Ummul Mu’minin
(istri-istri Nabi)
1. 'Khadijah binti
Khuwailid'
'Khadijah binti
Khuwailid' (Bahasa Arab:خديجة, Khadijah al-Kubra[1]) (sekitar
555/565/570 - 619/623) merupakan isteri pertama Nabi Muhammad. Nama lengkapnya
adalah Khadijah binti Khuwailid bin Asad bin Abdul Uzza bin Qushai. Khadijah
al-Kubra, anak perempuan dari Khuwailid bin Asad dan Fatimah binti Za'idah,
berasal dari kabilah Bani Asad dari suku Quraisy. Ia merupakan wanita
as-Sabiqun al-Awwalun.
Kelahiran & Kehidupan Keluarga
Khadijah berasal dari golongan
pembesar Mekkah. Menikah dengan Nabi Muhammad, ketika berumur 40 tahun,
manakala Nabi Muhammad berumur 25 tahun. Ada yang mengatakan usianya saat itu
tidak sampai 40 tahun, hanya sedikit lebih tua dari Nabi Muhammad. Khadijah
merupakan wanita kaya dan terkenal. Khadijah bisa hidup mewah dengan hartanya
sendiri. Meskipun memiliki kekayaan melimpah, Khadijah merasa kesepian hidup
menyendiri tanpa suami, karena suami pertama dan keduanya telah meninggal.
Beberapa sumber menyangkal bahwa Khadijah pernah menikah sebelum bertemu Nabi
Muhammad.
Pada suatu hari, saat pagi buta,
dengan penuh kegembiraan ia pergi ke rumah sepupunya, yaitu Waraqah bin Naufal.
Ia berkata, “Tadi malam aku bermimpi sangat menakjubkan. Aku melihat matahari
berputar-putar di atas kota Mekkah, lalu turun ke arah bumi. Ia semakin
mendekat dan semakin mendekat. Aku terus memperhatikannya untuk melihat kemana
ia turun. Ternyata ia turun dan memasuki rumahku. Cahayanya yang sangat agung
itu membuatku tertegun. Lalu aku terbangun dari tidurku". Waraqah
mengatakan, “Aku sampaikan berita gembira kepadamu, bahwa seorang lelaki agung dan
mulia akan datang meminangmu. Ia memiliki kedudukan penting dan kemasyhuran
yang semakin hari semakin meningkat". Tak lama kemudian Khadijah
ditakdirkan menjadi isteri Nabi Muhammad.
Ketika Nabi Muhammad masih muda dan
dikenal sebagai pemuda yang lurus dan jujur sehingga mendapat julukan Al-Amin,
telah diperkenankan untuk ikut menjualkan barang dagangan Khadijah. Hal yang
lebih banyak menarik perhatian Khadijah adalah kemuliaan jiwa Nabi Muhammad.
Khadijah lah yang lebih dahulu mengajukan permohonan untuk meminang Beliau,
yang pada saat itu bangsa Arab jahiliyah memiliki adat, pantang bagi seorang
wanita untuk meminang pria dan semua itu terjadi dengan adanya usaha orang
ketiga, yaitu Nafisah Binti Munyah dan peminangan dibuat melalui paman Muhammad
yaitu Abu Thalib. Keluarga terdekat Khadijah tidak menyetujui rencana
pernikahan ini. Namun Khadijah sudah tertarik oleh kejujuran, kebersihan dan
sifat-sifat istimewa Beliau ini, sehingga ia tidak memedulikan segala kritikan
dan kecaman dari keluarga dan kerabatnya.
Khadijah yang juga seorang yang
cerdas, mengenai ketertarikannya kepada Nabi Muhammad mengatakan, “Jika segala
kenikmatan hidup diserahkan kepadaku, dunia dan kekuasaan para raja Persia dan
Romawi diberikan kepadaku, tetapi aku tidak hidup bersamamu, maka semua itu tak
lebih berharga bagiku daripada sebelah sayap seekor nyamuk.
”Sewaktu malaikat turun membawa wahyu
kepada Muhammad maka Khadijah adalah orang pertama yang mengakui kenabian
suaminya, dan wanita pertama yang memeluk Islam. Sepanjang hidupnya bersama
Nabi, Khadijah begitu setia menyertainya dalam setiap peristiwa suka dan duka.
Setiap kali suaminya ke Gua Hira’, ia pasti menyiapkan semua perbekalan dan
keperluannya. Seandainya Nabi Muhammad agak lama tidak pulang, Khadijah akan
melihat untuk memastikan keselamatan suaminya. Sekiranya Nabi Muhammad khusyuk
bermunajat, Khadijah tinggal di rumah dengan sabar sehingga Beliaau pulang.
Apabila suaminya mengadu kesusahan serta berada dalam keadaan gelisah, beliau
coba sekuat mungkin untuk mententram dan menghiburkan, sehingga suaminya
benar-benar merasa tenang. Setiap ancaman dan penganiayaan dihadapi bersama.
Allah mengkaruniakannya 3 orang anak, yaitu Qasim, Abdullah, dan Fatimah.
Dalam banyak kegiatan peribadatan
nabi Muhammad, Khadijah pasti bersama dan membantunya, seperti menyediakan air
untuk mengambil wudhu.Nabi Muhammad menyebut keistimewaan terpenting Khadijah
dalam salah satu sabdanya, “Di saat semua orang mengusir dan menjauhiku, ia
beriman kepadaku. Ketika semua orang mendustakan aku, ia meyakini kejujuranku.
Sewaktu semua orang menyisihkanku, ia menyerahkan seluruh harta kekayaannya
kepadaku.” Khadijah telah hidup bersama-sama Nabi Muhammad selama 24 tahun dan
wafat dalam usia 64 tahun 6 bulan.
Saudah binti Zam’a
( Istri yang Taat dan Menyenangkan
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam)
NAMA DAN NASABNYA
Dia adalah ummul mukminin Saudah
bintu Zama’ah bin Qois bin Abdu Syams bin Abdu Wudd Al-Amiriyyah
radhiallahu’anha. Ibunya adalah Syamusy bintu Qois bin Zaid An-Najjariiyyah.
Dia adalah wainta yang dinikahi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
sepeninggal Khadijah radhiallahu’anha, kemudian menjadi istri satu-satunya bagi
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam masuk berumah tangga dengan Aisyah.
SIFAT-SIFATNYA
Dia termasuk golongan wanita yang
agung dan mulia nasabnya. Tergolong para wanita yang cerdas akalnya.
Perawakannya tinggi dan besar. Termasuk istri yang menyenangkan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kesegaran candanya.
PERNIKAHANNYA DENGAN RASULULLAH
SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM
Sebelum menikah dengan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, Saudah telah menikah dengan Sakran bin Amr
Al-Amiry, mereka berdua masuk Islam dan kemudian berhijrah ke Habasyah bersama
dengan rombongan sahabat yang lainnya.
Ketika Sakran dan istrinya Saudah
tiba dari Habasyah maka Sakran jatuh sakit dan meninggal. Maka jadilah Saudah
menjanda. Kemudian datanglah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meminang
Saudah dan diterima oleh Saudah dan menikahlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam dengan Saudah pada bulan Ramadhan tahun 10 Hijriyah.
Saudah adalah tipe seorang istri yang
menynangkan suaminya dengan kesegaran candanya, sebagaimana dalam kisah yang
diriwayatkan oleh Ibrahim AN-Nakha’i bahwasanya Saudah berkata kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah tadi malam aku
shalat di belakangmu, ketika ruku’ punggungmu menyentuh hidungku dengan keras,
maka aku pegang hidungku karena takut kalau keluar darah,” maka tertawalah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Ibrahim berkata, Saudah bisa membuat
tertawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan candanya. (Thobaqoh
Kubra, 8:54).
Ketika Saudah sudah tua Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam berniat hendak mencerainya, maka Saudah berkata
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah janganlah
Engkau menceraikanku. Bukanlah aku masih menghendaki laki-laki, tetapi karena
aku ingin dibangkitkan dalam keadaan menjadi istrimu, maka tetapkanlah aku
menjadi istrimu dan aku berikan hari giliranku kepada Aisyah.” Maka Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabulkan permohonannya dan tetap menjadikannya
salah seorang istrinya sampai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal.
Dalam hal ini turunlah ayat Alquran,
وَإِنِ امْرَأَةٌ
خَافَتْ مِن بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلاَجُنَاحَ عَلَيْهِمَآ أَن
يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا وَالصُّلْحُ خَيْرٌ وَأُحْضِرَتِ اْلأَنفُسُ
الشُّحَّ وَإِن تُحْسِنُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ
خَبِيرًا
Dan jika seorang perempuan khawatir
suaminya akan nusyuz ** atau bersikap tidak acuh, maka keduanya dapat
mengadakan perdamaian yang sebenarnya,**dan perdamaian itu lebih baik (bagi
mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir.**Dan jika kamu
memperbaiki (pergaulan dengan istrimu) dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan
sikap acuh tak acuh), maka sungguh, Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu
kerjakan. (QS. An-Nisa: 128)
**Lihat arti nusyuz bagi pihak istri
dalam catatan kaki Q.S. 4 an-Nisā‘: 34. Nusyuz dari pihak suami ialah bersikap
keras terhadap istrinya; tidak mau menggaulinya dan tidak mau memberikan
haknya.
**Seperti istri bersedia beberapa
haknya dikurangi asal suaminya mau baik kembali
**Tabiat manusia itu tidak mau
melepaskan sebagian haknya kepada orang lain dengan seikhlas hatinya,
kendatipun demikian jika istri melepaskan sebagian haknya, maka boleh suami
menerimanya (QS. An-Nisa: 128)
KEUTAMAAN-KEUTAMAANNYA
Aisyah berkata, “Saudah meminta izin
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada waktu malam Muzdalifah
untuk berangkat ke Mina sebelum berdesak-desakkannya manusia. Dia adalah
perempuan yang berat jika berjalan, sungguh kalau saat itu aku meminta izin
kepadanya lebih aku sukai daripada orang yang dilapangkan.” (Thobaqoh Kubra,
8:54)
Aisyah berkata, “Aku tidak pernah
melihat wanita yang paling aku ingin sekali menjadi dia daripada Saudah bintI
Zam’ah, ketika dia tua dia berikan gilirannya dari Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam kepadaku.” (Shahih Muslim, 2:1085)
Di antara keutamaan Saudah adalah
ketaatan dan kesediaannya yang sangat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, ketika haji wada’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
kepada istri-istrinya, “Ini adalah saat haji bagi kalian kemudian setelah ini
hendaknya kalian menahan diri di rumah-rumah kalian,” maka sepeninggal
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam Saudah selalu di rumahnya dan tidak
berangkat haji lagi sampai dia meninggal. (Sunan Abu Dawud 2:140)
Suatu saat Sa’ad bin Waqqash dan Abd
bin Zam’ah saudara laki-laki Saudah berebut seorang anak di hapadan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, Sa’ad berkata, “Wahai Rasulullah ini adalah anak
saudaraku Utbah bin Abi Waqqash yang telah diserahkan kepadaku semasa hidupnya,
lihatlah kemiripannya dengannya,” Abd bin Zam’ah berkata, “Wahai Rasulullah ini
adalah saudaraku karena dilahirkan di ranjang bapakku dari budak perempuannya,”
maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat anak tersebut dan merasakan
kemiripannya yang sangat dengan Utbah bin Abi Waqqash, kemudian Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Dia adalah milikmu wahai Abd. Anak
adalah bagi pemilik ranjang, dan yang berzina terhalang darinya, dan
berhijablah Engkau darinya wahai Saudah!” Aisyah berkata, “Maka anak itu tidak
pernah melihat Saudah sesudah itu.” (Shahih Bukhari, 2:773 no
6749 dan Shahih Muslim, 2:1080)
Aisyah berkata, “Sesudah turun ayat
hijab keluarlah Saudah di waktu malam untuk menunaikan hajatnya. Dia adalah
wanita yang berperawakan tinggi besar sehingga mudah sekali dibedakan dari
wanita yang lainnya. Saat itu Umar melihatnya dan berkata, “Wahai Saudah demi
Allah kami tetap bisa mengenalimu,” maka lihatlah bagaimana Engkau keluar, maka
Saudah segera kembali dan menuju kepada Rasulullah yang waktu itu di rumah
Aisyah. Pada saat itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang makan
malam, di tangannya ada sepotong daging, maka masuklah Saudah kepadanya seraya
berkata, “Wahai Rasulullah sesungguhnya aku keluar untuk sebagai keperluanku
dalam keadaan berhijab tetapi Umar mengatakan ini dan itu,” maka saat itu
turunlah wahyu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya telah diizinkan bagi
kalian para wanita untuk keluar menunaikan hajatmu.” (Shahih Bukhari, 1:67 no.
4795 dan Shahih Muslim 4:1709)
Saudah terkenal juga dengan
kezuhudannya, ketika Umar mengirim kepadanya satu wadah berisi dirham, ketika
sampai kepadanya maka dibagikannya (Thobaqoh Kubra, 8:56 dan Dishahihkan
sanadnya oleh Ibnu Hajar dalam Al-Ishobah, 7:721).
PERAN SAUDAH BINTI ZAMA’AH DI DALAM
PENYEBARAN SUNNAH-SUNNAH RASULULLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM
Saudah termasuk deretan istri-istri
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menghafal dan menyampaikan
sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hadis-hadisnya
diriwayatkan oleh para imam yang terkemuka seperti Ahmad, Bukhari, Abu Dawud
dan Nasai.
WAFATNYA
Saudah meninggal di akhir kekhilafan Umar
di Madinah tahun 54 Hijriyah. Sebelum dia meninggal, dia mewasiatkan rumahnya
kepada Aisyah. Semoga Allah meridhainya dan membalasnya dengan kebaikan yang
melimpah.
3. AISYAH
RODIYALLAH ANHA
Sejarah Islam telah mengukir beberapa
perempuan yang patut dijadikan teladan oleh para muslimah masa kini. Salah
satunya adalah Aisyah As-shidiq. Perempuan satu-satunya yang masih gadis
dinikahi oleh Nabi Muhammad Saw, ketika ia berusia 7 tahun. Beliau juga
merupakan putri dari Abu Bakar As-Shidiq yang tak lain adalah mertua dan
sahabat Rasulullah saw.
Banyak sekali kisah yang
menggambarkan tentang kepribadian beliau, setidaknya dapat dijadikan contoh
oleh para muslimah masa kini yang juga memiliki peran dalam menjalankan roda
dakwah yang ada saat ini. Karena Islam telah menawarkan porsi berimbang dan adil, tidak seperti halnya
emansipasi yang ditawarkan dewasa ini. Terkadang kerap menyalahi kodratnya
sebagai perempuan. Namun di zaman Rasulullah saw, perempuan juga ikut diperhitungkan
dalam kancah dakwah. Bagaimana Rasulullah menjadikan Aisyah ra sebagai patner
dakwah yang dapat mendukung perjuangan beliau dalam menghadapi berbagai
permasalahan umat kala itu.
Ada beberapa kepribadian beliau yang
dapat dijadikan contoh oleh para muslimah untuk berkiprah dalam kehidupan.
Diantaranya adalah sebagai berikut ini:
Pribadi yang Haus Ilmu
Selama Sembilan tahun Aisyah ra hidup
dengan Rasulullah saw. Beliau dikenal sebagai pribadi yang haus akan ilmu
pengetahuan. Ketekunan dalam belajar menghantarkan beliau sebagai perempuan yang
banyak menguasai berbagai bidang ilmu. Diantaranya adalah ilmu al-qur’an,
hadist, fiqih, bahasa arab dan syair. Keilmuan Aisyah tidak diragukan lagi
karena beliau adalah orang terdekat Rasulullah yang sering mengikuti pribadi
Rasulullah. Banyak wahyu yang turun dari
Allah disaksikan langsung oleh Aisyah
ra.
“Aku pernah melihat wahyu turun
kepada Rasulullah pada suatu hari yang sangat dingin sehingga beliau tidak
sadarkan diri, sementara keringat bercucuran dari dahi beliau.“ (HR. Bukhari).
Aisyah juga dikenal sebagai perempuan
yang banyak menghapalkan hadist-hadist Rasulullah. Sehingga beliau mendapat
gelar Al-mukatsirin (orang yang paling banyak meriwayatkan hadist). Ada
sebanyak 2210 hadist yang diriwayatkan oleh Aisyah ra. Diantaranya terdapat 297
hadist dalam kitab shahihain dan
sebanyak 174 hadist yang mencapai derajat muttafaq ‘alaih. Bahkan para ahli
hadist menempatkan beliau pada posisi kelima penghafal hadist setelah Abu
Hurairah, Ibnu Umar, Anas bin Malik, dan Ibnu Abbas.
Pribadi yang Tegas dalam Menegakkan
Hukum Allah
Aisyah juga dikenal sebagai pribadi
yang tegas dalam mengambil sikap. Hal ini terlihat dalam penegakan hukum Allah,
Aisyah langsung menegur perempuan-perempuan muslim yang melanggar hukum Allah.
Suatu ketika dia mendengar bahwa kaum
wanita dari Hamash di Syam mandi di tempat pemandian umum. Aisyah mendatangi
mereka dan berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam.
bersabda, ‘Perempuan yang menanggalkan pakaiannya di rumah selain rumah
suaminya maka dia telah membuka tabir penutup antara dia dengan Tuhannya.“ (HR.
Ahmad, Abu Daud, dan Ibnu Majah)
Aisyah pun pernah menyaksikan adanya
perubahan pada pakaian yang dikenakan wanita-wanita Islam setelah Rasulullah
wafat. Aisyah menentang perubahan tersebut seraya berkata, “Seandainya
Rasulullah melihat apa yang terjadi pada wanita (masa kini), niscaya beliau
akan melarang mereka memasuki masjid sebagaimana wanita Israel dilarang
memasuki tempat ibadah mereka.”
Di dalam Thabaqat Ibnu Saad
mengatakan bahwa Hafshah binti Abdirrahman menemui Ummul-Mukminin Aisyah .
Ketika itu Hafsyah mengenakan kerudung tipis. Secepat kilat Aisyah menarik
kerudung tersebut dan menggantinya dengan kerudung yang tebal.
