemaksiatan itu secara suka rela jika ia mempunyai kemampuan) pada
posisi seperti orang yang meninggalkan sesuatu kemaksiatan dengan pilihan dan
tekadnya sendiri, adalah lebih utama.
Ia
menjelaskan: kemafsadatan dosa yang diancam akan diberikan hukuman itu kadang
timbul dari keinginannya, atau dari mengerjakannya. Dan kemafsadatan itu tidak
terdapat dalam orang yang tidak dapat melakukan maksiat itu, baik tekad atau
mengerjakannya langsung. Dan hukuman adalah mengikuti mafsadat itu.
Jika
orang ini tidak dapat melakukannya, ia masih dapat menghayalkan dan
menginginkannya. Dan di antara niatnya adalah: Jika ia sehat ia akan
melakukannya. Maka taubatnya itu adalah dengan membersihkan dirinya dari
keinginan dan khayalannya itu. Keinginan untuk terus melakukan dosa itu masih
terdapat dalam dirinya tentunya, kemudian ia berkeinginan untuk melakukan yang
sebaliknya, maka itu adalah taubatnya. Itu baginya lebih mungkin dan dapat
terjadi daripada berkeinginan untuk terus menjalankan maksiat. Ini amat jelas.
Perbedaan
antara orang seperti ini dengan orang yang sedang menghadapi kematiannya serta
orang yang sedang menghadapi hari kiamat adalah: beban (taklif) telah
terputuskan ketika datang kematian dan saat hari kiamat datang. Sedangkan
taubat itu masih dalam masa taklif (beban). Dan orang yang lemah ini tidak
terputus baginya taklif. Maka perintah dan larangan masih melekat padanya.
Mencegah berbuat dosa masih dapat ia lakukan, daripada menginginkan dan
merindukan kemaksiatan itu, serta menyesal tidak dapat melakukannya. Kemudian
ia mengganti semua itu dengan penyesalan dan kesedihan karena ia telah
melakukannya. Wallahu a'lam. [Madarij Salikin: 1 / 283 - 286.]
Komentar