Pribadi yang Dermawan
Dalam hidupnya Aisyah ra juga dikenal
sebagai pribadi yang dermawan. Dalam sebuah kisah diceritakan bahwa Aisyah ra
pernah menerima uang sebanyak 100.000 dirham. Kemudian beliau meminta para
pembantunya untuk membagi-bagikan uang tersebut kepada fakir miskin tanpa
menyisakan satu dirhampun untuk beliau. Padahal saat itu beliau sedang
berpuasa.
Harta duniawi tidak menyilaukan
Aisyah ra. Meskipun pada saat itu kelimpahan kekayaan berpihak kepada kaum
muslimin. Aisyah ra tetap hidup dalam kesederhanaan sebagaimana yang
dicontohkan oleh Rasulullah saw.
Menjadi Problem Solver
Kecerdasan dan keluasan ilmu yang
dimiliki Aisyah ra sudah tidak diragukan
lagi. Bahkan beliau dijadikan tempat bertanya para kaum wanita dan para sahabat
tentang permasalahan hukum agama, maupun kehidupan pribadi kaum muslimin secara
umum.
Hisyam bin Urwah meriwayatkan hadis
dari ayahnya. Dia mengatakan: “Sungguh aku telah banyak belajar dari ‘Aisyah.
Belum pernah aku melihat seorang pun yang lebih pandai daripada ‘Aisyah tentang
ayat-ayat Al-Qur’an yang sudah diturunkan, hukum fardhu dan sunnah, syair,
permasalahan yang ditanyakan kepadanya, hari-hari yang digunakan di tanah Arab,
nasab, hukum, serta pengobatan.
Setelah Rasulullah meninggal dunia,
Aisyah ra menghabiskan hidupnya untuk perkembangan dan kemajuan Islam. Rumah
beliau tak pernah sepi dari pengunjung untuk bertanya berbagai permasalahan
syar’iat . Sampai-sampai Khalifah Umar bin khatab dan Usman bin Affan
mengangkat beliau menjadi penasehat. Hal ini merupakan wujud penghormatan Umar dan Ustman terhadap kemuliaan Ilmu yang
dimiliki oleh Aisyah ra.
Sosok Aisyah ra merupakan teladan
yang tepat bagi muslimah tanpa perlu menggembar-gemborkan masalah emansipasi
yang terjadi saat ini. Keberadaan Aisyah sudah membuktikan bahwa perempuan juga
diberikan posisi yang layak di zaman Rasulullah saw dan para shahabat. (Syarifuddin
SS dari berbagai sumber)
Hafshah, demikian nama singkat yang
dimiliki putri Khalifah Umar bin Khathab. Hafshah dikenal sebagai sosok
perempuan yang cerdas.
Ia dikaruniai kemampuan yang tak
lazim dimiliki oleh perempuan semasanya, yaitu mahir menulis dan membaca. Bagi
ukuran perempuan di masa itu, ia dikenal pemberani. Karakter itu merupakan
warisan dari sang ayah.
Sikap itu diakui oleh Aisyah RA. Ia
melukiskan sifat Hafshah sama dengan Umar bin Khathab. Dalam hal keberanian, ia
memiliki kepribadian yang kuat dan ucapan yang tegas. Ketika itu,
pascameninggalnya Umar bin Khathab, muncul ketegangan politik internal kaum
Muslimin.
Aisyah memintanya membela Usman dan
mendukung kekhalifahannya. Namun, permintaan itu ditolak oleh Hafshah. Ia lebih
memilih beribadah, terutama berpuasa dan shalat malam hingga akhir hidupnya.
Hafshah dilahirkan pada tahun yang
sangat terkenal dalam sejarah orang Quraisy. Saat Nabi Muhammad memindahkan
Hajar Aswad ke tempatnya semula, Ka’bah. Kelahiran itu terjadi di Makkah, 18
tahun sebelum peristiwa hijrah. Tepat lima tahun sebelum Muhammad SAW diutus
sebagai Rasul.
Dalam sebuah riwayat disebutkan,
ketika itu Ka’bah pernah dibangun kembali setelah roboh diterjang banjir. Tahun
yang sama, saat Fathimah Az-Zahra—putri bungsu Rasulullah—dilahirkan.
Diriwayatkan, beberapa hari setelah
Fathimah lahir, istri Umar bin Khathab, Zainab binti Madh’un melahirkan
Hafshah. Umar sempat cemas karena pada zaman itu kelahiran bayi perempuan
dianggap membawa aib keluarga.
Diperistri Rasulullah
Hafshah belia menikah dengan Khunais
bin Hudzafah As-Saham. Ia adalah anggota pasukan perang Muslim yang berani.
Khunais ikut berperang melawan orang-orang musyrik Quraisy pada Perang Badar di
Madinah. Di perang tersebut, ia mengalami luka yang cukup parah hingga akhirnya
syahid dan meninggal dunia. Selama sakit, Hafshah selalu setia mendampingi dan
merawat suaminya.
4. Hafshah binti Umar
Hafshah binti Umar (Arab:حفصة بنت عمر) adalah salah
seorang istri Muhammad. Ia seorang janda dari seorang pria bernama Khunais bin
Hudhafah al-Sahmiy yang meninggal dunia saat Perang Badar.Daftar isi
1 Genealogi
2 Biografi
2.1 Masa Petumbuhannya
2.2 Memeluk Islam
2.3 Menikah dan Hijrah ke Madinah
2.4 Cobaan dan Ganjaran
2.5 Berada di Rumah Rasulullah
2.6 Cobaan Besar
2.7 Pemilik Mushaf yang Pertama
3 Lihat pula
4 Referensi
Genealogi
Nama lengkap Hafshah adalah Hafshah
binti Umar bin Khaththab bin Naf’al bin Abdul-Uzza bin Riyah bin Abdullah bin
Qurt bin Rajah bin Adi bin Luay dari suku Arab Adawiyah. Ibunya adalah Zaynab
binti Madh’un bin Hubaib bin Wahab bin Hudzafah, saudara perempuan Utsman bin
Madh’un.
Biografi
Masa Petumbuhannya
Hafshah dilahirkan pada tahun yang
sangat terkenal dalam sejarah orang Quraisy, yaitu ketika Rasullullah
memindahkan Hajar Aswad ke tempatnya semula setelah Ka’bah dibangun kembali
setelah roboh karena banjir. Pada tahun itu juga dilahirkan Fathimah az-Zahra,
putri bungsu Rasulullah dari empat putri, dan kelahirannya disambut gembira oleh
beliau. Beberapa hari setelah Fathimah lahir, lahirlah Hafshah binti Umar bin
Khaththab. Mendengar bahwa yang lahir adalah bayi wanita, Umar sangat berang
dan resah, sebagaimana kebiasaan bapak-bapak Arab Quraisy ketika mendengar
berita kelahiran anak perempuannya. Waktu itu mereka menganggap bahwa kelahiran
anak perempuan telah membawa aib bagi keluarga. Padahal jika saja ketika itu
Umar tahu bahwa kelahiran anak perempuannya akan membawa keberuntungan, tentu
Umar akan menjadi orang yang paling bahagia, karena anak yang dinamai Hafshah
itu kelak menjadi istri Rasulullah. Di dalam Thabaqat, Ibnu Saad berkata,
“Muhammad bin Umar berkata bahwa Muhammad bin Zaid bin Aslam, dari ayahnya,
dari kakeknya, Umar mengatakan, ‘Hafshah dilahirkan pada saat orang Quraisy
membangun Ka’bah, lima tahun sebe1um Nabi diutus menjadi Rasul.”
Sayyidah Hafshah r.a. dibesarkan
dengan mewarisi sifat ayahnya, Urnar bin Khaththab. Dalarn soal keberanian, dia
berbeda dengan wanita lain, kepribadiannya kuat dan ucapannya tegas. Aisyah
melukiskan bahwa sifat Hafshah sarna dengan ayahnya. Kelebihan lain yang
dirniliki Hafshah adalah kepandaiannva dalarn rnernbaca dan menulis, padahal
ketika itu kernampuan tersebut belum lazirn dirniliki oleh kaurn perempuan.
Memeluk Islam
Hafshah tidak termasuk ke dalam
golongan orang yang pertama masuk Islam, karena ketika awal-awal penyebaran
Islam, ayahnya, Umar bin Khaththab, masih menjadi musuh utama umat Islam hingga
suatu hari Umar tertarik untuk masuk Islam. Ketika suatu waktu Umar mcngetahui
keislaman saudara perempuannya, Fathimah dan suaminya Said bin Zaid, dia sangat
marah dan berniat menyiksa mereka. Sesampainya di rumah saudara perempuannya,
Umar mendengar bacaan Al-Qur’an yang mengalun dan dalam rumah, dan memuncaklah
amarahnya ketika dia memasuki rumah tersebut. Tanpa ampun dia menampar mereka
hingga darah mengucur dari kening keduanya. Akan tetapi, hal yang tidak terduga
terjadi, hati Umar tersentuh ketika melihat darah mengucur dari dahi adiknya,
kemudian diambilnyalah Al Qur’an yang ada pada mereka. Ketika selintas dia
membaca awal surat Thaha, terjadilah keajaiban. Hati Umar mulai diterangi
cahaya kebenaran dan keimanan. Allah telah mengabulkan doa Nabi . yang
mengharapkan agar Allah membuka hati salah seorang dari dua Umar kepada Islam.
Yang dimaksud Rasulullah dengan dua Umar adalah Amr bin Hisyam atau lebih
dikenal dengan Abu Jahl dan Umar bin Khaththab.
Setelah kejadian itu, dari rumah
adiknya dia segera menuju Rasulullah dan menyatakan keislaman di hadapan
beliau, Umar bin Khaththab bagaikan bintang yang mulai menerangi dunia Islam
serta mulai mengibarkan bendera jihad dan dakwah hingga beberapa tahun setelah
Rasulullah wafat. Setelah menyatakan keislaman, Umar bin Khaththab segera
menemui sanak keluarganya untuk mengajak mereka memeluk Islam. Seluruh anggota
keluarga menerima ajakan Umar, termasuk di dalamnya Hafshah yang ketika itu
baru berusia sepuluh tahun.
Menikah dan Hijrah ke Madinah
Keislaman Umar membawa keberuntungan
yang sangat besar bagi kaum muslimin dalam menghadapi kekejaman kaum Quraisy.
Kabar keislaman Umar ini mernotivasi para muhajirin yang berada di Habasyah
untuk kembali ke tanah asal rnereka setelah sekian larna ditinggalkan. Di
antara mereka yang kembali itu terdapat seorang pemuda bernama Khunais bin
Hudzafah as-Sahami. Pemuda itu sangat mencintai Rasulullah sebagaimana dia pun
mencintai keluarga dan kampung halamannya. Dia hijrah ke Habasyah untuk
rnenyelamatkan diri dan agamanya. Setibanya di Mekah, dia segera mengunjungi
Umar bin Khaththab, dan di sana dia melihat Hafshah. Dia meminta Umar untuk
menikahkan dirinya dengan Hafshah, dan Umar pun merestuinya. Pernikahan antara
mujahid dan mukminah mulia pun berlangsung. Rumah tangga mereka sangat
berbahagia karena dilandasi keirnanan dan ketakwaan.
Ketika Allah menerangi penduduk
Yatsrib sehingga memeluk Islam, Rasulullah . menernukan sandaran baru yang
dapat membantu kaum muslimin. Karena itulah beliau mengizinkan kaum muslimin
hijrah ke Yatsrib untuk menjaga akidah mereka sekaligus menjaga mereka dan
penyiksaan dan kezaliman kaum Quraisy. Dalam hijrah ini, Hafshah dan suaminya
ikut serta ke Yatsrib.
Cobaan dan Ganjaran
Setelah kaum muslirnin berada di
Madinah dan Rasulullah . berhasil menyatukan mereka dalam satu barisan yang
kuat, tiba saatnya bagi mereka untuk menghadapi orang musyrik yang telah
memusuhi dan mengambil hak mereka. Selain itu, perintah Allah untuk berperang
menghadapi orang musyrik sudah tiba.
Peperangan pertarna antara umat Islam
dan kaum musyrik Quraisy adalah Perang Badar. Dalam peperangan ini, Allah telah
menunjukkan kemenangan bagi harnba- hamba-Nya yang ikhlas sekalipun jumlah
mereka masih sedikit. Khunais termasuk salah seorang anggota pasukan muslimin,
dan dia mengalami luka yang cukup parah sekembalinya dari peperangan tersebut.
Hafshah senantiasa berada di sisinya dan mengobati luka yang dideritanya, namun
Allah berkehendak memanggil Khunais sebagai syahid dalam peperangan pertama
melawan kebatilan dan kezaliman, sehingga Hafshah menjadi janda. Ketika itu
usia Hafshah baru delapan belas tahun, namun Hafshah telah memiliki kesabaran
atas cobaan yang menimpanya.
Umar sangat sedih karena anaknya
telah menjadi janda pada usia yang sangat muda, sehingga dalam hatinya terbetik
niat untuk menikahkan Hafshah dengan seorang muslim yang saleh agar hatinya
kembali tenang. Untuk itu dia pergi ke rumah Abu Bakar dan merninta
kesediaannya untuk menikahi putrinya. Akan tetapi, Abu Bakar diam, tidak
menjawab sedikit pun. Kemudian Umar menemui Utsman bin Affan dan meminta
kesediaannya untuk menikahi putrinya. Akan tetapi, pada saat itu Utsman masih
berada dalam kesedihan karena istrinya, Ruqayah binti Muhammad, baru meninggal.
Utsman pun menolak permintaan Umar. Menghadapi sikap dua sahabatnya, Uman
sangat kecewa, dan dia bertambah sedih karena memikirkan nasib putrinya.
Kemudian dia menemui Rasulullah dengan maksud mengadukan sikap kedua
sahabatnya. Mendengar penuturan Umar, Rasulullah . bersabda, “Hafshah akan
menikah dengan seseorang yang lebih baik daripada Utsman dan Abu Bakar. Utsman
pun akan menikah dengan seseorang yang lebih baik daripada Hafshah.” Semula
Umar tidak memahami maksud ucapan Rasulullah, tetapi karena kecerdasan akalnya,
dia kemudian memahami bahwa Rasulullah yang akan meminang putrinya.
Umar merasa sangat terhormat mendengar
niat Rasulullah untuk menikahi putrinya, dan kegernbiraan tampak pada wajahnya.
Umar langsung menernui Abu Bakar untuk mengutarakan maksud Rasulullah. Abu
Bakar berkata, “Aku tidak bermaksud menolakmu dengan ucapanku tadi, karena aku
tahu bahwa Rasulullah telah rnenyebut-nyebut nama Hafshah, namun aku tidak
mungkin membuka rahasia beliau kepadamu. Seandainya Rasulullah membiarkannya,
tentu akulah yang akan menikahi Hafshah.” Umar baru memahami mengapa Abu Bakar
menolak menikahi putrinya. Sedangkan sikap Utsman hanya karena sedih atas
meninggalnya Ruqayah dan dia bermaksud menyunting saudaranya, Ummu Kultsum,
sehingga nasabnya dapat terus bersambung dengan Rasulullah. Setelah Utsman
menikah dengan Ummu Kultsum, dia dijuluki dzunnuraini (pemilik dua cahaya).
Pernikahan Rasulullah . dengan Hafshah lebih dianggap sebagai penghargaan
beliau terhadap Umar, di samping juga karena Hafshah adalah seorang janda
seorang mujahid dan muhajir, Khunais bin Hudzafah as-Sahami.
Berada di Rumah Rasulullah
Di rumah Rasulullah, Hafshah
menempati kamar khusus, sama dengan Saudah binti Zum’ah dan Aisyah binti Abu
Bakar. Secara manusiawi, Aisyah sangat mencemburui Hafshah karena mereka
sebaya, lain halnya Saudah binti Zum’ah yang menganggap Hafshah sebagai wanita
mulia putri Umar bin Khaththab, sahabat Rasulullah yang terhormat.
Umar memahami bagaimana tingginya
kedudukan Aisyah di hati Rasulullah. Dia pun rnengetahui bahwa orang yang
rnenyebabkan kemarahan Aisyah sama halnya dengan menyebabkan kemarahan
Rasulullah, dan yang ridha terhadap Aisyah berarti ridha terhadap Rasulullah.
Karena itu Umar berpesan kepada putrinya agar berusaha dekat dengan Aisyah dan
mcncintainya. Selain itu, Umar meminta agar Hafshah rnenjaga tindak-tanduknya
sehingga di antara mereka berdua tidak terjadi perselisihan. Akan tetapi,
mcmang sangat manusiawi jika di antara mereka rnasih saja terjadi
kesalahpahaman yang bersumber dari rasa cemburu. Dengan lapang dada Rasulullab
. mendamaikan mereka tanpa menimbulkan kesedihan di antara istri – istrinya. Salah
satu contoh adalah kejadian ketika Hafshah melihat Mariyah al-Qibtiyah datang
rnenemui Nabi dalam suatu urusan. Mariyah berada jauh dari masjid, dan
Rasulullah menyuruhnya masuk ke dalarn rumah Hafshah yang ketika itu sedang
pergi ke rumah ayahnya, dia melihat tabir karnar tidurnya tertutup, sementara
Rasulullah dan Mariyah berada di dalamnya. Melihat kejadian itu, amarah Hafshah
meledak. Hafshah menangis penuh amarah. Rasulullah berusaha membujuk dan
meredakan amarah Hafshah, bahkan beliau bersumpah rnengharamkan Mariyah baginya
kalau Mariyah tidak merninta maaf pada Hafshah, dan Nabi meminta agar Hafshah
rnerahasiakan kejadian tersebut.
Merupakan hal yang wajar jika
istri-istri Rasulullah merasa cemburu terhadap Mariyah, karena dialah
satu-satunya wanita yang melahirkan putra Rasulullah setelah Siti Khadijah
r.a.. Kejadian itu segera menyebar, padahal Rasulullah telah memerintahkan
untuk menutupi rahasia tersebut. Berita itu akhirnya diketahui oleh Rasulullah
sehingga beliau sangat marah. Sebagian riwayat mengatakan bahwa setelah
kejadian tersebut, Rasulullah . menceraikan Hafshah, namun beberapa saat
kemudian beliau merujuknya kembali karena melihat ayah Hafshah, Umar, sangat
resah. Sementara riwayat lain menyebutkan bahwa Rasulullah bermaksud menceraikan
Hafshah, tetapi Jibril mendatangi beliau dengan maksud memerintahkan beliau
untuk mempertahankan Hafshah sebagai istrinya karena dia adalah wanita yang
berpendirian teguh. Rasulullah pun mempertahankan Hafshah sebagai istrinya,
terlebih karena tersebut Hafshah sangat menyesali perbuatannya dengan membuka
rahasia dan memurkakan Rasulullah .
Umar bin Khaththab mengingatkan
putrinya agar tidak lagi membangkitkan amarah Rasulullah dan senantiasa menaati
serta mencari keridhaan beliau. Umar bin Khaththab meletakkan keridhaan
Rasulullah . pada tempat terpenting yang harus dilakukan oleh Hafshah. Pada
dasarnya, Rasulullah menikahi Hafshah karena memandang keberadaan Umar dan
merasa kasihan terhadap Hafshah yang ditinggalkan suaminya. Allah menurunkan
ayat berikut ini sebagai antisipasi atas isu-isu yang tersebar.
“Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan
apa yang telah Allah menghalalkannya bagimu,- kamu mencari kesenangan hati
istri -istrimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang Sesungguhnya Allah
telah mewajibkan kepada kamu sekalian membebaskan diri dan sumpahmu; dan Allah
adalah pelindungmu dan Dia Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan ingatlah
ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang dan istri-istrinya
(Hafshah) suatu peristiwa. Maka tatkala (Hafshah) menceritakan peristiwa itu
(kepada Aisyah) dan Allah memberitahukan hal itu (semua pembicaraan antara
Hafshah dengan Aisyah) kepada Muhammad lalu Muhammad memberitahukan sebagian
(yang diberiitakan Allah kepadanya) dan rnenyembunyikan sebagian yang lain
(kepada Hafshah). Maka tatkala (Muhammad) memberitahukan pembicaraan (antara
Hafshah dan Aisyah) lalu Hafshah bertanya, ‘Siapakah yang telah memberitahukan
hal ini kepadamu?’ Nabi menjawab, ‘Telah diberitahukan kepadaku oleh Allah Yang
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. Jika kamu berdua bertobat kepada Allah,
maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan); dan
jika kamu berdua bantu membantu menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah
adalah pelindungnya (begitu pula) Jibril dan orang-orang mukrnin yang haik; dan
selain dan itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula. Jika Nabi menceraikan
kamu, boleh jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya dengan istri-istri yang
lebih baik daripada kamu, yang patuh, yang beriman, yang taat, yang bertobat,
yang mengerjakan ibadah, yang berpuasa, yang janda, dan yang perawan.” (Qs.
At-Tahrim:1-5)
Cobaan Besar
Hafshah senantiasa bertanya kepada
Rasulullah dalam berbagai rnasalah, dan hal itu menyebabkan marahnya Umar kepada
Hafshah, sedangkan Rasulullah . senantiasa memperlakukan Hafshah dengan lemah
lembut dan penuh kasih sayang. Beliau bersabda, “Berwasiatlah engkau kepada
kaum wanita dengan baik.” Rasulullah . pernah marah besar kepada istri-istrinya
ketika mereka meminta tambahan nafkah sehingga secepatnya Umar mendatangi rumah
Rasulullah. Umar melihat istri-istri Rasulullah murung dan sedih, sepertinya
telah terjadi perselisihan antara mereka dengan Rasulullah. Secara khusus Umar
memanggil putrinya, Hafshah, dan mengingatkannya untuk menjauhi perilaku yang
dapat membangkitkan amarah beliau dan menyadari bahwa beliau tidak memiliki
banyak harta untuk diberikan kepada mereka. Karena marahnya, Rasulullah
bersumpah untuk tidak berkumpul dengan istri-istri beliau selama sebulan hingga
mereka menyadari kesalahannya, atau menceraikan mereka jika mereka tidak
menyadari kesalahan. Kaitannya dengan hal ini, Allah berfirman,
“Hai Nabi, katakanlah kepada
istri-istrimu, jika kalian menghendaki kehidupan dunia dan segala perhiasannya,
maka kemarilah, aku akan memenuhi keinginanmu itu dan aku akan menceraikanmu
secara baik-baik. Dan jika kalian menginginkan (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya
serta (kesenangan) di kampung akhirat, sesungguhnya Allah akan menyediakan bagi
hamba-hamba yang baik di antara kalian pahala yang besar. “ (QS. Al-Ahzab)
Rasulullah . menjauhi istri-istrinya
selama sebulan di dalam sebuah kamar yang disebut khazanah, dan seorang budak
bernama Rabah duduk di depan pintu kamar.
Setelah kejadian itu tersebarlah
kabar yang meresahkan bahwa Rasulullah . telah menceraikan istri-jstri beliau.
Yang paling merasakan keresahan adalah Urnar bin Khaththab, sehingga dia segera
rnenemui putrinya yang sedang menangis. Urnar berkata, “Sepertinya Rasulullah
telah menceraikanmu.” Dengan terisak Hafshah menjawab, “Aku tidak tahu.” Umar
berkata, “Beliau telah menceraikanmu sekali dan merujukmu lagi karena aku. Jika
beliau menceraikanmu sekali lagi, aku tidak akan berbicara dengan mu
selama-lamanya.” Hafshah menangis dan menyesali kelalaiannya terhadap suami dan
ayahnya. Setelah beberapa hari Rasulullah . menyendiri, belum ada seorang pun
yang dapat memastikan apakah beliau menceraikan istri-istri beliau atau tidak.
Karena tidak sabar, Umar mendatangi khazanah untuk menemui Rasulullah yang sedang
rnenyendiri. Sekarang ini Umar menemui Rasulullah bukan karena anaknya,
melainkan karena cintanya kepada beliau dan merasa sangat sedih melihat keadaan
beliau, di samping memang ingin memastikan isu yang tersebar. Dia merasa
putrinyalah yang menjadi penyebab kesedihan beliau. Umar pun meminta penjelasan
dari beliau walaupun di sisi lain dia sangat yakin bahwa beliau tidak akan
menceraikan istri – istri beliau. Dan memang benar, Rasulullah . tidak akan
menceraikan istri-istri beliau sehingga Umar meminta izin untuk mengumumkan
kabar gembira itu kepada kaum muslimin. Umar pergi ke masjid dan mengabarkan
bahwa Rasulullah . tidak menceraikan istri-istri beliau. Kaum muslimin
menyambut gembira kabar tersebut, dan tentu yang lebih gembira lagi adalah istri-istri
beliau.
Setelah genap sebulan Rasulullah
menjauhi istri-istrinya, beliau kembali kepada mereka. Beliau melihat
penyesalan tergambar dari wajah mereka. Mereka kembali kepada Allah dan
Rasul-Nya. Untuk lebih meyakinkan lagi, beliau rnengurnumkan penyesalan mereka
kepada kaurn muslimin. Hafshah dapat dikatakan sebagai istri Rasul yang paling
menyesal sehingga dia mendekatkan diri kepada Allah dengan sepenuh hati dan
menjadikannya sebagai tebusan bagi Rasulullah. Hafshah memperbanyak ibadah,
terutama puasa dan salat malam. Kebiasaan itu berlanjut hingga setelah
Rasulullah wafat. Bahkan pada masa kekhalifahan Abu Bakar dan Urnar, dia
mengikuti perkembangan penaklukan-penaklukan besar, baik di bagian timur maupun
barat.
Hafshah merasa sangat kehilangan ketika
ayahnya meninggal di tangan Abu Lu’luah. Dia hidup hingga masa kekhalifahan
Utsman, yang ketika itu terjadi fitnah besar antar muslirnin yang menuntut
balas atas kematian Khalifah Utsman hingga masa pembai’atan Ali bin Abi Thalib
sebagai khalifah. Ketika itu, Hafshah berada pada kubu Aisyah sebagaimana yang
diungkapkannya, “Pendapatku adalah sebagaimana pendapat Aisyah.” Akan tetapi,
dia tidak termasuk ke dalam golongan orang yang menyatakan diri berba’iat
kepada Ali bin Abi Thalib karena saudaranya, Abdullah bin Umar, memintanya agar
berdiam di rumah dan tidak keluar untuk menyatakan ba’iat.
Tentang wafatnya Hafshah, sebagian
riwayat mengatakan bahwa Sayyidah Hafshah wafat pada tahun ke empat puluh tujuh
pada masa pemerintahan Mu’awiyah bin Abu Sufyan. Dia dikuburkan di Baqi’,
bersebelahan dengan kuburan istri-istri Nabi yang lain.
Pemilik Mushaf yang Pertama
Karya besar Hafshah bagi Islam adalah
terkumpulnya A1-Qur’an di tangannya setelah mengalami penghapusan karena dialah
satu-satunya istrii Nabi . yang pandai membaca dan menulis. Pada masa Rasul,
A1-Qur’an terjaga di dalam dada dan dihafal oleh para sahabat untuk kemudian
dituliskan pada pelepah kurma atau lembaran-lembaran yang tidak terkumpul dalam
satu kitab khusus.
Pada masa khalifah Abu Bakar, para
penghafal A1-Qur’an banyak yang gugur dalam peperangan Riddah (peperangan
rnelawan kaum murtad). Kondisi seperti itu mendorong Umar bin Khaththab untuk
mendesak Abu Bakar agar mengumpulkan Al-Qur’an yang tercecer. Awalnya Abu Bakar
merasa khawatir kalau mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu kitab itu merupakan
sesuatu yang mengada-ada karena pada zaman Rasul hal itu tidak pernah
dilakukan. Akan tetapi, atas desakan Umar, Abu bakar akhirnya memerintah
Hafshah untuk mengumpulkan Al-Qur’an, sekaligus menyimpan dan memeliharanya.
Mushaf asli Al-Qur’an itu berada di rumah Hafshah hingga dia meninggal.
5. ZAINAB binti
KHUZAIMAH
Nasab dan Masa Pertumbuhannya
Nama lengkap Zainab adalah Zainab
binti Khuzaimah bin Haris bin Abdillah bin Amru bin Abdi Manaf bin Hilal bin
Amir bin Sha’shaah al-Hilaliyah. Ibunya bemama Hindun binti Auf bin Harits bin
Hamathah.
Berdasarkan asal-usul keturunannya,
dia termasuk keluarga yang dihormati dan disegani. Tanggal lahirnya tidak
diketahui dengan pasti, namun ada riwayat yang rnenyebutkan bahwa dia lahir
sebelum tahun ketiga belas kenabian. Sebelum memeluk Islam dia sudah dikenal
dengan gelar Ummul Masakin (ibu orang-orang miskin) sebagaimana telah
dijelaskan dalam kitab Thabaqat ibnu Saad bahwa Zainab binti Khuzaimali bin Haris
bin Abdillah bin Amru bin Abdi Manaf bin Hilal bin Amir bin Sha’shaah
al-Hilaliyah adalah Ummul-Masakin. Gclar tersebut disandangnya sejak masa
jahiliah. Ath-Thabary, dalam kitab As-Samthus-Samin fi Manaqibi Ummahatil
Mu’minin pun di terangkan bahwa Rasulullah. menikahinya sebelum beliau menikah
dengan Maimunah, dan ketika itu dia sudah dikenal dengan sebutan Ummul-Masakin
sejak zaman jahiliah. Berdasarkan hal itu dapat disimpulkan bahwa Zainab binti
Khuzaimah terkenal dengan sifat kemurah-hatiannya, kedermawanannya, dan sifat
santunnya terhadap orang-orang miskin yang dia utamakan daripada kepada dirinya
sendiri. Sifat tersebut sudah tertanarn dalam dirinya sejak memeluk Islam
walaupun pada saat itu dia belum mengetahui bahwa orang-orang yang baik, penyantun,
dan penderma akan memperoleh pahala di sisi Allah.
Keislaman dan Pernikahannya
Zainab binti Khuzaimah. termasuk
kelompok orang yang pertama-tama masuk Islam dari kalangan wanita. Yang
mendorongnya masuk Islam adalah akal dan pikirannya yang baik, menolak syirik
dan penyembahan berhala dan selalu menjauhkan diri dari perbuatan jahiliah.
Para perawi berbeda pendapat tentang
nama-nama suami pertama dan kedua sebelum dia menikah dengan Rasulullah.
Sebagian perawi mengatakan bahwa suami pertama Zainab adalah Thufail bin Harits
bin Abdil-Muththalib, yang kemudian menceraikannya. Dia menikah lagi dengan
Ubaidah bin Harits, namun dia terbunuh pada Perang Badar atau Perang Uhud.
Sebagian perawi mengatakan bahwa suami keduanya adalah Abdullah bin Jahsy. Sebenarnya
masih banyak perawi yang mengemukakan pendapat yang berbeda-beda. Akan tetapi,
dari berbagai pendapat itu, pendapat yang paling kuat adalah riwayat yang
mengatakan bahwa suami pertamanya adalah Thufail bin Harits bin
Abdil-Muththalib. Karena Zainab tidak dapat melahirkan (mandul), Thufail
menceraikannya ketika mereka hijrah ke Madinah. Untuk mernuliakan Zainab,
Ubaidah bin Harits (saudara laki-laki Thufail) menikahi Zainab. Sebagaimana
kita ketahui, Ubaidah bin Harits adalah salah seorang prajurit penunggang kuda
yang paling perkasa setelah Hamzah bin Abdul-Muththalib dan Ali bin Abi Thalib.
Mereka bertiga ikut melawan orang-orang Quraisy dalam Perang Badar, dan
akhirnya Ubaidah mati syahid dalam perang tersebut.
Setelah Ubaidah wafat, tidak ada riwayat
yang menjelaskan tentang kehidupannya hingga Rasulullah . menikahinya.
Rasulullah menikahi Zainab karena beliau ingin melindungi dan meringankan beban
kehidupan yang dialaminya. Hati beliau menjadi luluh melihat Zainab hidup
menjanda, sementara sejak kecil dia sudah dikenal dengan kelemah- lembutannya
terhadap orang-orang miskin. Scbagai Rasul yang membawa rahmat bagi alam
semesta, beliau rela mendahulukan kepentingan kaum muslimin, termasuk
kepentingan Zainab. Beiau senantiasa memohon kepada Allah agar hidup miskin dan
mati dalam keadaan miskin dan dikumpulkan di Padang Mahsyar bersama orangorang
miskin.
Meskipun Nabi. mengingkari beberapa
nama atau julukan yang dikenal pada zaman jahiliah, tetapi beiau tidak
mengingkari julukan “ummul-masakin” yang disandang oleh Zainab binti Khuzaimah.
Menjadi Ummul-Mukminin
Tidak diketahui dengan pasti masuknya
Zainab binti Khuzaimah ke dalam rumah tangga Nabi ., apakah sebelum Perang Uhud
atau sesudahnya. Yang jelas, Rasulullah . menikahinya karena kasih sayang terhadap
umamya walaupun wajah Zainab tidak begitu cantik dan tidak seorang pun dari
kalangan sahabat yang bersedia menikahinya. Tentang lamanya Zainab berada dalam
kehidupan rumah tangga Rasulullah pun banyak tendapat perbedaan. Salah satu
pendapat mengatakan bahwa Zainab memasuki rumah tangga Rasulullah selama tiga
bulan, dan pendapat lain delapan bulan. Akan tetapi, yang pasti, prosesnya
sangat singkat kanena Zainab meninggal semasa Rasulullah hidup. Di dalam kitab
sirah pun tidak dijelaskan penyebab kematiannya. Zainab meninggal pada usia
relatif muda, kurang dari tiga puluh tahun, dan Rasulullah yang menyalatinya.
Allahu A’lam.
Semoga rahmat Allah senantiasa
menyertai Sayyidah Zainab binti Khuzaimah. dan semoga Allah memberinya tempat
yang layak di sisi-Nya. Amin.
Sumber: buku Dzaujatur-Rasulullah ,
karya Amru Yusuf, Penerbit Darus-Sa’abu, Riyadh
Hidupnya bersama RasuluLlah, hanya
singkat. Antara 4 sampai 8 bulan. Zainab terkenal dengan julukan Ummul
Masaakiin, karena kedermawanannya terhadap kaum miskin. Zainab meninggal,
ketika Rasulullah masih hidup. Dan Rasulullah sendiri menshalati jenazahnya.
Zainablah yang pertama kali dimakamkan di Baqi.
Hindun binti Abi Umayyah
Dari Wikipedia bahasa Indonesia,
ensiklopedia bebas Bagian dari serial Islam
Ummu al-Mu'minin
Para istri Muhammad
Khadijah binti Khuwailid
Sawdah binti Zam'ah
Aisyah binti Abu Bakar
Hafshah binti Umar
Zaynab binti Khuzaymah
Hindun binti Abi Umayyah
Zaynab binti Jahsy
Juwayriyah binti Harits
Ramlah binti Abu Sufyan
Shafiyah binti Huyay
Maymunah binti al-Harits
Maria binti Syama’un
Hind bint Abi Umayya (bahasa Arab: هند بنت أبي أمية) (c. 580 - 680)
adalah istri dari Nabi Muhammad, dan termasuk dari Ibu Para Mukminin.Daftar isi
1 Nama
2 Biografi
2.1 Kehidupan awal
2.2 Zaman Nabi Muhammad SAW
2.3 Setelah Nabi Muhammad SAW
3 Referensi
Nama
6. Hindun bint Abi Umayya, Hind al
Makhzumiyah, Hind bint Suhayl, juga dipanggil Umm Salama (Ibu dari Salama)
(bahasa Arab: أم سلمة هند بنت أبي أمية).
Setelah kematian Abdullah ibn Abdul
Asad di Perang Uhud, dia juga dikenal sebagai Ayyin al-Arab - Mata Arab.
Biografi
Kehidupan awal
Ia adalah anak dari Bani Makhzum yang
dipanggil Zad ar-Rakib karena kebaikannya kepada kabilah yang lewat. Nama
aslinya adalah Hind dan ia termasuk dari orang yang diincar dan dianiaya oleh
Quraisy[1].
Zaman Nabi Muhammad SAW
Umm Salama dan suaminya, Abd-Allah
ibn Abd-al-Asad, termasuk dari Pemeluk Islam pertama atau As-Sabiqun
al-Awwalun[2].
Suaminya syahid setelah terkena
serangan yang ia terima ketika Perang Uhud. Ia memiliki empat orang anak dari
Abdullah sebelum menikah dengan Muhammad.
Salama ibn Abd Allah
Umar ibn Abd Allah
Zaynab ibn Abd Allah
Durra ibn Abd Allah
Setelah kematian Abdullah ibn Abdul
Asad, dia juga dikenal sebagai Ayyin al-Arab (Baca: ia yang kehilangan
suaminya). Ia tak memiliki saudara dan keluarga di Madinah kecuali anak -
anaknya, namun ia datolong oleh Muhajirin dan Anshar. Setelah ia menyelesaikan
masa 'Iddah-nya (ie. Masa menunggu bagi wanita yang baik dicerai atau
meninggal, untuk kembali menikah) empat bulan dan 10 hari, Abu Bakar dan 'Umar
mencoba melamarnya, namun ditolak oleh Umm Salama. Lalu Muhammad mencoba untuk
melamarnya juga dan diterimanya. Umm Salama menikah dengan Muhammad ketika
berusia 29 tahun[3].
Setelah Nabi Muhammad SAW
Ummu Salama meninggal di usia 84
tahun.
Hindun binti Hudzaifah (Abu Umayyah)
bin Mughirah bin Abdullah bin Amr bin Makhzum, dari Bani Makhzum. Bapaknya
Hindun adalah putra dari salah seorang Quraisy yang diperhitungkan (disegani)
dan terkenal dengan kedermawanannya.
Ayahnya dijuluki sebagai “Zaad
ar-Rakbi ” yakni seorang pengembara yang berbekal. Dijuluki demikian karena
apabila dia melakukan safar (perjalanan) tidak pernah lupa mengajak teman dan
juga membawa bekal, bahkan ia mencukupi bekal milik temannya. Adapun ibu beliau
bernama ‘Atikah binti Amir bin Rabi’ah al-Kinaniyah dari Bani Farras yang
terhormat. Dikemudian hari, Hindun binti Abu Umayyah dikenal dengan Ummu
Salamah.
Disamping beliau memiliki nasab yang
terhormat ini beliau juga seorang wanita yang berparas cantik, berkedudukan dan
seorang wanita yang cerdas. Pada mulanya dinikahi oleh Abu Salamah Abdullah bin
Abdil Asad al-Makhzumi, seorang shahabat yang agung dengan mengikuti dua kali
hijrah. Baginya Ummu Salamah adalah sebaik-baik istri baik dari segi kesetiaan,
kataatan dan dalam menunaikan hak-hak suaminya. Dia telah memberikan pelayanan
kepada suaminya di dalam rumah dengan pelayanan yang menggembirakan. Beliau
senantiasa mendampingi suaminya dan bersama-sama memikul beban ujian dan
kerasnya siksaan orang-orang Quraisy. Kemudian beliau hijrah bersama suaminya
ke Habasyah untuk menyelamatkan agamanya dengan meninggalkan harta, keluarga,
kampung halaman dan membuang rasa ketundukan kepada orang-orang zhalim dan kaum
kafir . Di Habasyah inilah Ummu Salamah melahirkan Zaynab, kemudian Salamah,
Durrah, dan Umar.
Pada Perang Uhud Abu Umayyah, suami
pertama Hindun terkena panah pada begian lengan dan tinggal untuk mengobati
lukanya hingga merasa sudah sembuh.
Selang dua bulan setelah perang Uhud,
Rasulullah Saw mendapat laporan bahwa Bani Asad merencanakan hendak menyerang
kaum muslimin. Kemudian beliau memanggil Abu Salamah dan mempercayakan kepadanya
untuk membawa bendera pasukan menuju “Qathn”, yakni sebuah gunung yang
berpuncak tinggi disertai pasukan sebanyak 150 orang. Di antara mereka adalah
‘Ubaidullah bin al-Jarrah dan Sa’ad bin Abi Waqqash.
Peperangan tersebut dimenangkan kaum
muslimin sehingga mereka kembali dalam keadaan selamat dan membawa harta
rampasan perang (ghanimah). Disamping itu, mereka dapat mengembalikan sesuatu
yang hilang yakni kewibawaan kaum muslimin tatkala perang Uhud. Pada pengiriman
pasukan inilah luka yang diderita oleh Abu Salamah pada hari Uhud kembali
kambuh sehingga mengharuskan beliau terbaring ditempat tidur.
Pada suatu pagi Rasulullah Saw datang
untuk menengoknya dan beliau terus menunggunya hingga Abu Salamah berpisah
dengan dunia. Maka Rasulullah Saw memejamkan kedua mata Abu Salamah dengan
kedua tangannya yang mulia, beliau mengarahkan pandangannya ke langit seraya
berdoa,"Ya Allah ampunilah Abu Salamah, tinggikanlah derajatnya dalam
golongan Al-Muqarrabin dan gantikanlah dia dengan kesudahan yang baik pada masa
yang telah lampau dan ampunilah kami dan dia Ya Rabbal’Alamin.”
Ummu Salamah menghadapi ujian
tersebut dengan hati yang dipenuhi dengan keimanan dan jiwa yang diisi dengan
kesabaran beliau pasrah dengan ketetapan Allah dan qadar-Nya.
Sepeninggal Abu Salamah yang telah
diakui memiliki kesalehan dan kedudukan istimewa di tengah Kaum Muslim. Ummu
Salamah kerap menolak pinangan dari para sahabat Rasul yang datang dengan
maksud untuk menikahinya, bahkan, Abu Bakar Assiddiq dan Umar bin Khatthab
sekalipun.
Setelah itu Rasulullah Saw mengutus
seseorang untuk melamarnya, dan dia berkata, "Selamat datang, katakan
kepada Rasulullah aku adalah seorang yang pencemburu dan aku mempunyai anak
kecil. Aku juga tidak mempunyai wali yang menyaksikan."
Setelah itu Rasulullah Saw mengirim
seorang utusan kepadanya untuk menyampaikan jawaban mengenai
perkataannya,"Mengenai perkataanmu bahwa kamu mempunyai anak kecil, maka
Allah akan mencukupi anakmu. Mengenai perkataanmu bahwa kamu seorang
pencemburu, maka aku akan berdoa kepada Allah agar menghilangkan kecemburuanmu.
Sedangkan para wali, tidak ada seorang pun diantara mereka kecuali akan ridha
kepadaku."
Ummu Salamah kemudian berkata kepada
anaknya, "Wahai Umar, berdirilah dan nikahkanlah Rasulullah
denganku."
Rasulullah Saw bersabda,
"Sedangkan aku tidak akan mengurangi apa yang aku berikan kepada si
fulanah." Beliau menikahinya tepat pada bulan Syawwal tahun 4 Hijriyah.
Maka jadilah Hindun binti Abu Umayyah
sebagai Ummul mukminin. Beliau hidup dalam rumah tangga nubuwwah yang telah
ditakdirkan untuknya dan merupakan suatu kedudukan yang beliau harapkan. Beliau
menjaga kasih sayang dan kesatuan hati bersama istri-istri Nabi lainnya.
Rasulullah Saw pun memuliakannya dengan biasa mengunjunginya pertama kali
sehabis beliau menunaikan Shalat Ashar, sebelum mengunjungi istri-istrinya yang
lain.
Ummu Salamah adalah seorang wanita
yang cerdas dan matang dalam memahami persoalan dengan pemahaman yang baik dan
dapat mengambil keputusan dengan tepat pula. Hal itu ditunjukkan pada peristiwa
Hudaibiyah manakala Rasulullah Saw memerintahkan para sahabatnya untuk
menyembelih qurban selepas terjadinya perjanjian dengan pihak Quraisy. Namun
ketika itu, para sahabat tidak mengerjakannya karena sifat manusiawi mereka
yang merasa kecewa dengan hasil perjanjian Hudaibiyah yang banyak merugikan
kaum muslimin. Berulangkali Nabi memerintahkan mereka akan tetapi tetap saja
tak seorangpun mau mengerjakannya.
Maka Rasulullah Saw masuk menemui
Ummu Salamah dalam keadaan sedih dan kecewa. Beliau ceritakan kepadanya perihal
kaum muslimin yang tidak mau mengerjakan perintah beliau. Maka Ummu Salamah
berkata, ”Wahai Rasulullah apakah anda menginginkan hal itu? Jika demikian,
maka silahkan anda keluar dan jangan berkata sepatah katapun dengan mereka sehingga
anda menyembelih unta anda, kemudian panggillah tukang cukur anda untuk
mencukur rambut anda (tahallul)."
Rasulullah Saw menerima usulan Ummu
Salamah. Maka beliau berdiri dan keluar tidak berkata sepatah katapun hingga
beliau menyembelih untanya. Kemudian beliau panggil tukang cukur beliau dan
dicukurlah rambut beliau. Manakala para sahabat melihat apa yang dikejakan oleh
Rasulullah, maka mereka bangkit dan menyembelih qurban mereka, kemudian
sebagian mereka mencukur sebagian yang lain secara bergantian. Hingga
hampir-hampir sebagian membunuh sebagian yang lain karena kecewa. Setelah
Rasulullah Saw menghadap Allah Swt, maka Ummul Mukminin, Ummu Salamah
senantiasa memperhatikan urusan kaum muslimin dan mengamati peristiwa-peristiwa
yang terjadi. Beliau selalu andil dengan kecerdasannya dalam setiap persoalan
untuk menjaga lurusnya umat dan mencegah mereka dari penyimpangan, terlebih
lagi terhadap para penguasa dari para Khalifah maupun para pejabat. Beliau
singkirkan segala kejahatan dan kezhaliman terhadap kaum muslimin, beliau
terangkan kalimat yang haq dan tidak takut terhadap celaan dari orang yang suka
mencela dalam rangka melaksanakan perintah Allah.
Hindun binti Abu Umayyah, istri Nabi
yang terakhir kali meninggal dunia. Diberi umur panjang dan mengetahui
pembunuhan Sayyidina Husain, sehingga membuatnya pingsan karena sangat
bersedih. Tidak berselang lama setelah peristiwa itu, tatkala tiba bulan
Dzulqa’dah tahun 59 setelah hijriyah, ruhnya menghadap Sang Pencipta sedangkan
umur beliau sudah mencapai 84 tahun. Beliau wafat setelah memberikan contoh
kepada wanita dalam hal kesetiaan, jihad dan kesabaran.
Dari berbagai sumber.
7. ZAINAB BINTI JAHSY
Dicopy Dari Situs Al Sofwah
Dia adalah Ummul mukminin, Zainab
binti Jahsy bin Rabab bin Ya’mar. Ibu beliau bernama Ummyah Binti Muthallib,
Paman dari paman Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam . Pada mulanya nama
beliau adalah Barra’, namun tatkala diperistri oleh Rasulullah, beliau diganti
namanya dengan Zainab.
Tatkala Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi
wa sallam melamarnya untuk budak beliau yakni Zaid bin Haritsah (kekasih
Rasulullah dan anak angkatnya), maka Zainab dan juga keluarganya tidak
berkenan. Rasulullah bersabda kepada Zainab, "Aku rela Zaid menjadi
suamimu". Maka Zainab berkata: "Wahai Rasulullah akan tetapi aku
tidak berkenan jika dia menjadi suamiku, aku adalah wanita terpandang pada
kaumku dan putri pamanmu, maka aku tidak mau melaksanakannya. Maka turunlah
firman Allah (artinya): "Dan Tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan
tidak (pula) bagi perempuan mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah
menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang
urusan–urusan mereka. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka
sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata". (Al-Ahzab:36).
Akhirnya Zainab mau menikah dengan
Zaid karena ta’at kepada perintah Allah dan Rasul-Nya, konsekuen dengan
landasan Islam yaitu tidak ada kelebihan antara orang yang satu dengan orang
yang lain melainkan dengan takwa.
Akan tetapi kehidupan rumah tangga
tersebut tidak harmonis, ketidakcocokan mewarnai rumah tangga yang terwujud
karena perintah Allah yang bertujuan untuk menghapus kebiasaan-kebiasaan dan
hukum-hukum jahiliyah dalam perkawinan.
Tatkala Zaid merasakan betapa sulitnya
hidup berdampingan dengan Zainab, beliau mendatangi Rasulullah Shallallâhu
‘alaihi wa sallam mengadukan problem yang dihadapi dengan memohon izin kepada
Rasulullah untuk menceraikannya. Namun beliau bersabda: "Pertahankanlah
istrimu dan bertakwalah kepada Allah".
Padahal beliau mengetahui betul bahwa
perceraian pasti terjadi dan Allah kelak akan memerintahkan kepada beliau untuk
menikahi Zainab untuk merombak kebiasaan jahiliyah yang mengharamkan menikahi
istri Zaid sebagaimana anak kandung. Hanya saja Rasulullah tidak memberitahukan
kepadanya ataupun kepada yang lain sebagaimana tuntunan Syar’i karena beliau
khawatir, manusia lebih-lebih orang-orang musyrik, akan berkata bahwa Muhammad
menikahi bekas istri anaknya. Maka Allah ‘Azza wajalla menurunkan ayat-Nya:
"Dan (ingatlah) ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah
melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat
kepadanya:"Tahanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah",
sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya
dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih kamu takuti. Maka
tatkala Zaid yang telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya
(menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi
orang mukmin untuk mengawini ( istri-istri anak-anak angkat itu ) apabila
anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada istrinya. Dan
adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi". (Al-Ahzab:37).
Al-Wâqidiy dan yang lain menyebutkan
bahwa ayat ini turun manakala Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam
berbincang-bincang dengan ‘Aisyah tiba-tiba beliau pingsan. Setelah bangun,
beliau tersenyum seraya bersabda:"Siapakah yang hendak memberikan kabar
gembira kepada Zainab?", Kemudian beliau membaca ayat tersebut. Maka
berangkatlah seorang pemberi kabar gembira kepada Zainab untuk memberikan kabar
kepadanya, ada yang mengatakan bahwa Salma pembantu Rasulullah Shallallâhu
‘alaihi wa sallam yang membawa kabar gembira tersebut. Ada pula yang mengatakan
bahwa yang membawa kabar gembira tersebut adalah Zaid sendiri. Ketika itu,
beliau langsung membuang apa yang ada di tangannya kemudian sujud syukur kepada
Allah.
Begitulah, Allah Subhanahu menikahi
Zainab radliallâhu ‘anha dengan Nabi-Nya melalui ayat-Nya tanpa wali dan tanpa
saksi sehingga ini menjadi kebanggaan Zainab dihadapan Ummahatul Mukminin yang lain.
Beliau berkata:"Kalian dinikahkan oleh keluarga kalian akan tetapi aku
dinikahkan oleh Allah dari atas ‘Arsy-Nya". Dan dalam riwayat
lain,"Allah telah menikahkanku di langit". Dalam riwayat
lain,"Allah menikahkan ku dari langit yang ketujuh". Dan dalam
sebagian riwayat lain,"Aku labih mulia dari kalian dalam hal wali dan yang
paling mulia dalam hal wakil; kalian dinikahkan oleh orang tua kalian sedangkan
aku dinikahkan oleh Allah dari langit yang ketujuh".
Zainab radliallâhu ‘anha adalah
seorang wanita shalihah, bertakwa dan tulus imannya, hal itu ditanyakan sendiri
oleh sayyidah ‘Aisyah radliallâhu ‘anha tatkala berkata:"Aku tidak lihat
seorangpun yang lebih baik diennya dari Zainab, lebih bertakwa kepada Allah dan
paling jujur perkataannya, paling banyak menyambung silaturrahmi dan paling
banyak shadaqah, paling bersungguh-sungguh dalam beramal dengan jalan shadaqah
dan taqarrub kepada Allah ‘Azza wa Jalla".
Beliau radliallâhu ‘anha adalah
seorang wanita yang mulia dan baik. Beliau bekerja dengan kedua tangannya,
beliau menyamak kulit dan menyedekahkannya di jalan Allah, yakni beliau
bagi-bagikan kepada orang-orang miskin. Tatkala ‘Aisyah mendengar berita
wafatnya Zainab, beliau berkata:"Telah pergi wanita yang mulia dan rajin
beribadah, menyantuni para yatim dan para janda". Kemudian beliau berkata:
"Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada para istrinya:
‘Orang yang paling cepat menyusulku diantara kalian adalah yang paling panjang
tangannya…’ ".
Maka apabila kami berkumpul sepeninggal
beliau, kami mengukur tangan kami di dinding untuk mengetahui siapakah yang
paling panjang tangannya di antara kami. Hal itu kami lakukan terus hingga
wafatnya Zainab binti Jahsy, kami tidak mendapatkan yang paling panjang
tangannya di antara kami. Maka ketika itu barulah kami mengetahui bahwa yang di
maksud dengan panjang tangan adalah sedekah. Adapun Zainab bekerja dengan
tangannya menyamak kulit kemudian dia sedekahkan di jalan Allah.
Ajal menjemput beliau pada tahun 20
hijriyah pada saat berumur 53 tahun. Amirul Mukminin, Umar bin Khaththab turut
menyalatkan beliau. Penduduk Madinah turut mengantar jenazah Ummul Mukminin,
Zainab binti Jahsy hingga ke Baqi’. Beliau adalah istri Rasulullah Shallallâhu
‘alaihi wa sallam yang pertama kali wafat setelah wafatnya Rasulullah
Shallallâhu ‘alaihi wa sallam, semoga Allah merahmati wanita yang paling mulia
dalam hal wali dan wakil, dan yang paling panjang tangannya.
Pernikahan Rasulullah Shallallahu
Alaihi Wassalam dengan Zainab binti Jahsy didasarkan pada perintah Allah
sebagai jawaban terhadap tradisi jahiliah. Zainab binti Jahsy adalah istri
Rasulullah yang berasal dan kalangan kerabat sendiri. Zainab adalah anak
perempuan dari bibi Rasulullah, Umaimah binti Abdul Muththalib. Beliau sangat
mencintai Zainab.
Nasab dan Masa Pertumbuhannya
Nama lengkap Zainab adalah Zainab
binti Jahsy bin Ri’ab bin Ya’mar bin Sharah bin Murrah bin Kabir bin Gham bin
Dauran bin Asad bin Khuzaimah. Sebelum menikah dengan Rasulullah, namanya
adalah Barrah, kemudian diganti oleh Rasulullah menjadi Zainab setelah menikah
dengan beliau. Ibu dari Zainab bernama Umaimah binti Abdul-Muthalib bin Hasyim
bin Abdi Manaf bin Qushai. Zainab dilahirkan di Mekah dua puluh tahun sebelum
kenabian. Ayahnya adalah Jahsy bin Ri’ab. Dia tergolong pernimpin Quraisy yang
dermawan dan berakhlak baik. Zainab yang cantik dibesarkan di tengah keluarga
yang terhormat, sehingga tidak heran jika orang-orang Quraisy menyebutnya
dengan perempuan Quraisy yang cantik.
Zainab termasuk wanita pertama yang
memeluk Islam. Allah pun telah menerangi hati ayah dan keluarganya sehingga
memeluk Islam. Dia hijrah ke Madinah bersama keluarganya. Ketika itu dia masih
gadis walaupun usianya sudah layak menikah.
Pernikahannya dengan Zaid bin
Haritsah
Terdapat beberapa ayat Al-Qur’an yang
memerintahkan Zainab dan Zaid melangsungkan pernikahan. Zainab berasal dan
golongan terhormat, sedangkan Zaid bin Haritsah adalah budak Rasulullah yang
sangat beliau sayangi, sehingga kaum muslimin menyebutnya sebagai orang
kesayangan Rasulullah. Zaid berasal dari keluarga Arab yang kedua orang tuanya
beragama Nasrani. Ketika masih kecil, dia berpisah dengan kedua orang tuanya
karena diculik, kemudian dia dibeli oleh Hakam bin Hizam untuk bibinya,
Khadijah binti Khuwailid radhiyallahu ‘anha, lalu dihadiahkannya kepada
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam.
Ayah Zaid, Haritsah bin Syarahil,
senantiasa mencarinya hingga dia mendengar bahwa Zaid berada di rumah
Rasulullah. Ketika Rasulullah menyuruh Zaid memilih antara tetap bersama beliau
atau kembali pada orang tua dan pamannya, Zaid berkata, “Aku tidak menginginkan
mereka berdua, juga tidak menginginkan orang lain yang engkau pilihkan untukku.
Engkau bagiku adalah ayah sekaligus paman.” Setelah itu, Rasulullah mengumumkan
pembebasan Zaid dan pengangkatannya sebagai anak. Ketika Islam datang, Zaid
adalah orang yang pertama kali memeluk Islam dari kalangan budak. Dia
senantiasa berada di dekat Nabi, terutama setelah dia meninggalkan Mekah,
sehingga beliau sangat mencintainya, bahkan beliau pernah bersabda tentang
Zaid,
“Orang yang aku cintai adalah orang
yang telah Allah dan aku beri nikmat. (HR. Ahmad)
Allah telah memberikan nikmat kepada
Zaid dengan keislamannya dan Nabi telah memberinya nikmat dengan kebebasannya.
Ketika Rasulullah hijrah ke Madinah, beliau mempersaudarakan Zaid dengan Hamzah
bin Abdul Muththalib. Dalam banyak peperangan, Zaid selalu bersama Rasulullah,
dan tidak jarang pula dia ditunjuk untuk menjadi komandan pasukan. Tentang
Zaid, Aisyah pernah berkata, “Rasulullah tidak mengirimkan Zaid ke medan perang
kecuali selalu menjadikannya sebagai komandan pasukan, Seandainya dia tetap
hidup, beliau pasti menjadikannya sebagai pengganti beliau.”
Masih banyak riwayat yang menerangkan
kedudukan Zaid di sisi Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam. Sesampainya di Madinah
beliau meminang Zainab binti Jahsy untuk Zaid bin Haritsah. Semula Zainab
membenci Zaid dan menentang menikah dengannya, begitu juga dengan saudara
laki-lakinya. Menurut mereka, bagaimana mungkin seorang gadis cantik dan
terhormat menikah dengan seorang budak? Rasulullah menasihati mereka berdua dan
menerangkan kedudukan Zaid di hati beliau, sehingga turunlah ayat kepada
mereka:
“Dan tidaklah patut bagi laki -laki
yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan
Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang
lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya
maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.“ (Q.S. Al-Ahzab: 36)
Akhirnya Zainab menikah dengan Zaid
sebagai pelaksanaan atas perintah Allah, meskipun sebenarnya Zainab tidak
menyukai Zaid. Melalui pernikahan itu Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam ingin
menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan di antara manusia kecuali dalam ketakwaan
dan amal perbuatan mereka yang baik. Pernikahan itu pun bertujuan untuk
menghilangkan tradisi jahiliyah yang senang membanggakan diri dan keturunan.
Akan tetapi, Zainab tetap tidak dapat menerima pernikahan tersebut karena ada perbedaan
yang jauh di antara mereka berdua. Di depan Zaid, Zainab selalu
membangga-banggakan dirinya sehingga menyakiti hati Zaid. Zaid menghadap
Rasulullah untuk mengadukan perlakukan Zainab terhadap dirinya. Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wasallam menyuruhnya untuk bersabar, dan Zaid pun mengikuti
nasihat beliau. Akan tetapi, dia kembali menghadap Rasulullah dan menyatakan
bahwa dirinya tidak mampu lagi hidup bersama Zainab.
Mendengar itu, beliau bersabda,
“Pertahankan terus istrimu itu dan bertakwalah kepada Allah.” Kemudian beliau
mengingatkan bahwa pernikahan itu merupakan perintah Allah. Beberapa saat
kemudian turunlah ayat, “Pertahankan terus istrimu dan bertakwalah kepada
Allah.” Zaid berusaha menenangkan diri dan bersabar, namun tingkah laku Zainab sudah
tidak dapat dikendalikan, akhirnya terjadilah talak. Selanjutnya, Zainab
dinikahi Rasulullah.
Prinsip dasar yang melatarbelakangi
pernikahan Rasulullah dengan Zainab binti Jahsy adalah untuk menghapuskan
tradisi pengangkatan anak yang berlaku pada zaman jahiliah. Artinya, Rasulullah
ingin menjelaskan bahwa anak angkat tidak sama dengan anak kandung, seperti
halnya Zaid bin Haritsah yang sebelum turun ayat Al-Qur’an telah diangkat
sebagai anak oleh beliau. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,
“Panggillah mereka (anak-anak angkat
itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka,’ itulah yang lebih adil pada
sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah
mereka sebagai) saudara-saudara seagama dan maula-maulamu.” (QS. Al-Ahzab:5)
Karena itu, seseorang tidak berhak
mengakui hubungan darah dan meminta hak waris dan orang tua angkat (bukan
kandung). Karena itulah Rasulullah menikahi Zainab setelah bercerai dengan Zaid
yang sudah dianggap oleh orang banyak sebagai anak Muhammad. Allah telah
menurunkan wahyu agar Zaid menceraikan istrinya kemudian dinikahi oleh
Rasulullah. Pada mulanya Rasulullab tidak memperhatikan perintah tersebut,
bahkan meminta Zaid mempertahankan istrinya. Allah memberikan peringatan sekali
lagi dalam ayat:
“Dan (ingatlah), ketika kamu berkata
kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga)
telah memberi nikmat kepadanya, ‘Tahanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada
Allah, ‘sedang kamu menyembunyikan dalam hatimu apa yang Allah akan
menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah- lah yang lebih
berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap
istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada
keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) istri-istri anak- anak angkat
mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluan daripada
istrinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.“ (QS. Al-Ahzab:37)
Ayat di atas merupakan perintah Allah
agar Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam menikahi Zainab dengan tujuan meluruskan
pemahaman keliru tentang kedudukan anak angkat.
Menjadi Ummul-Mukminin
Rasulullah Shallallahu Alaihi
Wasallam mengutus seseorang untuk mengabari Zainab tentang perintah Allah
tersebut. Betapa gembiranya hati Zainab mendengar berita tersebut, dan pesta
pernikahan pun segera dilaksanakan serta dihadiri warga Madinah.
Zainab mulai memasuki rumah tangga
Rasulullah dengan dasar wahyu Allah. Dialah satu-satunya istri Nabi yang
berasal dari kerabat dekatnya. Rasulullah tidak perlu meminta izin jika
memasuki rumah Zainab sedangkan kepada istri-istri lainnya beliau selalu
meminta izin. Kebiasaan seperti itu ternyata menimbulkan kecemburuan di hati
istri Rasul lainnya.
Orang-orang munafik yang tidak senang
dengan perkembangan Islam membesar-besarkan fitnah bahwa Rasulullah telah
menikahi istri anaknya sendiri. Karena itu, turunlah ayat yang berbunyi,
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah
bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan
penutup nabi-nabi…. “ (Qs. Al-Ahzab: 40)
Zainab berkata kepada Nabi, “Aku
adalah istrimu yang terbesar haknya atasmu, aku utusan yang terbaik di antara
mereka, dan aku pula kerabat paling dekat di antara mereka. Allah menikahkanku
denganmu atas perintah dari langit, dan Jibril yang membawa perintah tersebut.
Aku adalah anak bibimu. Engkau tidak memiliki hubungan kerabat dengan mereka
seperti halnya denganku.” Zainab sangat mencintai Rasulullah dan merasakan
hidupnya sangat bahagia. Akan tetapi, dia sangat pencemburu terhadap istri
Rasul lainnya, sehingga Rasulullah pernah tidak tidur bersamanya selama dua
atau tiga bulan sebagai hukuman atas perkataannya yang menyakitkan hati
Shafiyyah binti Huyay bin Akhtab wanita Yahudiyah itu.
Zainab bertangan terampil, menyamak
kulit dan menjualnya, juga mengerjakan kerajinan sulaman, dan hasilnya
diinfakkan di jalan Allah.
Wafatnya
Zainab binti Jahsy adalah istri
Rasulullah yang pertama kali wafat menyusul beliau, yaitu pada tahun kedua
puluh hijrah, pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, dalam usianya yang
ke-53, dan dimakamkan di Baqi. Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa Zainab
berkata menjelang ajalnya, “Aku telah menyiapkan kain kafanku, tetapi Umar akan
mengirim untukku kain kafan, maka bersedekahlah dengan salah satunya. Jika
kalian dapat bersedekah dengan semua hak-hakku, kerjakanlah dari sisi yang
lain.” Semasa hidupnya, Zainab banyak mengeluarkan sedekah di jalan Allah.
Tentang Zainab, Aisyah berkata,
“Semoga Allah mengasihi Zainab. Dia banyak menyamaiku dalam kedudukannya di
hati Rasulullah. Aku belum pernah melihat wanita yang lebih baik agamanya
daripada Zainab. Dia sangat bertakwa kepada Allah, perkataannya paling jujur,
paling suka menyambung tali silaturahmi, paling banyak bersedekah, banyak
mengorbankan diri dalam bekerja untuk dapat bersedekah, dan selalu mendekatkan
diri kepada Allah. Selain Saudah, dia yang memiliki tabiat yang keras.”
Semoga Allah memberikan kemuliaan
kepadanya (Sayyidah Zainab Binti Jahsy) di akhirat dan ditempatkan bersama
hamba-hamba yang saleh. Amin.
Sumber: Buku Dzaujatur-Rasulullah ,
karya Amru Yusuf, Penerbit Darus-Sa’abu, Riyadh
Parasnya begitu cantik, luas ilmunya
dan mulia akhlaknya. Begitulah sejarah Islam melukiskan Juwairiyah binti
Al-Harits. Sejatinya, ia bernama Barrah.Wanita itu berasal dari Bani Musthaliq
yang menyembah berhala. Ayahnya, Al-Harits, adalah pemimpin kaumnya yang gemar
menyembah patung dan sangat memusuhi Islam.
Barrah sempat menikah dengan seorang
pemuda yang bernama Musafi’ bin Shafwan. Ayahnya berencana untuk menyerang kaum
Muslimin di Madinah. Bani Musthaliq sangat bernafsu untuk mengalahkan pasukan
tentara Islam dan mengambil alih kekuasaan di antara suku-suku Arab. Rencana
itupun sampai ke telinga Rasulullah SAW.
Untuk memastikan kabar itu, Nabi SAW
lalu menugaskan Buraidah bin Al-Hushaid untuk memastikan kebenaran informasi
itu. Ternyata, rencana penyerangan yang akan dilakukan Bani Musthaliq itu tak
sekedar isu melainkan kenyataan. Rasulullah pun menyusun kekuatan dan menyerang
terlebih dahulu.
Pertempuran tentara Islam melawan
kaum kafir dari Bani Musthaliq itu dikenal sebagai perang Perang Muraisi’ dan
terjadi pada bulan Sya’ban tahun kelima Hijrah. Dalam pertempuran itu, umat
Islam meraih kemenangan. Pemimpin bani Musthaliq, Al-Harits melarikan diri dari
medan peperangan dan suami Barrah tewas terbunuh.
Seluruh penduduk yang selamat,
termasuk Barrah menjadi tawanan. Sebagai seorang terpelajar, mengetahui dirinya
menjadi tawanan, Barrah mengajukan tawaran untuk membebaskan diri. Ia lalu
mencoba bernegosiasi dan meminta bertemu dengan Nabi SAW. Upayanya membuahkan
hasil.
“Ya Rasulullah, aku Barrah, putri
dari Al Harits. Ayahku adalah pemimpin kaumku. Sekarang aku ditimpa kemalangan
dengan menjadi tawanan perang dan jatuh ke tangan Tsabit bin Qais. Ia memang
lelaki baik, tidak pernah berlaku buruk padaku. Namun ketika kukatakan aku
ingin menebus diri, ia membebaniku dengan sembilan keping emas. Maka kupikir
lebih baik minta perlindungan padamu. Tolong, bebaskan aku!” ujarnya.
Nabi SAW berpikir sejenak. Lalu
Rasulullah SAW balik bertanya, “Maukah engkau yang lebih baik dari itu?”
Seketika Barrah tercengang dan balik
bertanya, “Apakah gerangan itu, wahai Rasulullah?
Lalu Nabi SAW berkata, “Aku tebus
dirimu, lalu kunikahi engkau.”
Mendengar jawaban Nabi SAW, wajah
Barrah pun berubah berseri-seri.
“Baiklah, wahai Rasulullah,” tutur
Burdah. Lalu Rasulullah SAW menikahinya dan nama Barrah pun diganti menjadi
Juwairiyah.
Seperti diriwayatkan Aisyah RA, kabar
pernikahan Rasulullah dan Juwairiyah menyebar cepat di kalangan kaum Muslimin.
Secara tak terduga, pernikahan itu menjadi berkah bagi kaum Bani Musthaliq yang
tertawan dan menjadi budak. Para sahabat membebaskan semua tawanan yang masih
memiliki hubungan kekerabatan dengan Juwairiyah. Dan makin banyak yang
berbondong-bondong masuk agama islam
Juwairiyah adalah wanita mulia, putri
pemimpin bani Al Musthaliq, Al Harits bin Abu Dhihar. Sebelum masuk Islam,
namanya adalah Burrah. Al Harits adalah pemimpin dari kaum musyrik penyembah
berhala yang sangat memusuhi Islam. Meski demikian, Juwairiyah dikenal sebagai
gadis cantik yang luas ilrnunya dan baik budi pekertinya di antara kaumnya.
Kemudian dia menikah dengan seorang pemuda yang bernama Musafi’ bin Shafwan.
Rasulullah memutuskan menyerang
Bani Musthaliq setelah mendengar Al Harits merencanakan penyerangan terhadap
kaum muslimin di Madinah. Al Harits sudah banyak mendengar kekalahan kaum
Quraiys dalam menghadapi kaum muslimin. Ia berharap bisa mengalahkan kaum
muslimin untuk mengambil alih kekuasaan di antara suku-suku Arab.
Rasulullah mengirim Buraidah bin
Al-Hushaid untuk memastikan kebenaran berita tersebut, dan setelah Buraidah
membenarkan, Rasulullah segera menyusun kekuatan dan menyerang terlebih dahulu.
Perang ini dikenal dengan nama Perang Muraisi' dan terjadi pada bulan Sya'ban
tahun kelima Hijrah.
Perang ini, atas izin Allah swt,
dimenangkan umat Islam. Al Harits melarikan diri dari medan peperangan dan
suami Juwairiyah terbunuh. Seluruh penduduk yang selamat, termasuk Juwairiyah,
menjadi tawanan umat Islam. Begitu mengetahui dirinya menjadi tawanan,
Juwairiyah mengajukan tawaran untuk membebaskan diri. Wanita cerdas ini meminta
ijin bertemu Rasulullah untuk bernegosiasi mengenai pembebasan dirinya.
Saat diijinkan bertemu Rasulullah,
dia berkata, “Rasulullah, aku Burrah, putri dari Al Harits. Ayahku adalah
pemimpin kaumku. Sekarang aku ditimpa kemalangan dengan menjadi tawanan perang
dan jatuh ke tangan Tsabit bin Qais. Ia memang lelaki baik, tidak pernah
berlaku buruk padaku. Namun ketika kukatakan aku ingin menebus diri, ia
membebaniku dengan sembilan keping emas. Maka kupikir lebih baik minta
perlindungan padamu. Tolong, bebaskan aku!”
Rasulullah berpikir sejenak.
Trenyuh hati Rasulullah menyaksikan Juwairiyah, seorang wanita terhormat yang
tiba-tiba berubah menjadi budak. Lalu Rasul balik bertanya, “Maukah engkau yang
lebih baik dari itu?”
Jawaban Rasulullah kemudian
membuat Juwairiyah tercengang, namun wajahnya berseri-seri. Betapa tidak,
selain Rasulullah sendiri yang akan membayar tebusan, Rasulullah pun
melamarnya. Dengan senyuman, Juwairiyah menerima pinangan Rasulullah, lalu
memeluk Islam.
Tak lama, datang Al Harits.
Pemimpin bani Al Musthaliq itu datang dengan membawa unta, domba, dan
barang-barang berharga lain guna menebus putrinya. Tiba di sana, Al Harits
segera menemui Rasulullah dan menyampaikan maksudnya untuk menebus putrinya.
Tiba-tiba Rasulullah menanyakan secara retoris, “Mana dua ekor unta yang kau
sembunyikan ke balik batu akik itu?”
Mendengar pertanyaan itu Al Harits
langsung terperangah, hatinya terguncang hingga tampak bingung. Lalu ia
berkata, “Demi Allah, kau benar-benar utusan Allah. Tak ada yang tahu masalah
ini selain Allah.”
Saat mengetahui apa yang dilakukan
Rasulullah kepada Juwairiyah, Al Harits menjadi girang. Apalagi hatinya telah
mulai tersiram keimanan. Ia lalu masuk Islam, dan secara serentak diikuti
seluruh kaumnya.
Kabar pernikahan Rasulullah dan
Juwairiyah menyebar cepat di kalangan muslimin. Efek dari pernikahan itu
sungguh tak terduga, yakni pembebasan semua tawanan yang masih memiliki
hubungan kekerabatan dengan Juwairiyah. Para sahabat secara spontan melakukan
hal itu karena mereka merasa tidak pantas memperlakukan saudara Rasul dari
keluarga Juwairiyah sebagai tawanan atau budak. Ada ratusan orang yang langsung
dibebaskan sekaligus dikembalikan harta bendanya yang sebelumnya dirampas.
Aisyah mengomentari hal
ini: "Belum pernah aku ketahui seorang perempuan yang demikian besar
berkah yang dibawanya untuk kaumnya yang melebihi Juwairiyah."
Ketika Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman:
“Dan (ingatlah), ketika
kamu berkata kepada orang yang Alah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu
(juga) telah memberi nikmat kepadanya: ‘Tahanlah terus istrimu dan bertakwalah
kepada Allah.’ Sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan
menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia sedang Allah lah yang lebih berhak
untuk kamu takuti.” (QS. Al-Ahzab: 37)
Maka mayoritas ahli tafsir banyak membicarakan
tentang sebab pernikahan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Zainab
radhiallahu ‘anha dan tentang sesuatu yang disembunyikan oleh Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam hatinya.
Mereka menyebutkan bahwa
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendatangi rumah Zaid bin Haritsah
radhiallahu ‘anhu untuk mencarinya, tetapi ternyata dia sedang keluar rumah.
Tiba-tiba Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Zainab bin Jahsy
radhiallahu ‘anha tengah berdiri mengenakan kerudung, dan dia adalah termasuk
wantia Quraisy yang paling cantik. Nabi pun tertarik dan jatuh cinta padanya,
kemudian beliau pergi seraya mengatakan, “Maha suci Allah Subhanahu wa Ta’ala,
Dzat Yang membolak-balik hati.’
Ibnu Jarir meriwayatkan
dengan sanadnya dari Qotadah bahwa beliau mengatakan: “Yang disembunyikan oleh
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hatinya adalah harapan seandainya Zaid
radhiallahu ‘anhu menceraikannya.”
Derajat Kisah
BATHIL. Kisah ini secara
sanad adalah bathil sebagaimana ditegaskan oleh para ulama, di antaranya:
Imam Ibnul Arobi
berkata: “Riwayat-riwayat ini, semua sanadnya jatuh dan bathil.”
Imam Ibnu Katsir
berkata, “Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim menyebutkan atsar-atsar dari salaf
tentang hal ini, kami tidak ingin mencantumkannya di sini karena semua tidak
shahih.”
Syaikh Dr. Muhammad Abu
Syuhbah berkata bahwa kisah ini bathil, tidak memiliki penguat secara dalil
maupun akal dan hanyalah kisah buatan musuh-musuh agama. Oleh karenanya kisah
ini tidak disebutkan kecuali oleh ahli tafsir dan ahli sejarah yang hanya
meriwayatkan semua berita baik yang shahih maupun lemah dan tidak ada dalam
kitab-kitab hadis yang terpercaya.”
Selanjutnya beliau
mengatakan, “Kesimpulannya, kalau memang kisah ini keadaannya seperti yang Anda
lihat, yakni tidak memiliki sanad dan bertentangan dengan kehidupan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak tersisa kecuali bahwa kisah ini
adalah palsu.”
Mengkritisi Matan Kisah
Kisah ini dimanfaatkan
dengan baik oleh orang-orang kafir dan sejawatnya dari orang-orang yang
memiliki penyakit dalam hatinya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
sangat mementingkan kebutuhan seksual sehingga sampai hati menyuruh anak angkatnya
sendiri menceraikan istrinya agar dia bisa menikahi istrinya hanya sekedar
untuk kepuasan seksual!
Subhanallah!! alangkah
kotornya ucapan yang keluar dari mulut mereka! Mereka tidak mengucapkan kecuali
kedustaan.
Tahukah mereka,
seandainya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi karena kebutuhan seksual
semata niscaya beliau akan memilih para gadis yang lebih cantik?! Tahukah
mereka bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah sering melihat Zainab
radhiallahu ‘anhu sejak kecilnya?! Lantas, apakah masuk akal kalau Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam baru melakukan hal itu setelah pernikahan Zainab
radhiallahu ‘anha dengan Zaid?
Sesungguhnya akal sehat
manusia pasti akan mengingkari hal ini. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam adalah seorang Nabi yang dikenal di tengah-tengah kaumnya memiliki
akhlak yang mulia dan tinggi, amanah, dan jujur sehingga mendapatkan pujian
langsung dari Allah Subhanahu wa Ta’ala? Lantas, mungkinkah setelah itu beliau
memiliki hubungan rusak seperti itu?
Barangsiapa yang mau
adil dan mempelajari sejarah sebab pernikahan dan poligami Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, niscaya dia akan mengetahui secara pasti bahwa
pernikahan dan poligami beliau dibangun di atas hikmah-hikmah yang mengagumkan.
Seperti penyebaran Islam, membantu wanita janda yang lemah, menjelaskan sebuah
hukum syariat dan lain sebagainya. Jadi bukan hanya sekadar kepuasan seksual
semata seperti tuduhan orang-orang yang benci kepada Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam. Wallahu a’lam.
Tafsir yang Benar
Pendapat yang benar
bahwa maksud sesuatu yang disembunyikan dalam hati Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam adalah berita dari Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada beliau
bahwa Zainab radhiallahu ‘anha kelak akan menjadi istrinya.
Imam Az-Zuhri berkata,
“Jibril turun kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitahukan kepada
beliau bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menikahkannya dengan Zainab binti
Jahsy radhiallahu ‘anha, itulah yang disembunyikan oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam hatinya.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar
berkata, “Kesimpulannya bahwa yang disembunyikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam adalah berita Allah Subhanahu wa Ta’ala bahwa Zainab binti Jahys
radhiallahu ‘anhu, akan menjadi istrinya. Sedangkan yang membuat beliau
menyembunyikan hal itu adalah karena beliau khawatir omongan orang bahwa beliau
menikahi istri anaknya.
Allah Subhanahu wa
Ta’ala ingin membatalkan keyakinan Jahiliyah seputar hukum menikahi mantan
istri anak angkat yang dipraktikkan sendiri oleh imam kaum muslimin sehingga
lebih mudah diterima oleh mereka.”
Shahabiyah ini bernama
lengkap Ramlah binti Abu Sufyan Shakhar bin Harb bin Umayyah, pemimpin Makkah.
Ibunya adalah Shafiyah bin Abu Al-‘Ash Al-Umawiyah, saudari kandung Utsman bin
Abu Al-Ash, orangtua dari Utsman bin Affan. Sedangkan suaminya adalah
Ubaidillah bin Jahsy Al-Asadi, anak laki-laki bibi Nabi Muhammad Saw, dan
saudara dari Ummul Mukminin Zainab bin Jahsy.
Ramlah dilahirkan tujuh
belas tahun sebelum diutusnya Rasulullah. Wanita yang masuk Islam bersama
dengan suaminya ini termasuk salah satu wanita tangguh yang memiliki sejumlah
sikap heroik dan patriotik.
Keteguhan dalam Memeluk
Islam
Dikisahkan bahwa setelah
Ramlah binti Abu Sufyan mendengar tentang Islam, dia langsung menyatakan diri
memeluk Islam, terutama setelah mengetahui bahwa agama baru itu menyuruh
manusia untuk menyembah Allah semata, meninggalkan peribadatan berhala,
menganjurkan untuk berakhlak baik dan terpuji, serta menjauhi berbagai bentuk
kemungkaran. Ramlah meyakini bahwa hanya Islamlah agama yang baik.
Karena itu, dia bergegas
masuk Islam, dan tidak takut kepada ayahnya, Abu Sufyan, yang pada saat itu
menjadi pemimpin Makkah dan juga pemimpin Bani Umayyah. Terbukti, setelah
berita masuk Islamnya sampai kepada sang ayah yang merupakan pemimpin kaum
musyrik, dia tetap tegar dan kokoh pada pendiriannya.
Mendengar berita
keislamannya putrinya, Abu Sufyan marah besar. Ini mengingat, tidak pernah
terlintas di benaknya akan ada seseorang dari suku Quraisy yang keluar dari
kekuasaannya dan menentang perintahnya. Jelas, keislaman putrinya, Ramlah,
sangat mengusik kekuasaan Abu Sufyan. Ramlah benar-benar memiliki sikap
patriotik luar biasa yang dicatat oleh sejarah. Betapa tidak, dia begitu teguh
menghadapi tirani kekafiran yang direfleksikan dalam diri sang ayah. Ramlah
dengan terang-terangan ingkar kepada tuhan-tuhan ayahnya, tuhan-tuhan yang
selamanya tidak akan pernah mendatangkan manfaat dan tidak pula bisa menolak
bahaya. Ramlah dengan kokohnya beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.
Tak ayal, Abu Sufyan
berusaha dengan segala cara untuk bisa mengembalikan putrinya itu kepada agama
nenek moyangnya. Namun usahanya itu sia-sia, karena sang putri tetap kokoh pada
akidah tauhid. Abu Sufyan pun merasa malu dan bersembunyi dari kaumnya. Dia
tidak tahu lagi bagaimana menghadapi cemoohan orang-orang Quraisy yang
disebabkan keislaman Ramlah.
Maka orang-orang musyrik
melakukan konspirasi untuk menghadapi Ramlah dan suaminya, setelah mendapatkan
‘restu’ dari Abu Sufyan. Mereka mempersempit ruang gerak Ramlah dan suaminya,
hingga keduanya lari dari bumi Makkah, dan berangkat menuju Habasyah. Keduanya
pun menetap di Habasyah. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi dengan takdirnya.
Allah berketetapan untuk memberikan ujian berat kepada Ramlah, untuk menguji
kekuatan iman dan ketetapan hatinya.
“…Berbagai ujian dan
cobaan dilalui Ramlah di Habasyah, dan dia tetap dalam keimanannya, beribadah
kepada Allah, mendidik anaknya dalam koridor ketaatan kepada Allah dan
Rasul-Nya…”
Berbagai ujian dan
cobaan dilalui Ramlah di Habasyah, dan dia tetap dalam keimanannya, beribadah
kepada Allah, mendidik anaknya dalam koridor ketaatan kepada Allah dan
Rasul-Nya. Tidak seperti Ramlah yang kokoh dan tegar, Ubaidillah bin Jahsy
(suaminya) justru menjadi ragu-ragu, dan sering kedapatan duduk bareng dengan
para pendeta Nasrani.
Pada suatu malam, Ramlah
bermimpi bahwa suaminya terjatuh ke dalam lautan yang dalam dan gelap. Sehingga
keadaannya suaminya menjadi sangat buruk. Kemudian dia pun bangun dari tidurnya
dengan perasaan takut dan cemas. Ramlah menemui suaminya dan memberitahukan
kepadanya mengenai mimpi itu. Suaminya lantas berkata, “Aku melihat agama itu
(Nasrani), dan aku tidak melihat suatu agama yang lebih baik daripada agama
Nasrani. Karena itu, aku menganut agama itu. Kemudian aku masuk ke dalam agama
Muhammad, dan aku kembali lagi ke agama Nasrani.”
Ramlah kemudian berusaha
mengembalikan suami ke agama Islam, namun suaminya menolak. Hal ini menjadi
ujian dan cobaan terberat baginya. Bahkan suaminya mencoba mengajak Ramlah
untuk memeluk agama Nasrani. Akan tetapi Ramlah bersikap layaknya seorang
patriot dan tetap bertahan di dalam Islam yang telah melapangkan dada dan
menyinari akalnya. Ubaidillah kemudian memberi dua pilihan kepada Ramlah;
memeluk agama Nasrani atau diceraikan. Bagi Ramlah dua pilihan itu menjelma
menjadi tiga pilihan, yaitu antara menemui seruan suaminya, atau diceraikan,
atau kembali kepada ayahnya yang masih kafir, lalu tinggal di rumahnya dalam
keadaan terpaksa dan ditekan, atau tetap bermukim di negeri Habasyah sendirian,
tanpa keluarga.
“…ujian terberat bagi
Ramlah, saat suaminya murtad menjadi Nasrani. Bahkan suaminya mengajak Ramlah
murtad memeluk Nasrani. Akan tetapi Ramlah tetap bertahan di dalam Islam, dan
diultimatum dengan dua pilihan; memeluk agama Nasrani atau diceraikan…”
Ramlah menjauh dari
orang-orang dan duduk menyendiri memikirkan apa yang harus dilakukan. Hingga
akhirnya, keteguhan imannya memutuskan untuk tetap tinggal di Habasyah. Dia
pasrah dan menyerahkan segala urusannya hanya kepada Allah. Demikianlah,
seandainya bukan karena keimanan dan ketawakalannya yang kuat kepada Allah,
niscaya dia tidak mampu menghadapi ujian serta guncangan yang berat itu. Dalam
keadaan itulah Ramlah kemudian mendengar kabar kematian suaminya yang meregang
nyawa disebabkan minuman keras (khamr). Namun sekali lagi, dia tetap bersabar
menghadapi kabar duka itu.
Bertemu Kembali dengan
Sang Ayah
Hari demi hari dilalui
Ramlah di negeri Habasyah dengan penuh kesabaran dan ketabahan menghadapi
berbagai macam kesulitan hidup, hingga akhirnya Allah memberinya jalan keluar
dari segenap ujian itu. Karena sesungguhnya setelah kesulitan pasti datang
kemudahan, dan setiap masalah pasti akan ada jalan keluar dan jalan menuju
kebahagiaan, selama berpegang teguh kepada Islam.
Diceritakan bahwa
Rasulullah mengutus seseorang untuk melamarkan Ramlah bagi beliau. Dengan
demikian, Ramlah mendapatkan kemuliaan sangat besar, karena menjadi Ummul
Mukminin. Hal tersebut merupakan balasan keimanan dan kesabarannya, serta
keteguhan hatinya.
Ummul Mukminin Ramlah
kemudian kembali ke Madinah, dan hampir seluruh penduduknya menyambut hangat
kedatangan anak perempuan Abu Sufyan itu. Dia lalu tinggal bersama Rasulullah
dan memulai kehidupan bersama beliau dalam keadaan yang lebih baik dari
kehidupan sebelumnya.
Ketika orang-orang
Quraisy melanggar perjanjian yang ditetapkan bersama Rasulullah, Abu Sufyan
datang untuk memperbarui dan mengokohkan perjanjian itu. Abu Sufyan lalu
menemui putrinya, Ramlah, di dalam rumah. Ketika Abu Sufyan hendak duduk di
atas dipan Rasulullah, dengan tanggap Ramlah melakoni sikap patriotik di
hadapan ayahnya, dan menyingkirkan dipan beliau agar tidak diduduki sang ayah.
“…Ramlah menyadari bahwa
ayahnya masih kafir, sehingga dia tidak membolehkannya duduk di tempat
Rasulullah. Tak lama setelah kejadian tersebut, Abu Sufyan kemudian masuk
Islam…”
Sikap tersebut menjadi
teladan baik bagi kaum beriman untuk senantiasa membela Rasulullah, dan barra`
(berlepas diri) dari orang-orang kafir, meski mereka adalah orangtua dan
saudara. Ramlah menyadari bahwa ayahnya masih kafir, sehingga dia tidak
membolehkannya duduk di tempat Rasulullah. Tak lama setelah kejadian tersebut,
Abu Sufyan kemudian masuk Islam. Betapa senang dan gembira hati Ramlah, setelah
menjalani kehidupan yang sulit, dia kemudian mendapatkan beberapa kebahagiaan.
Sikap Ramlah menghadapi
cobaan yang menimpanya bisa dijadikan contoh baik bagi setiap muslim dan
muslimah. Kedalaman keimanan kepada Allah membuatnya mampu bersabar dalam
keadaan susah dan tetap berpegang teguh kepada prinsip. [ganna
pryadha/voa-islam.com]
Shafiyah binti Huyay
Dari Wikipedia bahasa
Indonesia, ensiklopedia bebas Bagian dari serial Islam
Ummu al-Mu'minin
Para istri Muhammad
Khadijah binti Khuwailid
Sawdah binti Zam'ah
Aisyah binti Abu Bakar
Hafshah binti Umar
Zaynab binti Khuzaymah
Hindun binti Abi Umayyah
Zaynab binti Jahsy
Juwayriyah binti Harits
Ramlah binti Abu Sufyan
Shafiyah binti Huyay
Maymunah binti al-Harits
Maria binti Syama’un
Shafiyah binti Huyay
(Bahasa Arab صفية بنت حيي, Shafiya/ Shafya/ Safiyya/
Sofiya) (sekitar 610 M - 670 M) adalah salah satu istri ke-11 Muhammad yang
berasal dari suku Bani Nadhir. Ketika menikah, ia masih berumur 17 tahun.[1] Ia
mendapatkan julukan "Ummul mu'minin".[2] Bapaknya adalah ketua suku
Bani Nadhir, salah satu Bani Israel yang bermukim disekitar Madinah.Daftar isi
1 Genealogi
2 Biografi
2.1 Penaklukan Khaibar
dan Penawanannya
2.2 Masa Pernikahannya
(Menjadi Ummu al-Mukminin)
3 Catatan kaki
4 Referensi
5 Lihat pula
Genealogi
Shafiyyah binti Huyay
bin Akhtab bin Sa’yah bin Amir bin Ubaid bin Kaab bin al-Khazraj bin Habib bin
Nadhir bin al-Kham bin Yakhurn, termasuk keturunan Harun bin Imran bin Qahits
bin Lawi bin Israel bin Ishaq bin Ibrahim. Ibunya bernama Barrah binti Samaual
darin Bani Quraizhah. Shafiyyah dilahirkan sebelas tahun sebelum hijrah, atau
dua tahun setelah masa kenabian Muhammad.
Biografi
Shafiyah telah menjanda
sebanyak dua kali, karena dia pernah kawin dengan dua orang keturunan Yahudi
yaitu Salam bin Abi Al-Haqiq (dalam kisah lain dikatakan bernama Salam bin
Musykam), salah seorang pemimpin Bani Qurayzhah, namun rumah tangga mereka
tidak berlangsung lama.
Kemudian suami keduanya
bernama Kinanah bin Rabi' bin Abil Hafiq, ia juga salah seorang pemimpin Bani
Qurayzhah yang diusir Rasulullah. Dalam Perang Khaibar, Shafiyah dan suaminya
Kinanah bin Rabi' telah tertawan, karena kalah dalam pertempuran tersebut.
Dalam satu perundingan Shafiyah diberikan dua pilihan yaitu dibebaskan kemudian
diserahkan kembali kepada kaumny atau dibebaskan kemudian menjadi isteri
Muhammad, kemudian Safiyah memilih untuk menjadi isteri Muhammad.
Shafiyah memiliki kulit
yang sangat putih dan memiliki paras cantik, menurut Ummu Sinan Al-Aslamiyah,
kecantikannya itu sehingga membuat cemburu istri-istri Muhammad yang lain.
Bahkan ada seorang istri Muhammad dengan nada mengejek, mereka mengatakan bahwa
mereka adalah wanita-wanita Quraisy bangsa Arab, sedangkan dirinya adalah
wanita asing (Yahudi). Bahkan suatu ketika Hafshah sampai mengeluarkan lisan
kata-kata, ”Anak seorang Yahudi” hingga menyebabkan Shafiyah menangis. Muhammad
kemudian bersabda, “Sesungguhnya engkau adalah seorang putri seorang nabi dan
pamanmu adalah seorang nabi, suamimu pun juga seorang nabi lantas dengan alasan
apa dia mengejekmu?” Kemudian Muhammad bersabda kepada Hafshah, “Bertakwalah
kepada Allah wahai Hafshah!” Selanjutnya manakala dia mendengar ejekan dari
istri-istri nabi yang lain maka diapun berkata, “Bagaimana bisa kalian lebih
baik dariku, padahal suamiku adalah Muhammad, ayahku (leluhur) adalah Harun dan
pamanku adalah Musa?”[3] Shafiyah wafat tatkala berumur sekitar 50 tahun,
ketika masa pemerintahan Mu'awiyah.
Sejak kecil dia menyukai
ilmu pengetahuan dan rajin mempelajari sejarah dan kepercayaan bangsanya. Dari
kitab suci Taurat dia membaca bahwa akan datang seorang nabi dari jazirah Arab
yang akan menjadi penutup semua nabi. Pikirannya tercurah pada masalah kenabian
tersebut, terutama setelah Muhammad muncul di Mekkah. Dia sangat heran ketika
kaumnya tidak mempercayai berita besar tersebut, padahal sudah jelas tertulis
di dalam kitab mereka sendiri. Demikian juga ayahnya, Huyay bin Akhtab, yang
sangat gigih menyulut permusuhan terhadap kaum Muslim.
Sifat dusta, tipu
muslihat, dan pengecut ayahnya sudah tampak di mata Shafiyyah dalam banyak
peristiwa. Di antara yang menjadi perhatian Shafiyyah adalah sikap Huyay
terhadap kaumnya sendiri, Yahudi Bani Qurayzhah. Ketika itu, Huyay berjanji
untuk mendukung dan memberikan pertolongan kepada mereka jika mereka melepaskan
perjanjian tidak mengkhianati kaum Muslim (Perjanjian Hudaibiyah). Akan tetapi,
ketika kaum Yahudi mengkhianati perjanjian tersebut, Huyay melepaskan tanggung
jawab dan tidak menghiraukan mereka lagi. Hal lain adalah sikapnya terhadap
orang-orang Quraisy Mekah. Huyay pergi ke Mekah untuk menghasut kaum Quraisy
agar memerangi kaum Muslim dan mereka menyuruhnya mengakui bahwa agama mereka
(Quraisy) lebih mulia daripada agama Muhammad, dan Tuhan mereka lebih baik
daripada Tuhan Muhammad.
Penaklukan Khaibar dan
Penawanannya
Perang Khandaq telah
membuka tabir pengkhianatan kaum Yahudi terhadap perjanjian yang telah mereka
sepakati dengan kaum muslimin. Muhammad segera menyadari ancaman yang akan
menimpa kaum muslimin dengan berpindahnya kaum Yahudi ke Khaibar kernudian
membentuk pertahanan yang kuat untuk persiapan menyerang kaum muslimin.
Setelah perjanjian
Hudaibiyah disepakati untuk menghentikan permusuhan selama sepuluh tahun,
Muhammad merencanakan penyerangan terhadap kaum Yahudi, tepatnya pada bulan
Muharam tahun ketujuh hijriah. Muhammad memimpin tentara Islam untuk
menaklukkan Khaibar, benteng terkuat dan terakhir kaum Yahudi. Perang
berlangsung dahsyat hingga beberapa hari lamanya, dan akhirnya kemenangan ada
di tangan umat Islam. Benteng-benteng mereka berhasil dihancurkan, harta benda
mereka menjadi harta rampasan perang, dan kaum wanitanya pun menjadi tawanan
perang. Di antara tawanan perang itu terdapat Shafiyyah, putri pemimpin Yahudi
yang ditinggal mati suaminya.
Bilal membawa Shafiyyah
dan putri pamannya menghadap Muhammad. Di sepanjang jalan yang dilaluinya
terlihat mayat-mayat tentara kaumnya yang dibunuh. Hati Shafiyyah sangat sedih
melihat keadaan itu, apalagi jika mengingat bahwa dirinya menjadi tawanan kaum
muslimin. Muhammad memahami kesedihan yang dialaminva, kemudian ia bersabda
kepada Bilal, “Sudah hilangkah rasa kasih sayang dihatimu, wahai Bilal,
sehingga engkau tega membawa dua orang wanita ini melewati mayat-mayat suami
mereka?” Muhammad memilih Shafiyyah sebagai istri setelah terlebih dahulu
menawarkan untuk memeluk agama Islam kepadanya dan kemudian Shafiyyah menerima
tawaran tersebut.
Seperti telah dikaji di
atas, Shafiyyah telah banyak memikirkan Muhammad sejak dia belum mengetahui
kerasulan beliau. Keyakinannya bertambah besar setelah dia mengetahui bahwa
Muhammad adalah utusan Allah. Anas berkata, “Rasulullah ketika hendak menikahi
Shafiyyah binti Huyay bertanya kepadanya, ‘Adakah sesuatu yang engkau ketahui
tentang diriku?’ Dia menjawab, ‘Ya Rasulullah, aku sudah rnengharapkanrnu sejak
aku masih musyrik, dan memikirkan seandainya Allah mengabulkan keinginanku itu
ketika aku sudah memeluk Islam.” Ungkapan Shafiyyah tersebut menunjukkan rasa percayanya
kepada Muhammad dan rindunya terhadap Islam.
Bukti-bukti yang jelas
tentang keimanan Shafiyyah dapat terlihat ketika dia memimpikan sesuatu dalam
tidurnya kemudian dia ceritakan mimpi itu kepada suaminya. Mengetahui takwil
dan mimpi itu, suaminya marah dan menampar wajah Shafiyyah sehingga berbekas di
wajahnya. Muhammad melihat bekas di wajah Shafiyyah dan bertanya, “Apa ini?”
Dia menjawab, “Ya Rasul, suatu malam aku bermimpi melihat bulan muncul di
Yastrib, kemudian jatuh di kamarku. Lalu aku ceritakan mimpi itu kepada
suamiku, Kinanah. Dia berkata, ‘Apakah engkau suka menjadi pengikut raja yang
datang dari Madinah?’ Kemudian dia menampar wajahku.”
Masa Pernikahannya
(Menjadi Ummu al-Mukminin)
Muhammad menikahi
Shafiyyah dan kebebasannya menjadi mahar perkawinan dengannya. Pernikahan
Muhammad dengan Shafiyyah didasari beberapa landasan. Shafiyyah telah mernilih
Islam serta menikah dengan Muhammad ketika ia memberinya pilihan antara memeluk
Islam dan menikah dengan beliau atau tetap dengan agamanya dan dibebaskan
sepenuhnya. Ternyata Shafiyyah memilih untuk tetap bersama Muhammad, Selain
itu, Shafiyyah adalah putri pemimpin Yahudi yang sangat membahayakan kaum
muslim, di samping itu, juga karena kecintaannya kepada Islam dan Muhammad.
Muhammad menghormati
Shafiyyah sebagaimana hormatnya ia terhadap istri-istri yang lain. Akan tetapi,
istri-istri Muhammad menyambut kedatangan Shafiyyah dengan wajah sinis karena
dia adalah orang Yahudi, di samping juga karena kecantikannya yang menawan.
Akibat sikap mereka, Muhammad pernah tidak tidur dengan Zainab binti Jahsy
karena kata-kata yang dia lontarkan tentang Shafiyyah. Aisyah bertutur tentang
peristiwa tersebut, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam tengah dalam
perjalanan. Tiba-tiba unta Shafiyyah sakit, sementara unta Zainab berlebih.
Rasulullah berkata kepada Zainab, ‘Unta tunggangan Shafiyyah sakit, maukah
engkau memberikan salah satu dan untamu?’ Zainab menjawab, ‘Akankah aku memberi
kepada seorang perempuan Yahudi?’ Akhirnya, beliau meninggalkan Zainab pada
bulan Dzulhijjah dan Muharam. Artinya, beliau tidak mendatangi Zainab selama
tiga bulan. Zainab berkata, ‘Sehingga aku putus asa dan aku mengalihkan tempat
tidurku.” Aisyah mengatakan lagi, “Suatu siang aku melihat bayangan Rasulullah
datang. Ketika itu Shafiyyah mendengar obrolan Hafshah dan Aisyah tentang
dirinya dan mengungkit-ungkit asal-usul dirinya. Betapa sedih perasannya. Lalu
dia mengadu kepada Rasulullah sambil menangis. Rasulullah menghiburnya,
‘Mengapa tidak engkau katakan, bagaimana kalian berdua lebih baik dariku,
suamiku Muhammad, ayahku Harun, dan pamanku Musa.” Di dalam hadits riwayat
Tirmidzi juga disebutkan, “Ketika Shafiyyah mendengar Hafshah berkata,
‘Perempuan Yahudi!’ dia menangis, kemudian Muhammad menghampirinya dan berkata,
‘Mengapa engkau menangis?’ Dia menjawab, ‘Hafshah binti Umar mengejekku bahwa
aku wanita Yahudiah.’ Kemudian Muhammad bersabda, ‘Engkau adalah anak nabi,
pamanmu adalah nabi, dan kini engkau berada di bawah perlindungan nabi. Apa
lagi yang dia banggakan kepadamu?’ Muhammad kemudian berkata kepada Hafshah,
‘Bertakwalah engkau kepada Allah, Hafshah!”
Salah satu bukti cinta
Hafshah kepada Muhammad terdapat pada hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Saad
dalarn Thabaqta-nya tentang istri-istri Nabi yang berkumpul menjelang beliau
wafat. Shafiyyah berkata, “Demi Allah, ya Nabi, aku ingin apa yang engkau
derita juga menjadi deritaku.” Istri-istri Rasulullah memberikan isyarat satu
sama lain. Melihat hal yang demikian, beliau berkata, “Berkumurlah!” Dengan
terkejut mereka bertanya, “Dari apa?” Beliau menjawab, “Dari isyarat mata
kalian terhadapnya. Demi Allah, dia adalah benar.”
Setelah Muhammad wafat,
Shafiyyah merasa sangat terasing di tengah kaum muslimin karena mereka selalu
menganggapnya berasal dan Yahudi, tetapi dia tetap komitmen terhadap Islam dan
mendukung perjuangan Muhammad. Ketika terjadi fitnah besar atas kematian Utsman
bin Affan, dia berada di barisan Utsman. Selain itu, dia pun banyak
meriwayatkan hadits Nabi. Dia wafat pada masa kekhalifahan Mu’awiyah bin Abi
Sufyan. Marwan bin Hakam menshalatinya, kemudian menguburkannya di Baqi’.
Dialah Maimunah binti
al-Harits bin Huzn bin al-Hazm bin Ruwaibah bin Abdullah bin Hilal bin Amir bin
Sha’sha’ah al-Hilaliyah. Saudari dari Ummul Fadhl istri Abbas. Beliau adalah
bibi dari Khalid bin Walid dan juga bibi dari Ibnu Abbas.
Beliau termasuk pemuka
kaum wanita yang masyhur dengan keutamaannya, nasabnya dan kemuliaannya. Pada
mulanya beliau menikah dengan Mas’ud bin Amru ats-Tsaqafi sebelum masuk Islam
sebagaimana beliau. Namun beliau banyak mondar-mandir ke rumah saudaranya Ummul
Fadhl sehingga mendengar sebagian kajian-kajian Islam tentang nasib dari kaum
muslimin yang berhijrah. Sampai kabar tentang Badar dan Uhud yang mana hal itu
menimbulkan bekas yang mendalam dalam dirinya.
Tatkala tersiar berita kemenangan kaum
muslimin pada perang Khaibar, kebetulan ketika itu Maimunah berada didalam
rumah saudara kandungnya yaitu Ummu Fadhl, maka dia juga turut senang dan
sangat bergembira. Namun manakala dia pulang ke rumah suaminya ternyata dia
mendapatkannya dalam keadaan sedih dan berduka cita karena kemenangan kaum
muslimin. Maka hal itu memicu mereka pada pertengkaran yang mengakibatkan
perceraian. Maka beliau keluar dan menetap di rumah al-‘Abbas.
Ketika telah tiba waktu
yang telah di tetapkan dalam perjanjian Hudaibiyah yang mana Nabi Shallallâhu
‘alaihi wa sallam diperbolehkan masuk Mekkah dan tinggal di dalamnya selama
tiga hari untuk menunaikan haji dan orang-orang Quraisy harus membiarkannya.
Pada hari itu kaum muslimin masuk Mekkah dengan rasa aman, mereka mencukur
rambut kepalanya dengan tenang tanpa ada rasa takut. Benarlah janji yang haq
dan terdengarlah suara orang-orang mukmin membahana,”Labbaikallâhumma Labbaika
Labbaika Lâ Syarîka Laka Labbaik…”. Mereka mendatangi Mekkah dalam keadaan
tertunda setelah beberapa waktu bumi Mekkah berada dalam kekuasaan orang-orang
musyrik. Maka debu tanah mengepul di bawah kaki orang-orang musyrik yang dengan
segera menuju bukit-bukit dan gunung-gunung karena mereka tidak kuasa melihat
Muhammad dan para sahabatnya kembali ke Mekkah dengan terang-terangan, kekuatan
dan penuh wibawa. Yang tersisa hanyalah para laki-laki dan wanita yang
menyembunyikan keimanan mereka sedangkan mereka mengimani bahwa pertolongan
sudah dekat.
Maimunah adalah salah
seorang yang menyembunyikan keimanannya tersebut. Beliau mendengarkan suara
yang keras penuh keagungan dan kebesaran. Beliau tidak berhenti sebatas
menyembunyikan keimanan akan tetapi beliau ingin agar dapat masuk Islam secara
sempurna dengan penuh Izzah (kewibawaan) yang tulus agar terdengar oleh semua
orang tentang keinginannya untuk masuk Islam. Dan diantara harapannya adalah
kelak akan bernaung di bawah atap Nubuwwah sehingga dia dapat minum pada mata
air agar memenuhi perilakunya yang haus akan aqidah yang istimewa tersebut,
yang akhirnya merubah kehidupan beliau menjadi seorang pemuka bagi generasi
yang akan datang. Dia bersegera menuju saudara kandungnya yakni Ummu fadhl
dengan suaminya ‘Abbas dan diserahkanlah urusan tersebut kepadanya. Tidak ragu
sedikitpun Abbas tentang hal itu bahkan beliau bersegera menemui Nabi
Shallallâhu ‘alaihi wa sallam dan menawarkan Maimunah untuk Nabi. Akhirnya Nabi
menerimanya dengan mahar 400 dirham. Dalam riwayat lain, bahwa Maimunah adalah
seorang wanita yang menghibahkan dirinya kepada Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa
sallam maka turunlah ayat dari Allah Tabaraka Ta’ala (artinya) :
“….Dan perempuan mukmin
yang menyerahkan diri kepada Nabi kalau Nabi mengawininya sebagai pengkhususan
bagimu, bukan untuk semua orang mukmin….”( al-Ahzab: 50)
Maimunah binti
Harits:Wanita Patriotik dan Totalitas Jihad Tanpa Batas
Nama lengkapnya Maimunah
binti Al-Harits bin Hazn bin Bujair bin Al-Huzm bin Ruwaibah bin Abdullah bin
Hilal bin Amir. Ibunya bernama Hindun binti Auf bin Zuhair bin Al-Harits yang
dikatakan kepadanya, “Orang yang mulia menantunya di muka bumi.” Ini mengingat,
menantunya adalah Rasulullah SAW, Abu Bakar Ash-Shiddiq, Hamzah dan Al-Abbas
(keduanya putra Abdul Thalib), Ja’far dan Ali (keduanya putra Abu Thalib), dan
Syaddad bin Al-Had.
Maimunah dilahirkan di
Makkah Al-Mukarramah, enam tahun sebelum diutusnya Nabi Muhammad. Wanita yang
masuk Islam ketika masih kecil ini berasal dari keturunan yang mulia. Dia
memiliki pemikiran dewasa dan berperilaku baik. Dengan garis keturunan yang
baik dan kedudukan mulia, maka cukuplah baginya untuk disebut sebagai wanita
mulia dan dibanggakan.
Dia menikah dengan Ibnu
Mas’ud bin Amru bin Ats-Tsaqafi sebelum Islam, namun kemudian bercerai. Setelah
itu dia menikah dengan Abu Ruham bin Abdul Uzza yang kemudian meninggal dunia.
Kemudian dia menikah dengan Nabi Muhammad.
Keberanian dan Sikap
Patrioriknya
Beberapa riwayat
menyebutkan bahwa Maimunah adalah seorang wanita pemberani dan berjiwa
patriotik. Bahkan dia tak segan-segan bersikap tegas serta keras kepada para
pelaku kemaksiatan. Diriwayatkan, Ibnu Sa’ad menyebutkan, dari Yazid bin
Al-Asham, dia berkata, “Pada suatu hari, seorang laki-laki kerabat Maimunah
datang kepadanya. Dari laki-laki tersebut tercium bau minuman keras. Lantas
Maimunah berkata dalam keadaan marah, ‘Demi Allah, mengapa engkau tidak keluar
ke tengah-tengah kaum muslimin, lantas mereka akan mencambukmu?’” Atau dalam
riwayat lain dia berkata, “Engkau jangan datang lagi kepadaku setelah hari ini,
selamanya.” Maimunah kemudian menyuruh keluar, dan kerabatnya itu pun keluar.
…Maimunah adalah wanita
pemberani dan berjiwa patriotik, dia tak segan-segan bersikap keras kepada para
pelaku kemaksiatan…
Sungguh, tindakannya
tersebut merupakan sikap patriotik biasa dari seorang wanita mulia lagi
pemberani. Kemarahannya kepada seorang pemabuk itu diungkapkan di jalan yang
benar, yaitu jalan Allah. Dengan begitu, dia berupaya untuk berpegang teguh
kepada perintah Allah dan menerapkan hukum-hukumNya, sekalipun harus
menerapkannya kepada kerabatnya sendiri.
Demi tegaknya hukum
Allah, dia tidak merasa kasihan kepada siapa pun. Apakah ada orang yang berani
melakukan tindakan tegas seperti dilakoni Maimunah? Masih adakah orang yang
bersikap demikian ketika melihat seseorang dari keluarga atau kerabatnya
melakukan kemaksiatan? Adakah orang pada saat sekarang yang marah karena
hukum-hukum Allah diabaikan?
Apa yang dilakukan
Maimunah merupakan sikap wala‘ yang benar dan menjadi hiasan baginya di sisi
Allah. Seseorang yang memejamkan matanya (tidak peduli) ketika melihat saudara
atau kerabatnya melanggar hukum Allah, maka dia bukan muslim yang beriman
dengan benar. Sungguh sangat terpuji Umar bin Al-Khathab yang menerapkan hukum
had kepada anaknya dan mencambuk dengan tangannya sendiri.
…Demi tegaknya hukum
Allah, dia berani melakukan tindakan tegas. Dia berani marah bila hukum-hukum
Allah diabaikan…
Kontribusinya dalam
Jihad Fi Sabilillah
Keutamaan Maimunah binti
Al-Harits tidak terbatas pada kekuatan iman, takwa, wara’, zuhud, dan kejujuran
saja. Lebih dari itu, dia adalah seorang sahabat wanita yang memiliki
kontribusi banyak dalam ranah jihad fi sabilillah. Maimunah ikut membantu
mengobati tentara Islam yang terluka, membawa air dan menuangkannya ke mulut
para mujahid yang kehausan di medan tempur. Tak hanya itu, dia juga membawakan
untuk mereka perbekalan makanan. Ada yang mengatakan bahwa Maimunah adalah
sahabat wanita pertama yang membentuk kelompok perempuan pemberi pertolongan
kepada orang-orang terluka, atau orang-orang yang berjihad.
…Dalam jihadnya di jalan
Allah, dia pernah terkena panah musuh ketika sedang membawakan air untuk
prajurit Islam yang telah lemah…
Dalam jihadnya di jalan
Allah, dia pernah terkena panah musuh ketika sedang membawakan air untuk
prajurit Islam yang telah lemah. Kalau bukan karena pertolongan Allah, hampir
saja panah tersebut membunuhnya. Totalitas tanpa batas Maimunah dalam
perjuangan Islam tak usah diragukan lagi. Dia layak menjadi teladan untuk
seluruh kaum muslimin, terutama para muslimah, agar bersama-sama memperjuangkan
agama Allah; tegaknya syariat Islam di bumi-Nya, baik dengan menyumbangkan
harta, tenaga, jiwa, maupun waktu. [ganna pryadha/voa-islam.com]
Maria al-Qabtiyya
Dari Wikipedia bahasa
Indonesia, ensiklopedia bebas Bagian dari serial Islam
Ummu al-Mu'minin
Para istri Muhammad
Khadijah binti Khuwailid
Sawdah binti Zam'ah
Aisyah binti Abu Bakar
Hafshah binti Umar
Zaynab binti Khuzaymah
Hindun binti Abi Umayyah
Zaynab binti Jahsy
Juwayriyah binti Harits
Ramlah binti Abu Sufyan
Shafiyah binti Huyay
Maymunah binti al-Harits
Maria binti Syama’un
Maria binti Syama’un
(Arab: مارية
القبطية, transliterasi:Maria al-Qabtiyyah, Maria Qupthiyah
atau Maria orang Koptik) (meninggal 637) adalah seorang budak Kristen Koptik
yang dikirimkan sebagai hadiah dari Muqawqis, seorang pegawai Bizantium, kepada
nabi Islam Muhammad pada tahun 628.[1] Menurut sebagian tokoh Islam, dia juga
merupakan istri Muhammad, and "Ibu Orang-Orang Mu'min" (Arab: Ummul
Mu'min), sumber lain seperti Ibnul Qayyim menyatakan bahwa dia hanya seorang
selir. Dia merupakan ibu dari putra Muhammad Ibrahim, yang meninggal ketika
masih kecil. Sudaranya, Sirin, juga dikirimkan kepada Muhammad; Muhammad
kemudian memberikannya kepada pengikutnya Hassan bin Tsabit.[2] Maria tidak
pernah menikah lagi setelah kematian Muhammad pada tahun 632, dan dia meninggal
lima tahun kemudian. Hari kelahirannya sampai saat ini tidak diketahui. Juga,
tidak ada sumber-sumber kuat yang menyebutkan usianya.Daftar isi
1 Biografi
1.1 Tahun pengutusan
1.2 Dari Mesir ke
Yastrib
1.3 Pernikahan dengan
Muhammad
1.4 Ibrahim bin Muhammad
2 Catatan
3 Referensi
Biografi
Tahun pengutusan
Pada tahun 6 SH (627 –
628 M), Muhammad disebutkan menulis surat kepada pengusaha kaya Timur Tengah,
yang membahasa kepercayaan baru dan mengajak pengusaha itu untuk bergabung. Apa
yanng merupakan isi dari bagian surat dapat ditemukan dalam kitab Tarikh at-Tabari
karya Muhammad bin Jarir at-Tabari, yang ditulis 250 tahun setelah kejadian itu
diriwayatkan. Tabari menulis bahwa seorang utusan dikirimkan kepada Pemerintah
Mesir, al-Muqawqis. Catatan dalam edisi State University of New York karya
Tabari menjelaskan bahwa hal tersebut tampak sama dengan versi Koresh dari
Kaukasus, yang merupakan Partiark Bizantium dari Alexandria.[3] Catatan
tersebut menambahkan bahwa Koresh tidak menjadi Patriark hingga tahun 631, dan
sebuah laporan yang menyatakan bahwa ia ditempatkan di Mesir tiga hingga empat
tahun lebih awal masih dipertanyakan.
Tabari, walaupun begitu,
mengulang kedatangan Maria dari Mesir:
Pada tahun ini, Hātib b.
Abi Balta'ah kembali dari al-Muqawqis membawa Māriyah dan saudaranya Sīrīn,
bagal betinyanya Duldul, dan keledainya Ya'fūr, dan pakaian-pakaian. Dengan dua
wanita al-Muqawqis, telah dikirimkan kepadanya seorang kasim, dan surat
tersebut ada padanya. Hātib telah mengajaknya masuk Islam sebelum akhirnya tiba
bersama mereka, dan begitu pula Māriyah saudaranya. Rasulullah menempatkan
mereka untuk sementara dengan Ummu Sulaym binti Milhān. Māriyah sangat cantik.
Nabi mengirim saudaranya Sīrīn kepada Hassān bin Tsābit dan dia melahirkan
'Abdul Rahmān bin Hassān.
—Tabari, Tarikh
at-Tabari.[2]
Dari Mesir ke Yastrib
Rasulullah mengirim
surat kepada Muqauqis melalui Hatib bin Baltaah, rnenyeru raja agar memeluk
Islam. Raja Muqauqis menerima Hatib dengan hangat, namun dengan ramah dia
menolak memeluk Islam, justru dia mengirimkan Mariyah, Sirin, dan seorang budak
bernama Maburi, serta hadiah-hadiah hasil kerajinan dari Mesir untuk
Rasulullah. Di tengah perjalanan Hatib rnerasakan kesedihan hati Mariyah karena
harus rneninggalkan kampung halamannya. Hatib rnenghibur mereka dengan
menceritakan Rasulullah dan Islam, kemudian mengajak mereka merneluk Islam.
Mereka pun menerirna ajakan tersebut.
Rasulullah teläh
menerima kabar penolakan Muqauqis dan hadiahnya, dan betapa terkejutnya
Rasulullah terhadap budak pemberian Muqauqis itu. Beliau mengambil Mariyah
untuk dirinya dan menyerahkan Sirin kepada penyairnya, Hasan bin Tsabit.
Istri-istri Nabi yang lain sangat cemburu atas kehadiran orang Mesir yang
cantik itu sehingga Rasulullah harus menitipkan Mariyah di rumah Haritsah bin
Nu’man yang terletak di sebelah rnasjid.
Pernikahan dengan
Muhammad
Banyak sumber Muslim
mengatakan bahwa Muhammad kemudian memerdekakan dan menikahi Maria, namun ini
tidak jelas apakah ini fakta historis atau apologi historis. Masalah lain,
budak tidak secara otomatis merdeka karena masuk Islam, sehingga hal ini tidak
begitu jelas mengapa Maria harus dimerdekakan jika dia siap diislamkan.
Muhammad tinggal dalam
rumah bata lumpur dekat dengan masjid Madinah, dan setiap istrinya memiliki
ruang tersendiri dalam rumah bata itu, yang dibangun dalam bentuk barisan yang
dekat dengan ruangannya. Maria, walau begitu, tetap ditempatkann di rumah di
tepi Madinah. Maria juga tidak dikategorikan sebagai istri dalam beberapa
sumber paling awal, seperti dalam catatan Ibnu Hisyam dalam Sirah Ibnu
Ishaq.[4] Sumber-sumber Muslim sepakat bahwa dia merupakan kehormatan yang sama
yang dimenjadi istri Muhammad, dengan anggapan bahwa dia diberi gelar yang sama
seperti istri-istri Muhammad lain – "Ibu orang-orang Mu'min."
Maria memberikan
Muhammad seorang putra, Ibrahim bin Muhammad. Hanya satu istri Muhammad
lainnya, Khadijah yang telah meninggal, telah memberikannya anak. Ibrahim
meninggal ketika masih dalam masa pertumbuhan. Perhatian Muhammad terhadap
Maria diyakini menyebabkan kecemburuan di antara istri-istri lain. Hal itu
tidak dapat teratasi hingga turunnya surah ke-66 dalam Al-Qur'an dengan subyek
Maria. Berikut ini adalah bagian surah tersebut:
Hai Nabi, mengapa kamu
mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu; kamu mencari kesenangan
hati istri-istrimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya
Allah telah mewajibkan kepada kamu sekalian membebaskan diri dari sumpahmu; dan
Allah adalah Pelindungmu dan Dia Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan
ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang dari
istri-istrinya (Hafshah) suatu peristiwa. Maka tatkala (Hafshah) menceritakan
peristiwa itu (kepada Aisyah) dan Allah memberitahukan hal itu (semua
pembicaraan antara Hafshah dengan Aisyah) kepada Muhammad lalu Muhammad memberitahukan
sebagian (yang diberitakan Allah kepadanya) dan menyembunyikan sebagian yang
lain (kepada Hafshah). Maka tatkala (Muhammad) memberitahukan pembicaraan
(antara Hafshah dan Aisyah) lalu Hafshah bertanya, "Siapakah yang telah
memberitahukan hal ini kepadamu?" Nabi menjawab, "Telah diberitahukan
kepadaku oleh Allah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal". Jika kamu
berdua bertobat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong
(untuk menerima kebaikan); dan jika kamu berdua bantu-membantu menyusahkan
Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah Pelindungnya dan (begitu pula) Jibril dan
orang-orang mukmin yang baik; dan selain dari itu malaikat-malaikat adalah
penolongnya pula. Jika Nabi menceraikan kamu, boleh jadi Tuhannya akan memberi
ganti kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik daripada kamu, yang patuh,
yang beriman, yang taat, yang bertobat, yang mengerjakan ibadah, yang berpuasa,
yang janda dan yang perawan.
—At-Tahrim [66]:1–5
Sebagian penulis Barat,
seperti Gilchrist dan Rodinson, merasa bahwa "kisah sang kekasih"
merupakan versi yang yang telah mengalami pengurangan terhadap kisah
Maria.[5][6]
Ibrahim bin Muhammad
Allah menghendaki
Mariyah al-Qibtiyah melahirkan seorang putra Rasulullah setelah Khadijah r.a.
Betapa gembiranya Rasulullah mendengar berita kehamilan Mariyah, terlebih
setelah putra-putrinya, yaitu Abdullah, Qasim, dan Ruqayah meninggal dunia.
Mariyah mengandung
setelah setahun tiba di Madinah. Kehamilannya membuat istri-istri Rasul cemburu
karena telah beberapa tahun mereka menikah, namun tidak kunjung dikaruniai
seorang anak pun. Rasulullah menjaga kandungan istrinya dengan sangat
hati-hati. Pada bulan Dzulhijjah tahun kedelapan hijrah, Mariyah melahirkan
bayinya yang kemudian Rasulullah memberinya nama Ibrahim demi mengharap berkah
dari nama bapak para nabi, Ibrahim a.s.. Lalu beliau memerdekakan Mariyah
sepenuhnya. Kaum muslimin menyambut kelahiran putra Rasulullah . dengan
gembira.
Akan tetapi, di kalangan
istri Rasul lainnya api cemburu tengah membakar, suatu perasaan yang Allah
ciptakan dominan pada kaum wanita. Rasa cemburu sernakin tampak bersamaan
dengan terbongkarnya rahasia pertemuan Rasulullah . dengan Mariyah di rumah
Hafshah sedangkan Hafshah tidak berada di rumahnya. Hal ini menyebabkan Hafshah
marah. Atas kemarahan Hafshah itu Rasulullah rnengharamkan Mariyah atas diri
beliau. Kaitannya dengan hal itu, Allah telah menegur lewat firman-Nya:
“Hai Muhammad, mengapa
kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu; kamu mencari
kesenangan hati istri-istrimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. “
(QS. At-Tahriim:1)
Aisyah mengungkapkan
rasa cemburunya kepada Mariyah, “Aku tidak pernah cemburu kepada wanita kecuali
kepada Mariyah karena dia berparas cantik dan Rasulullah sangat tertarik
kepadanya. Ketika pertama kali datang, Rasulullah menitipkannya di rumah
Haritsah bin Nu’man al-Anshari, lalu dia menjadi tetangga kami. Akan tetapi,
beliau sering kali di sana siang dan malam. Aku merasa sedih. Oleh karena itu,
Rasulullah memindahkannya ke kamar atas, tetapi beliau tetap mendatangi tempat
itu. Sungguh itu lebih menyakitkan bagi karni.” Di dalam riwayat lain dikatakan
bahwa Aisyah berkata, “Allah memberinya anak, sementara kami tidak dikaruni
anak seorang pun.”
Beberapa orang dari
kalangan golongan munafik menuduh Mariyah telah melahirkan anak hasil perbuatan
serong dengan Maburi, budak yang menemaninya dari Mesir dan kemudian menjadi
pelayan bagi Mariyah. Akan tetapi, Allah membukakan kebenaran untuk diri
Mariyah setelah Ali ra. menemui Maburi dengan pedang terhunus. Maburi
menuturkan bahwa dirinya adalah laki-laki yang telah dikebiri oleh raja.
Pada usianya yang
kesembilan belas bulan, Ibrahim jatuh sakit sehingga meresahkan kedua orang
tuanya. Mariyah bersama Sirin senantiasa menunggui Ibrahim. Suatu malarn,
ketika sakit Ibrahim bertambah parah, dengan perasaan sedih Nabi . bersama
Abdurrahman bin Auf pergi ke rumah Mariyah. Ketika Ibrahim dalam keadaan
sekarat, Rasulullah . bersabda, “Kami tidak dapat menolongmu dari kehendak
Allah, wahai Ibrahim.”
Tanpa beliau sadari, air
mata telah bercucuran. Ketika Ibrahim meninggal dunia, beliau kembali bersabda,
“Wahai Ibrahim, seandainya ini bukan penintah yang haq, janji yang benar, dan
masa akhir kita yang menyusuli masa awal kita, niscaya kami akan merasa sedih
atas kematianmu lebih dari ini. Kami semua merasa sedih, wahai Ibrahim… Mata
kami menangis, hati kami bersedih, dan kami tidak akan mengucapkan sesuatu yang
menyebabkan murka Allah.”
Demikianlah keadaan Nabi
ketika menghadapi kematian putranya. Walaupun tengah berada dalam kesedihan,
beliau tetap berada dalam jalur yang wajar sehingga tetap menjadi contoh bagi
seluruh manusia ketika menghadapi cobaan besar. Rasulullah . mengurus sendiri
jenazah anaknya kemudian beliau menguburkannya di Baqi’.
Komentar